Tanggal : 10 Oktober 2006
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/10/index.html
Ikan kita masih terus dicuri. Nilainya diduga Rp 30 triliun per tahun. Malingnya datang dari Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Filipina. Juga sering dipergoki nelayan dari China dan Taiwan. Setiap hari mereka mengeruk sumberdaya ikan Indonesia dengan alat dan teknologi canggih. Sementara nelayan kita hanya menonton. Petugas kita belum berdaya mencegah dan mengatasi pencurian itu.
Sejarah dunia mencatat, maling ikan mulai marak pada akhir tahun 1980an, seiring makin habisnya sumberdaya ikan di beberapa perairan dunia. Orang Eropa dan Amerika menyebutnya pirate fishing. Dua pakar manajemen perikanan, Kuperan and Sutinen, memberi istilah Blue Water Crime untuk kejahatan ini.
Memang istilah kriminal (crime) itu sangat tepat. Bahkan harusnya disebut dengan kriminal luar biasa (extraordinary crime), mengingat pencurian ini memiliki dampak yang luas bagi rakyat. Sumberdaya ikan punah karena teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Ekonomi nelayan kecil hancur. Maling menyapu bersih semua ikan, yang mahal dibawa pulang ke negerinya, yang murah dibuang ke laut sebagai sampah. Sesungguhnya maling tak pernah berpikir tentang keberlanjutan.
Tetapi sebenarnya blue water crime tidak hanya dilakukan oleh mereka yang blue collar. Yang tertangkap oleh aparat kita memang blue collar, alias nelayan buruh. Sebagian mereka adalah narapidana atau mantan narapidana. Sebab itu mereka mau bertahan di laut berbulan-bulan. Lebih baik hidup di atas kapal dan maling ikan di negara orang dari pada merana di penjara.
Para blue collar ini disetir oleh white collar, alias manajer, direksi, dan komisaris perusahaan yang hidup nyaman dan berlimpah dolar di darat. Jaringan lintas negara mereka begitu rapi, solid, kompak dan tinggi tingkat kerahasian struktur korporasinya. Orang awam sulit mengetahui usaha mereka. Inilah ciri-ciri kejahatan internasional teroganisir (organized crime).
Semoga orang Indonesia tidak ada yang menjadi white collar dalam kasus ini. Namun bila ada, sudah saatnya mereka bertobat. Negara dan rakyat kecil sangat dirugikan oleh keberadaan mereka.
Sebagai suatu organized crime, nilai pencurian ikan sulit diketahui dengan pasti. Maling tak mungkin mengumumkan hasil kerjanya di laporan statistik resmi. Apalagi pemerintah negaranya melindungi para kriminal itu, demi untuk kepentingan nasional mereka. Maka hanya estimasi ilmiah yang bisa memberikan gambaran tentang realitas yang terjadi.
Nilai Perikanan Dunia
Berkaitan dengan itu, suatu kajian yang dilakukan Marine Resource Assessment Group (MRAG), yang bermarkas di London menyimpulkan bahwa nilai perikanan dunia yang dicuri oleh nelayan asing sekitar $9,2 miliar per tahun. Sementara Greenpeace menduga nilai pencurian ikan global sekitar 3,4 hingga 7,6 miliar euro setiap tahun. Green- peace selanjutnya menyatakan bahwa pelaku blue-water crime bukan hanya orang Asia tetapi termasuk mereka yang bermata biru dari beberapa negara Eropa.
Institusi lain yang bernama The Environment Justice Foundation dalam laporannya tahun 2005 mengajukan nilai US$ 2 hingga US$ 15 miliar setahun untuk kerugian yang diderita negara berkembang akibat pencurian ikan. Secara global, OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) mengemukakan bahwa hasil perikanan ilegal ini ditaksir sebesar 30 persen dari hasil tangkapan total jenis ikan tertentu. Jadi bila hasil tangkapan ikan dunia sekarang ini sekitar US$ 200 miliar, maka US$ 70 miliar adalah hasil curian.
