Vessel Monitoring System Tangkal Illegal Fishing


Tanggal
:
26 Desember 2005
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/12/26/brk,20051226-71248,id.html

TEMPO Interaktif
, Jakarta:Direktur Jenderal Pengawasan Dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) Departemen Kelautan Dan Perikanan, Ardius Zainuddin, menyatakan akan antisipasi penangkapan ikan secara illegal melalui Vessel Monitoring System. "Penangkapan ikan illegal di Indonesia sudah pada tingkat yang sangat merugikan negara, setiap tahunnya rata-rata adalah Rp 20 Triliun," katanya.


Data tersebut merupakan data kerugian negara yang didapat melalui penangkapan dari hasil ikan yang ditangkap secara ilegal dalam rupiah dan data pendukung lainnya, "Itu baru yang berhasil tertangkap, bagaimana dengan yang lolos?"ujar Ardius.

Vessel Monitoring System yang akan digunakan Departemen Perikanan dan Kelautan berfungsi untuk mengawasi proses penangkapan ikan yang dilakukan di perairan Indonesia. "VMS mengawasi segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan,"kata Ardius.

Menurut Ardius, VMS dapat menanggulangi sekitar 50 persen masalah dari sistem penangkapan ikan yang dilakukan secara illegal. Survey pada tahun 2004 di perairan Arafuru, VMS meningkatkan pendapatan nelayan tradisional sebanyak 28 persen. "Kalau dihitung secara angka, kami dapat menyelamatkan Rp.501 Miliar pertahun dari penangkapan ikan illegal,"ujarnya.

Indonesia-Australia Bahas Penangkapan Ikan Ilegal

Tanggal : 19 Desember 2005
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/12/19/brk,20051219-70842,id.html

TEMPO Interaktif
, Jakarta:Indonesia mengadakan pertemuan bilateral dengan Australia guna membahas kerja sama penanganan penangkapan ikan secara ilegal, Senin (19/12).


Pertemuan antara Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Freddy Numberi dengan Menteri Perikanan, Kehutanan dan Konservasi Australia Ian Mac Donald itu sebagai langkah untuk menanggapi isu penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan Indonesia di wilayah perairan Australia yang semakin hangat.

Menurut Freddy, pembahasan pengelolaan perikanan di perairan perbatasan antar kedua negara sangat diperlukan mengingat banyaknya kasus nelayan Indonesia yang menangkap di perairan perbatasan tersebut. Untuk itu perlu ada wilayah yang jelas di sekitar perbatasan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) antara Indonesia dan Australia yang menjadi wilayah pengelolaan dan pengawasan bersama. ?Nanti pada tingkat senior official meeting akan dibahas secara detail lagi mengenai hal-hal yang disepakati untuk diimplementasikan,? ujarnya.

Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso, mengatakan bahwa di Australia sendiri isu pencurian ikan ini telah menjadi salah satu agenda pembahasan antara kubu pemerintah dengan partai oposisi. Dengan adanya aturan pemanfaatan sumber daya ikan dan pengawasan yang jelas, maka diharapkan pihak Australia tidak lagi semena-mena menangkapi nelayan Indonesia yang mungkin nyasar atau tidak sengaja memasuki wilayah perairan mereka.

?Sedangkan bagi pihak Indonesia sendiri diharapkan dapat meningkatkan pembinaan dan perlindungannya terhadap nelayan Indonesia sendiri, supaya pelanggaran di wilayah perairan Australia dapat diatasi dengan sebaik-baiknya,? kata Aji dalam keterangan tertulisnya.

Diduga, Banyak Kapal Asing Curi Ikan di Perairan Papua

Tanggal : 5 September 2005
Sumber : http://www.melanesianews.org/spm/publish/article_1089.shtml


Maharadja: Kami Sudah Lakukan Pengawasan Tapi Belum Optimal


JAYAPURA-Potensi perairan Papua yang begitu kaya dengan berbagai biota laut baik ikan, udang, cumi, rupanya ibarat gula yang selalu dikerubuti semut. Karena potensinya yang luar biasa akhirnya mengundang kapal-kapal asing untuk datang menikmatinya. "Jutaan ton ikan telah dicuri dari perairan Papua,"ungkap Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua, Ir Astiler Maharadja kepada Cenderawasih Pos di Kampung Ayapo, kemarin.

Ia mengatakan, pencurian ikan di perairan Papua diduga dilakukan kapal-kapal asing dari negara luar antara lain Thailand dan China. Data yang ada, diperkirakan, kapal-kapal asing yang masuk dan menangkap ikan secara ilegal di perairan Papua, jumlahnya mencapai ratusan kapal. "Kapal asing yang masuk itu antara lain dari Thailand dan China sedangkan jumlahnya saya tidak tahu pasti tapi data yang ada diperkirakan mencapai ratusan kapal," bebernya.

Sedangkan modus operandi-nya kata Astiler, yakni dengan cara menggunakan bendera Indonesia. Diakuinya, memang ada sejumlah perusahaan asing yang memiliki izin resmi untuk menangkap ikan di perairan Papua, tetapi hanya sekitar 100 kapal, selebihnya, kapal penangkap ilegal yang jumlahnya melebihi kapal yang memiliki izin resmi itu. "Biasanya cara mereka hanya mengurus izin untuk satu kapal, tetapi prakteknya di lapangan kapal yang operasi jumlahnya lebih banyak, padahal izinnya hanya satu," jelasnya.

Karena itu, potensi perairan Papua yang mencapai 1,6 juta ton/tahun ini tidak bisa dinikmati oleh masyarakat secara optimal karena umumnya nelayan Papua hanya mampu menangkap ikan di wilayah pesisir karena peralatannya sangat sederhana. Sementara kapal-kapal asing menggunakan peralatan yang canggih. "Tentu saja nelayan kita kalah," tukasnya.

Sejauh ini, pihaknya bersama instansi teknis terkait antara lain TNI AL terus melakukakn pengawasan dan berupaya untuk mencegah dan menangkap aksi kapal-kapal asing itu, tetapi selalu saja tidak maksimal karena lagi-lagi terbatasnya fasilitas. "Upaya kita sudah ada tetapi belum maksimal karena terbatasnya fasilitas," ujarnya miris

Illegal Fishing Diharapkan Bisa Ditekan

Tanggal : 24 Agustus 2005
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/24/brk,20050824-65695,id.html


TEMPO Interaktif
, Jakarta:Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan kerugian akibat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) tahun ini berkurang hingga di bawah Rp 20 triliun. Selama ini, kerugian akibat kegiatan ilegal tersebut mencapai Rp 30 triliun per tahun.


Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, kemungkinan penurunan terjadi karena DKP mulai melakukan penertiban terhadap aktivitas illegal fishing. "Pada bulan ini saja, telah ditangkap delapan kapal pengumpul besar dengan kapasitas 2 ribu ton. Sampai kemarin (Selasa, 23/8), sudah 235 kapal yang dicabut izinnya,"katanya di Jakarta.

Dari aktivitas itu saja, menurut Freddy, sudah diselamatkan potensi kerugian sebesar Rp 500 miliar. "Kalau ini konsisten saya yakin bisa menekan," katanya.

Selain menangkap dan mencabut izin pelaku illegal fishing, Indonesia juga bekerjasama dengan Australia. Pertemuan untuk membahas kerjasama Australia dilakukan hari ini (24/8). Pertemuan ini merupakan tindak lanjut terhadap pertemuan Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 3-6 April lalu di Australia.

Duta Besar Australia untuk Indonesia David Ritchie menyatakan, negerinya juga memiliki masalah yang sama dengan Indonesia. "Urgensi illegal fishing sama dengan pembalakan dan penambangan liar,"katanya. Menurut Ritchie, kapal-kapal yang masuk perairan Australia saat ini bukan lagi berisi nelayan tradisional melainkan nelayan profesional. "Buktinya, kapal mereka dilengkapi dengan alat navigasi yang modern,"ujarnya.

Ewo Raswa

UU Perikanan No. 31/2004 Cegah Pencurian Ikan Indonesia


Tanggal : 13 Juli 2005
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000072437.html


Kapanlagi.com - Kapal-kapal asing penangkap ikan yang beroperasi secara ilegal di perairan Indonesia, harus mulai waspada dan lebih hati-hati. Jika ketahuan melakukan pelanggaran, selain kena tindak pidana, juga harus membayar denda Rp 2 miliar.

Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Perikanan nomor 31 tahun 2004 yang kini mulai diterapkan, dengan didukung oleh upaya patroli dan sistem pengawasan dengan teknologi canggih, tutur Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Indroyono Soesilo MSc di Sanur, Rabu (13/7).


Selesai tampil sebagai pembicara pada Pertemuan Forum Kelautan Indonesia (The Indonesia Acean Forum 2005 and the 13th PAMS/JECSS Workshop), yang melibatkan 98 peserta utusan dari 13 negara, ia mengatakan, sanksi yang cukup berat itu diharapkan mampu sebagai "senjata ampuh" agar kapal-kapal asing jera melakukan kegiatan ilegal di perairan Indonesia.


"Setiap kapal yang mendapat izin menangkap ikan di perairan laut Indonesia telah dipasangi alat, sehingga dari stasiun pemantau secara mudah dapat diketahui keberadaan kapal tersebut," ujar Indroyono.


Demikian pula dengan alat teknologi canggih, dapat diketahui keberadaan kapal-kapal asing yang tidak memiliki izin penangkapan di perairan Indonesia.


Penerapan teknologi canggih dalam bidang perikanan dan kelautan ini, diharapkan mampu menekan sekecil mungkin kerugian negara akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di laut.


"Kerugian Indonesia akibat ulah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing setiap tahunnya tidak kurang dari dua miliar dolas AS," ungkap Indroyono yang mengaku lupa datanya ketika ditanya berapa kapal asing yang telah berhasil ditangkap sejak berlakunya UU nomor 31 tahun 2004.


Ia menambahkan, Indonesia mulai mengendalikan upaya penangkapan ikan di laut, sekaligus mengintensifkan pengembangan budidaya perikanan, sebagai upaya antisipasi dan menjaga potensi dalam bidang kelautan.


Hal itu dilakukan, karena di masa-masa mendatang sulit meningkatkan produksi kelautan akibat adanya berbagai kendala, antara lain menyangkut bahan bakar minyak untuk pengoperasian kapal, serta jumlah peralatan yang terbatas.


Selain itu, lanjut dia, upaya penangkapan juga masih dihantui kekhawatiran akan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.


"Kalau lingkungan sampai rusak, tentu akan mengganggu habitat ikan, sekaligus sulit untuk berkembang," ujar Indroyono.


Pertemuan tersebut membahas berbagai hal menyangkut upaya meningkatkan produksi perikanan, namun pada sisi lain tetap menjaga kesinambungan yang ada secara lestari.


Kegiatan sehari diikuti 98 peserta dari 13 negara antara lain Korea, Amerika Serikat, Australia, Jerman, Belanda, Jepang, China dan tuan rumah Indonesia.

Laut Terkuras, Biduk Nelayan Kandas


Tanggal : 28 Mei 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1777450.htm


MEMILIKI wilayah laut yang terluas di kawasan Asia Tenggara, bahkan di dunia, tidak serta-merta membuat nelayan Indonesia bisa menikmati kekayaan laut. Kenyataannya malah sebaliknya, nelayan tradisional semakin terpinggirkan ke tepian perbatasan, sementara nelayan asing kian leluasa mengeruk kekayaan alam laut Indonesia. Alih-alih mampu memberdayakan nelayan lokal, pemerintah bahkan tak berdaya menghadapi pencurian ikan oleh pihak asing.


KESIMPULAN demikian terangkum dari hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap pemilik telepon di 10 kota besar di Indonesia. Berbagai penilaian ketidakpuasan dilayangkan publik jajak pendapat kali ini terhadap segenap upaya pemerintah mengatasi berbagai persoalan di bidang kelautan.


Meskipun diyakini bahwa kekayaan laut, khususnya ikan, di negeri ini masih sangat mencukupi untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, disadari bahwa saat ini kondisi laut benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Selain karena kerusakan dan pencemaran yang parah, pengerukan kekayaan laut oleh kapal nelayan asing dan penggunaan teknik penangkapan ikan yang berlebihan turut menjadi andil makin mandulnya produksi laut.


Tidak kurang dari 71,9 persen responden menilai wilayah laut Indonesia saat ini sudah rusak. Tidak hanya itu, hampir tiga dari empat responden (74,7 persen) menganggap pencemaran yang terjadi di lautan Indonesia saat ini sudah parah. Di sisi lain, upaya pemerintah sendiri dinilai belum maksimal menghadapi persoalan ini. Tidak kurang dari 72,7 persen responden menyatakan ketidakpuasan mereka pada kinerja pemerintah menanggulangi kerusakan dan pencemaran laut.


Selain itu, hampir tiga dari empat responden (72,5 persen) juga menegaskan bahwa masalah pencurian ikan oleh nelayan asing sudah dalam taraf yang parah. Mayoritas responden (65,1 persen) juga menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mencegah pencurian ikan oleh nelayan asing, dan lebih dari separuh (57,9 persen) malah menyatakan pemerintah selama ini kurang bersikap tegas terhadap keberadaan nelayan asing di perairan nasional.


PRAKTIK pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia ini memang sudah pada tahap yang sangat memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp 30 triliun per tahun, perangkat hukumnya sendiri belum mantap. Tindakan hukum terhadap pelaku masih lemah, seperti masih diberikannya izin penangkapan bagi awak kapal yang kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Alasan yang sama masih terus saja dikumandangkan pemerintah, bahwa pencurian ikan tetap terjadi karena keterbatasan kemampuan pengawasan dan pengendalian, baik oleh aparat pusat dan daerah maupun oleh TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan. Dalih lain adalah karena luasnya wilayah perairan.


Padahal, sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya menetapkan sektor kelautan sebagai prioritas pengembangan. Namun nyatanya, pembangunan yang dilakukan selama ini lebih menekankan pada pengembangan sektor pertanian. Pengembangan sektor kelautan sampai sekarang cenderung masih jalan di tempat. Hal ini ditandai oleh keterbatasan sarana perikanan dan belum optimalnya hasil perikanan dalam beberapa tahun terakhir ini. Sektor kelautan baru bangkit dari tidur panjangnya pascareformasi ini, ditandai oleh terbentuknya departemen tersendiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).


Jika dilihat dari perkembangannya selama masa reformasi ini, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan dalam kurun 2000-2004 memang telah menunjukkan peningkatan rata-rata yang cukup besar, yaitu sekitar 26,06 persen per tahun atau melebihi rata-rata peningkatan PDB nasional yang mencapai 12,14 persen per tahun. Selain itu, jika dihitung dari keseluruhan produk olahan lain dari ikan, seperti ikan tuna, ikan kalengan, dan rumput laut, total kontribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi 9 persen dari PDB. Namun, jika dihitung hanya dari produk ikan mentahnya saja, sektor kelautan dan perikanan di Indonesia baru menyumbang 2,21 persen dari PDB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sempat menyatakan keheranannya dengan kecilnya kontribusi ini, membandingkan dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang.


Memang, di usianya yang masih terlalu singkat untuk bisa menyejajarkan DKP dengan departemen-departemen lainnya, misalnya departemen pertanian, menjadi terlalu dini mengharapkan hasil yang besar dari departemen ini. Fasilitas yang dimiliki departemen ini pun masih sangat terbatas. Hingga kini, DKP baru memiliki 14 kapal pengawas, termasuk kapal yang baru diresmikan pengoperasiannya. Padahal, untuk mengawasi wilayah perairan Indonesia dibutuhkan sedikitnya 100 unit kapal patroli cepat. Selama ini pengawasan kawasan laut terbantu oleh patroli TNI AL dan Polri. Tapi, tentu saja itu belum cukup, terlebih TNI AL yang tugas sebenarnya adalah pada pertahanan wilayah kedaulatan. Maka, wajar jika tidak kurang dari 58 persen responden menilai armada keamanan laut Indonesia saat ini tidak memadai untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI dari pencurian ikan oleh kapal dan nelayan asing.


Sementara itu, tugas DKP sendiri tidak hanya mengawasi laut dan mencegah penangkapan ikan ilegal. Lebih penting dari upaya pencegahan terhadap pencurian ikan oleh nelayan asing itu, sebetulnya adalah upaya memberdayakan nelayan lokal sendiri sebab, jika dibandingkan dengan besarnya perhatian pemerintah selama ini pada pertanian yang agraris, kehidupan nelayan di Indonesia sesungguhnya masih terpinggirkan.


MENJADI nelayan di Indonesia memang ironis, tidak hanya tergilas oleh nelayan asing, tapi juga terpinggir di rumah sendiri. Padahal, mereka hidup di negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Tidak kurang dari 60,6 persen responden juga menilai bahwa selama ini nelayan asinglah yang lebih memanfaatkan hasil laut ketimbang nelayan lokal. Memang, sebagian (48,1 persen) publik jajak pendapat ini menilai kemampuan nelayan Indonesia tidak mampu bersaing dengan nelayan asing. Namun, pendapat ini sebanding dengan mereka (48,0 persen) yang yakin akan kemampuan nelayan Indonesia bersaing dengan nelayan asing.


Upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan lokal juga belum dirasakan manfaatnya, bahkan kadang terkesan tidak tulus. Di Jawa Timur, dana pengadaan perahu untuk nelayan disinyalir telah diselewengkan dengan cara mark-up. Akibatnya, penyerahan perahu kepada kelompok nelayan yang berhak untuk menerima menjadi tertunda. Catatan-catatan ini semakin menggarisbawahi belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan kecil dan nelayan tradisional.


Selain harus berhadapan dengan kapal nelayan asing dan kurangnya modal, nelayan tradisional juga menghadapi secara langsung akibat dari merosotnya kelestarian ekosistem laut. Kerusakan laut terus terjadi, baik karena penebangan hutan bakau dan tergerusnya ekosistem laut maupun pencemaran oleh zat kimia dan pengeboman ikan. Rusaknya kawasan pesisir laut menyebabkan kemampuan ekosistem laut menurun dalam mendukung pembiakan kembali ikan-ikan ke volume semula. Akibatnya, terjadilah penangkapan ikan yang lebih banyak dari kemampuan ekosistem laut untuk memulihkan diri.


Memang, masalah perusakan laut ini bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat nelayan itu sendiri juga berpotensi menjadi aktor perusak lingkungan. Tidak saja penggunaan bom ikan, penggunaan pukat harimau merusak seluruh sumber hayati laut. Ironisnya, meskipun sudah ada Keppres Nomor 39/1980 yang melarang penggunaan pukat harimau dalam penangkapan ikan di perairan Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur justru mengusulkan agar diberikan izin bagi para nelayan kecil untuk memakai jaring pukat harimau ini. Alasannya, selama ini para nelayan lokal itu selalu kalah bersaing dengan pihak yang menggunakan kapal-kapal ikan sejenis asal Malaysia yang sering mencuri ikan di perairan Indonesia dengan pukat harimau. Selama ini para nelayan kecil itu memang kalah segalanya dibandingkan dengan mereka yang menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang juga menggunakan trawl. (BE Satrio/Litbang Kompas).


Cegah Illegal Fishing, Lisensi Kapal Asing Dihentikan

Tanggal : 27 Mei 2005
Sumber: http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/05/tgl/27/time/173048/idnews/369876/idkanal/10

Jakarta
- Pemerintah Indonesia akan menghentikan pemberian lisensi penangkapan ikan bagi kapal-kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Hal ini dilakukan sehubungan dengan maraknya penyalahgunaan lisensi oleh kapal-kapal asing tersebut.

Perairan Indonesia, mau tidak mau diakui sebagai ladang illegal fishing, terutama bagi kapal-kapal berbendera asing. Minimnya pengawasan perairan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi yang meliputi laut teritorial, laut Nusantara, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) jadi alasan.

"Dengan pencabutan lisensi ini kita juga mengharapkan kapal-kapal asing untuk ikut berpartisipasi membentuk industri perikanan di Indonesia," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa dalam media briefing di Deplu, Jalan Pejambon, Jakarta, Jumat (27/5/2005).

Marty pun menjelaskan pencabutan lisensi ini juga dilakukan sehubungan dengan penangkapan nelayan-nelayan Indonesia yang dilakukan oleh pihak Australia. Banyak nelayan Indonesia ditangkap oleh pihak Australia karena dianggap melakukan illegal fishing di perairan Australia.

"Kita juga akan mengadakan pertemuan khusus dengan pemerintah Australia untuk membahas masalah illegal fishing ini," lanjut Marty.

Lebih lanjut, pria berkaca mata ini menjelaskan perihal kondisi kapten kapal asal Indonesia Hok Sun Eng yang menderita luka bakar setelah ditangkap aparat Australia.

"Tidak benar kapalnya dibakar oleh pejabat pemerintah Australia yang menyebabkan luka bakar tersebut. Luka bakar itu terjadi karena ada perselisihan dengan anak buah kapal bernama Saeful Anwar yang menyiram minyak tanah ke arah Hok Sun Eng," jelas Marty.

Menteri Perikanan Targetkan Tekan Praktek Pencurian Ikan 20 Persen

Tanggal : 25 Mei 2005
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2005/05/25/brk,20050525-61452,id.html


TEMPO Interaktif
, Jakarta: Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut menargetkan dapat menekan praktek pencurian ikan (illegal fishing) sebesar 20 persen hingga akhir tahun ini.


“Kerugian yang kita terima akibat praktek itu mencapai US$ 4 miliar per tahun. Saya yakin tahun ini semakin berkurang,” ujar Freddy di Jakarta, Rabu (25/5).

Data TNI Angkatan Laut, pada 2005 telah tertangkap 111 kapal ikan yang melakukan penangkapan ikan ilegal di Laut Arafura, Kepulauan Aru dan Maluku. Dari seluruh hasil tangkapan 74 kapal diantaranya telah diproses hukum dan sisanya dibebaskan karena tidak cukup bukti.

Tahun 2004 telah ditangkap 287 kapal ikan ilegal dan 120 diantaranya telah diproses hukum sedangkan sisanya dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti. “Meskipun telah terjadi penurunan, namun kita tidak boleh berhenti,” ujar Freddy.

Freddy mencontohkan beberapa kasus illegal fishing yang tidak memuaskan. Misalnya kapal ikan Taiwan MV Sun Flower yang dituntut pidana 2 tahun subsider denda Rp 50 juta dan kapal dirampas untuk negara. Namun vonis yang dijatuhkan majelis hakim hanya denda Rp 10 juta dan kapal serta hasil tangkapannya yang telah dilelang sebesar Rp 5,6 miliar dikembalikan ke pemiliknya.

Untuk meminimalisir penangkapan ikan ilegal, kata Freddy, pihaknya tidak akan memperpanjang izin penangkapan ikan bagi kapal asing. Menurut dia, pada Desember 2005 izin penangkapan ikan untuk kapal asal Filipina akan berakhir. Demikian juga dengan Cina dan Thailand yang akan berakhir pada 2007. “Karena tidak boleh menangkap ikan lagi, maka sebagai gantinya, mereka harus investasi di sini,” kata Freddy.

Lanal Perangi Penangkapan Ikan Ilegal

Tanggal : 20 Mei 2005
Sumber : http://www.suarantb.com/2005/05/20/Kriminal/Detil2.htm


Pangkalan TNI AL Mataram berkomitmen ingin memberantas berbagai macam bentuk penangkapan ikan di laut dengan cara-cara tidak benar. Bagaimanapun, sebagai punggawa keamanan perairan Indonesia, TNI AL tak ingin terjadi segala hal yang menyangkut kerusakan laut ataupun pencurian ikan oleh nelayan asing.


Demikian diungkapkan Danlanal Mataram, Kolonel (Mar) Marwan Mahmud, kepada wartawan ketika dikonfirmasi mengenai terjadinya kembali penangkapan ikan dengan cara-cara ilegal, di Graha Bhakti Praja Kantor Gubernur NTB, Kamis (19/5) kemarin.


Kendati demikian, papar Marwan, pihak TNI AL tidak menyalahkan sepenuhnya kalangan nelayan yang melakukan penangkapan dengan cara-cara ilegal, seperti penggunaan potasium, bom ataupun pukat harimau. Dalam asumsinya, nelayan yang menggunakan potasium waktu menangkap ikan disebabkan ketidaktahuan dari nelayan itu sendiri. Bahkan tak menutup kemungkinan ada nelayan yang sengaja menggunakan potasium, bom maupun sejenisnya untuk mendapatkan ikan dalam waktu relatif singkat tanpa memikirkan perkembangan spesies ikan bersangkutan di masa datang.


Dalam mengantisipasi makin berlanjutnya aksi sebagian nelayan menggunakan cara-cara ilegal ketika pergi melaut, Lanal Mataram dan pihak-pihak terkait lanjutnya akan melakukan sosialisasi di beberapa perkampungan nelayan di NTB.


''Kebanyakan nelayan kita masih belum mengetahui secara pasti dampak negatif penggunaan dari potasium, pukat harimau maupun sejenisnya ketika menangkap ikan. Jadi, masalah penggunaan hal tersebut perlu kita sosialisasikan kepada para nelayan di NTB dengan cara bertahap,'' terangnya.


Menyinggung keterbatasan yang dimiliki Lanal Mataram, khususnya kapal patroli dalam mengantisipasi pengrusakan laut atau pencurian ikan, Danlanal hanya tersenyum, seraya mengungkapkan permasalahan kekurangan kapal patroli terjadi di seluruh Indonesia. Lanal Mataram baru memiliki dua kapal patroli dan kondisi tersebut harus dimaklumi. ''Itulah kemampuan negara dalam menyediakan kapal patroli bagi NTB dengan perairan luas,'' ujarnya singkat, tanpa mau menyebutkan jumlah ideal kapal patroli bagi perairan NTB yang rawan dengan gangguan keamanan di laut.

PATROLI TNIAL HADANG PEMBOM IKAN

Tanggal : 31 Maret 2005
sumber : http://beta.tnial.mil.id/beritd.php3?id=715



Prajurit TNI-AL sering melakukan patroli penghadangan kegiatan pemboman ikan di Laut Flores khususnya perairan Maumere dan pulau-pulau di sekitarnya serta di Laut Sawu khususnya perairan Kecamatan Paga yang berbatasan dengan Kabupaten Ende, kata Komandan Lanal Maumere, Letkol (P) Apriyani,SH di Maumere, Rabu.

Dia mengatakan, walaupun Lanal Maumere memiliki keterbatasan sarana dan prasarana operasi laut, namun semangat untuk "berperang" di laut tidak akan kendur. Hasil nyata sudah mulai terlihat yakni kegiatan pemboman ikan semakin berkurang.

Bahkan, banyak nelayan yang terbiasa membom ikan sudah mengalihkan usaha di bidang budidaya rumput laut. Prajurit TNI AL melakukan pendampingan bagi para nelayan yang berusaha di bidang budidaya rumput laut itu.

Wilayah yang dikenal paling banyak menghasilkan rumput laut berwarna merah untuk bahan baku industri kosmetika terdapat di perairan Pulau Pemana. Wilayah ini dikenal sangat potensial untuk budidaya rumput laut itu karena terhindar dari hempasan ombak dan badai pada musim hujan.

Apriyani mengatakan, pihaknya tidak akan berhenti menghadang para pelaku pengeboman ikan di perairan Laut Flores dan Laut Sawu mengingat banyak lokasi yang ditumbuhi terumbu karang sudah rusak.

Akibat kerusakan terumbu karang, beragai jenis hewan laut tidak bisa berkembang dan menyulitkan para nelayan sendiri, karena hasil tangkapan berkurang.

Dia mengaku, hingga kini masih terdapat beberapa nelayan yang melakukan pemboman ikan di laut. Malahan, ada di antara mereka yang salah satu bagian tangannya putus akibat pemboman itu masih juga nekad melakukan pemboman di perairan Laut Flores dan Laut Sawu.

Menurutnya, kegiatan pemboman ikan sering dilakukan di wilayah perairan Paga yang berbatasan dengan Kabupaten Ende, selain di lepas pantai Teluk Maumere. Karena itu, perhatian terbesar dari TNI AL di Lanal Maumere diarahkan ke wilayah Paga tanpa mengabaikan wilayah perairan lainnya.

Pemerintah Kabupaten Sikka bekerja sama dengan Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) melakukan kegiatan pelestarian terumbu karang di wilayah perairan Maumere demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.

Lanal Maumere mendukung program pelestarian terumbu karang itu melalui operasi terpadu menghadang pembom ikan di lepas pantai Maumere dan Paga, katanya. (Ant/O-2/wanz)

KAPAL PENGAWAS TODAK 01 TANGKAP 3 KAPAL PELAKU ILLEGAL FISHING


Tanggal : 24 Maret 2005
Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=1857


Pada tanggal 14 Maret 2005, Kapal Pengawas Todak 01 yang berpangkalan di PPS Kendari pada operasi rutinnya telah menangkap 3 kapal illegal fishing yaitu 1 unit kapal pembom ikan ukuran 3 GT KM. Tanpa Nama di perairan Tanjung Alang-alang Sulawesi Tengah dan 2 unit kapal KM. Gema Ilahi GT 7, KM. Sinar Huu GT. 30 penangkap penyu tanpa izin di Perairan Umbele Sulawesi Tengah.


Ketiga kapal tersebut di ad hoc ke dermaga PPS Kendari untuk diproses lebih lanjut. Menurut Nahkoda KP. Todak 01, Ahmad Kahar, penangkapan ini dilakukan setelah sehari melakukan pengintaian terhadap kapal tersebut di Perairan Umbele dan Tanjung Alang-alang. Penyerahan kapal untuk ditindaklanjuti oleh PPNS Perikanan PPS Kendari pada tanggal 16 Maret 2005 dari Nahkoda KP. Todak 01 ke Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari.


Lebih Lanjut Kepala PPS Kendari, Ir. Asifus Zahid, mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan untuk ketiga kapal tersebut kepada Mukhtar, A.Pi sebagai ketua Tim, Tri Wahyu Widoyartono, S.IP sebagai anggota. Dalam proses pemberkasan diamankan penyu hijau yang dilindungi sebanyak 12 ekor dan untuk sementara dititipkan pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Departemen Kehutanan dan tersangka dititipkan pada tahanan TNI AL Kendari.


Menurut Mukhtar, A.Pi selaku Tim Penyidik akan menyelesaikan ketiga kasus ini dalam waktu ± 10 hari yaitu kasus pemboman melanggar Pasal 5 huruf a Jo. Pasal 84 ayat (1) Jo. Pasal 92 Jo. Pasal 93 ayat (1) Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sedangkan kasus Penangkapan Penyu melanggar Pasal 5 huruf a Jo. Pasal 7 ayat (2) huruf n Jo. Pasal 85 Jo. Pasal 92 Jo. Pasal 93 ayat (1) Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.



Marak, Pencurian Ikan oleh Kapal Asing di Laut Arafura


Tanggal : 17 Maret 2005
Sumber : http://www.geocities.com/toelehoe/kcm180305.htm


Ambon, Kompas - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Romelus Far Far di Ambon, Rabu (16/3), mengatakan, praktik penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Maluku paling banyak terjadi di Laut Arafura. Maraknya pencurian ikan di daerah tersebut disebabkan oleh luasnya wilayah perairan serta terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan yang dimiliki pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta TNI Angkatan Laut maupun Polisi Perairan.


Laut Arafura menyimpan potensi ikan tangkap terbesar di wilayah perairan Maluku, yaitu sebanyak 771.500 ton setiap tahun. Potensi ikan tangkap di seluruh perairan Maluku seluruhnya mencapai 1.640.030 ton. Selain Laut Arafura, potensi perikanan tersebut terdapat pula di Laut Banda dan Laut Seram.


Menurut Far Far, data dari Departemen Kelautan dan Perikanan didapati sekitar 1.400 kapal terdaftar beroperasi di Laut Arafura. Namun, jumlah kapal yang beroperasi di lapangan diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan yang terdaftar resmi.


"Kapal penangkap ikan yang melakukan illegal fishing (penangkapan ikan ilegal-Red) paling banyak ditemukan di daerah Zona Ekonomi Eksklusif yang pengawasannya di tangan pemerintah pusat," kata Far Far. Kapal penangkap ikan ilegal jarang ditemui di wilayah perairan yang menjadi wewenang pemerintah provinsi atau kabupaten/kota-yang berjarak 12 mil dari garis pantai.


Kapal pencuri ikan tersebut umumnya berasal dari Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya. Mereka biasanya menggunakan kapal penangkap Indonesia sebagai agen yang menangani usaha mereka serta mengurus berbagai keperluan administrasi. Pemilik perusahaan penangkapan ikan ilegal tersebut biasanya berada di negara mereka sendiri.


Menggandakan surat


Modus pencurian yang biasa dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan tersebut adalah dengan menggandakan surat penangkapan ikan (SPI) dalam jumlah besar. Surat tersebut diperoleh sebuah perusahaan penangkapan setelah mengantongi izin dari Departemen Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya, SPI yang telah digandakan itu dibagikan ke sejumlah kapal yang memiliki jenis, bentuk, ukuran, hingga warna yang sama dari kapal penangkap ikan yang terdaftar.


"Kami sangat berharap TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan dapat membantu mengendalikan dan mengawasi illegal fishing yang terjadi," kata Far Far. Pengamanan tersebut terutama untuk daerah perairan yang berada di luar wewenang pemerintah provinsi dan kabupaten.


Mengenai nilai kerugian dan potensi sumber daya perikanan yang hilang akibat pencurian tersebut, Far Far tidak dapat menjelaskan karena kapal yang mencuri ikan tersebut tidak berlabuh di pelabuhan perikanan di Ambon maupun Tual. Kapal-kapal tersebut umumnya bergerak dari areal penangkapan (fishing ground) di Laut Arafura langsung menuju basis penangkapan (fishing base) yang di antaranya berada di Makassar, Kendari, Surabaya, Bali, dan Jakarta.


"Kami tidak bisa memaksakan kapal tersebut harus berlabuh di Ambon karena wilayah pengelolaan mereka di luar kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota," katanya.