Pada spektrum yang lebih kecil, pencurian ikan sangat marak terjadi. Menurut laporan OECD, 140.000 ton ikan tuna dari Samudera India ditangkap secara ilegal, 4.000 ton di antaranya adalah tuna sirup biru yang merupakan jenis termahal di dunia. Di kawasan Antarktika, 40 persen produksi ikan Chilean Seabass atau patagonian tootfish adalah dari hasil penangkapan ilegal.
Di laut Indonesia, kejadian maling ikan oleh nelayan asing hampir sudah tidak terhitung frekuensinya. Tidak hanya mencuri di perairan perbatasan, para maling itu bahkan sudah masuk ke perairan pedalaman. Laut Jawa, Selat Karimata, Laut Maluku, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Banda, Laut Arafura yang merupakan jantung perairan Indonesia bahkan sering dijarah oleh para maling ini.
Sebab itu blue water crime bukan saja persoalan merampok sumberdaya ikan tetapi sesungguhnya sudah merupakan kasus infiltrasi asing dan pelanggaran kedaulatan negara. Untuk kasus seperti ini, Australia menangkap banyak nelayan kita. Belum lama ini, Malaysia bahkan tidak segan-segan menembak nelayan Indonesia yang tidak sengaja masuk perairannya.
Di Mana Nasionalisme?
Karena itu maka Indonesia harus sungguh-sungguh membasmi kejahatan kriminal ini. Sarana dan aparatur pemerintah untuk patroli laut, demikian juga lembaga pengadilan khusus untuk kejahatan ini sudah disediakan. Namun semuanya itu belum optimal dibanding dengan frekwensi pencurian yang terjadi.
Sudah sejak lama tentara dan polisi mencoba membasmi para maling ini, tetapi malingnya tidak habis-habis. Bahkan maling yang sama sering ditangkap kembali. Jadi para maling tidak kapok dan jera terhadap sistem yang kita punyai.
Mungkin salah satu solusinya yaitu harus ada aksi pre-emptive, yaitu sebelum maling datang, kita ambil ikannya lebih dulu. Kita kembangkan armada perikanan nasional sebanyak-banyaknya sehing- ga tidak ada lagi peluang untuk maling.
Di saat yang sama, kita bangun sistem dalam negeri sehingga para blue-collar di Jakarta yang adalah bagian dari organisasi kejahatan ini tidak ada peluang untuk bernapas. Kita bangkitkan peran dan sentimen masyarakat dan lembaga sosial untuk berbicara lantang di forum internasional atas nama negara dan kemiskinan rakyat. Kita bangun kerja sama dengan negara lain yang memiliki nasib atau keprihatinan yang sama atas masalah ini.
Namun kalau kita bertanya siapa yang akan membangun armada perikanan nasional? Tentu saja jawabannya adalah swasta besar yang memiliki kekuatan bisnis, yang memiliki jaringan pasar internasional, yang memiliki kemampuan modal dan manajerial. Mereka bukanlah nelayan tradisional, koperasi dan usaha kecil.
Jadi yang dibutuhkan oleh negara ini adalah pengusaha nasionalis sejati yang melihat pencurian ikan ini sebagai masalah bangsa, yang memiliki komitmen untuk mene- gakan kedaulatan negara, serta yang percaya bahwa bisnis ini juga menguntungkan.
Mereka seharusnya adalah pengusaha nasionalis, sekaliber 20 orang terkaya Indonesia yang hartanya masing-masing di atas ratusan juta dolar, menurut versi ma- jalah Forbes Asia. Kendati sangat sayang, tidak seorangpun dari 20 orang terkaya ini yang memiliki usaha di bidang perikanan. Kelirulah mereka, bila menganggap laut kita tidak bernilai.
Lalu apakah kita akan membiarkan maling tetap merajalela? Apakah blue-water crime akan tetap berlanjut? Tidak. Itu harus dihentikan.
Penulis adalah Sekretaris Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan