Di Merauke, 56 Kapal Penangkap Ikan Ilegal Ditangkap


Tanggal :
09-Desember-2006
Sumber : http://www.merauke.go.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=5


MERAUKE- Pelanggaran atau penangkapan ikan secara ilegal di sekitar Perairan Arafura tampaknya cukup tinggi. Pasalnya, sejak Januari hingga akhir Nopember 2006, total kapal penangkap ikan ilegal yang berhasil ditangkap dan digiring ke Merauke sebanyak 56 kapal.

''Jumlah kapal illegal yang berhasil kita tangkap dengan dioperasikannya KRI di sekitar perairan Arafura sebanyak 56 kapal,'' ungkap Danlanal Merauke Letkol Laut (P) Ken Tri Basuki, kemarin. Menurut Danlanal, jika nantinya ada KRI khusus melakukan operasi dan pengawasan di sekitar Laut Arafura, maka kemungkinan Laut di kawasan tertimur Indonesia itu akan aman dari pencurian ikan baik oleh kapal-kapal asing maupun kapal milik Indonesia sendiri.

Hampir seluruh dari kapal yang ditangkap tersebut disidangkan dan diberi hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dibuatnya. Sebagian diantaranya dirampas dan sebagian dengan denda uang.

Menurut Danlanal, terbukanya daerah sekitar Laut Arafura selama ini memungkinkan bagi kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan secara illegal. Apalagi, selama I ini kawasan Arafura tidak didukung dengan sarana prasarana kapal (KRI) karena masih terbatasnya prasarana tersebut.

Diakuinya, Laut Arafura merupakan sumber ikan yang paling Top (ikan paling laku) di dunia. Tak heran, sebagian besar kapal-kapal asing berusaha untuk datang melakukan penangkapan di sekitar Laut Arafura.

''Kapal-kapal ikan di dunia larinya ke sini (Arafura) untuk mencari. Dan tidak hanya kapal asing tapi juga kapal-kapal berbendera Indonesia juga berusaha untuk menagkap secara ilegal,'' terangnya.

Karena potensi ikan laut sangat besar, maka menurut Danlanal, juga rawan terhadap penangkapan ikan secara illegal. Oleh karena itu, perlu dijaga melalui pengawasan atau patroli secara intensif sehingga kekayaan laut Indonesia tidak dikuras begitu saja oleh negara asing tanpa memberikan konstribusi bagi negara. (ulo)

Satuan Pengawas Perikanan PPS Kendari Tangkap 7 (Tujuh) Kapal Mini Trawl di Perairan Bombana


Tanggal : 6 Desember 2006
Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=3556


Satuan Pengawas Perikanan PPS Kendari kembali menangkap kapal trawl 7 (tujuh) unit di perairan Desa Lampata Kec. Rumbia Kabupaten Bombana pada operasi rutin bersama bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bombana dan Kepolisian. Penangkapan ini terjadi pada hari Minggu Tanggal 26 Nopember 2006 sekitar jam 23.45 Wita oleh Kapal Pengawas Todak 001 tersangka bernama Jabir Bin Tahir, Kasman Bin Enyong, Sultan Bin Iskandar, Sultan Bin Sukardi, Haris Bin H. Semang dan Jumain Bin Arfa pekerjaan nelayan beralamat Kampung Baru Kec. Rumbia Kabupaten Bombana dengan Barang bukti yang ada antara lain 7 Unit perahu motor katinting, 7 unit jarring trawl dan 70 kg udang dan ikan campuran.


Kejadian ini berawal kapal Pengawas Todak 001 yang dipakai Pengawas Satuan Perikanan PPS Kendari melihat beberapa kapal sekitar 20 unit kapal yang dicurigai melakukan penangkapan ikan dengan trawl, kemudian satu kapal ditangkap kemudian kapal tersebut digunakan untuk melukan pencaharian kapal lain yang tertangkap 7 buah yang lain melarikan diri. Selanjutnya tersangka dan barang bukti tersebut diamankan ke Polres Bombana untuk proses lebih lanjut. Tersangka dijerat dengan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 9, jo. Pasal 85 dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 2 Milliar.

Pengawasan SDKP PPS Kendari Menangkap Nelayan Pembom Ikan di Perairan Cimpedak


Tanggal : 16 November 2006
Sumber : http://www.dkp.go.id/content.php?c=3527


Satuan Kerja Pengawasan SDKP PPS Kendari melaksanaan Kegiatan operasi pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan di Perairan Saponda, Wawonii Propinsi Sulawesi Tenggara dan sekitarnya dilaksanakan pada tanggal 11 s/d 13 Nopember 2006 yang dititik beratkan pada kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (handak) dengan sistem pemantauan, pengintaian serta pengejaran.

Bekerja sama dengan Datasemen 88 Ditreskrim Polda Sultra menangkap salah satu nelayan dengan lima ABK yang menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan diperairan Cimpedak Kabupaten Konawe Selatan. Keenam nelayan tersebut sementara ini diamankan di tahanan Polda Sultra untuk proses lebih lanjut.

Pencurian Ikan, kapan akan berakhir ya?

Tanggal : 17 Oktober 2006
Sumber : http://pesisir.blogspot.com/2006/10/pencurian-ikan-kapan-akan-berakhir-ya.html

Gemas juga ya baca berita kalo di negeri sendiri banyak sumberdaya ikan yang dicuri, sementara nelayan nusantara tertembak di negeri orang, karena mengejar ikan yang semakin sulit ditangkap. Pada saat yang sama kita juga sering membaca, mendengar, atau melihat konflik nelayan makin sering terjadi.

Akhir September yang lalu kapal pengawas DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) berhasil menangkap 10 kapal ikan Thailand dan Vietnam bersama 105 awaknya ketika sedang mencuri ikan di kepulauan Natuna (suarapmbaruan.com). Nah, kapal-kapal tersebut tentu tidak seperti kapal yang dibrondongi peluru oleh tentara Papua New Guinea atau Malaysia beberapa waktu yang lalu, tetapi kapal mereka ini berteknologi canggih dengan bobot 100-400 GT (gross ton). Menurut hitungan pemerintah sih kerugian negara karena aktivitas penangkapan ikan ilegal seperti ini mencapai Rp 30 triliun per tahun, wow. Tentu angka yang fantastis dibandingkan kontribusi sektor perikanan yang tidak sampai Rp 500 miliar ke kas negara (dalam bentuk PNBP alias pendapatan negara bukan pajak).

Sejak DKP dibentuk di tahun 1999 yang lalu, isu ini memang terus menjadi berita. Ketidakmampuan kita mengawasi laut kita karena armada pengawasan yang terbatas baik yang miliknya Angkatan Laut maupun DKP, sudah sering kita dengar. Sementara, dalam upaya mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya secara ilegal ini, pemerintah juga mulai menutup ijin usaha penangkapan ikan dari negara lain kecuali jika mereka mau bekerja sama dalam skim yang telah ditetapkan pemerintah seperti membangun industri pasca panen di dalam negeri. Apakah mereka mau? Tentu bukan pekerjaan yang mudah, karena itu tentu saja akan mengorbankan industri pasca panen di negeri penangkap ikan ilegal ini.

Alasan yang paling logis kenapa pemerintah masih tetap berharap pada armada perikanan asing ini adalah karena struktur perikanan kita sendiri masih sangat lemah. Nah, sebagai ilustrasi singkat coba deh perhatikan gambar struktur armada perikanan kita pada gambar di atas. Ternyata ya, lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan kita adalah kapal-kapal kecil. Gimana kira-kira mau bersaing dengan kapal Thailand, Korea, China atau Jepang ya? Kalopun nelayan kita akan bersaing mungkin ya bersaing diantara sesama yang kecil-kecil itu dan susahnya kalo terlalu kuat persaigannya sering berakhir dengan konflik. Sebenarnya masalah seperti ini sudah lama diketahui dan sering diungkap, tapi ya perubahannya tetap saja berjalan lambat ya. Sementara setiap tahunnya kita membaca pemerintah pasang target yang selalu lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan tentu saja sektor perikanan tangkap ini diharapkan menjadi kontributor utama. Misalnya tahun ini targetnya produksi ikan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1%. Bisakan itu dicapai dengan struktur perikanan seperti saat ini? Rasanya berat sih! Kecuali tetap berbaik hati dengan para penangkap ikan ilegal itu. Walahu'alam deh!

Maling Ikan, "A Blue Water Crime"


Tanggal : 10 Oktober 2006
Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/10/index.html


Ikan kita masih terus dicuri. Nilainya diduga Rp 30 triliun per tahun. Malingnya datang dari Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Filipina. Juga sering dipergoki nelayan dari China dan Taiwan. Setiap hari mereka mengeruk sumberdaya ikan Indonesia dengan alat dan teknologi canggih. Sementara nelayan kita hanya menonton. Petugas kita belum berdaya mencegah dan mengatasi pencurian itu.


Sejarah dunia mencatat, maling ikan mulai marak pada akhir tahun 1980an, seiring makin habisnya sumberdaya ikan di beberapa perairan dunia. Orang Eropa dan Amerika menyebutnya pirate fishing. Dua pakar manajemen perikanan, Kuperan and Sutinen, memberi istilah Blue Water Crime untuk kejahatan ini.


Memang istilah kriminal (crime) itu sangat tepat. Bahkan harusnya disebut dengan kriminal luar biasa (extraordinary crime), mengingat pencurian ini memiliki dampak yang luas bagi rakyat. Sumberdaya ikan punah karena teknologi yang tidak ramah lingkungan.


Ekonomi nelayan kecil hancur. Maling menyapu bersih semua ikan, yang mahal dibawa pulang ke negerinya, yang murah dibuang ke laut sebagai sampah. Sesungguhnya maling tak pernah berpikir tentang keberlanjutan.


Tetapi sebenarnya blue water crime tidak hanya dilakukan oleh mereka yang blue collar. Yang tertangkap oleh aparat kita memang blue collar, alias nelayan buruh. Sebagian mereka adalah narapidana atau mantan narapidana. Sebab itu mereka mau bertahan di laut berbulan-bulan. Lebih baik hidup di atas kapal dan maling ikan di negara orang dari pada merana di penjara.


Para blue collar ini disetir oleh white collar, alias manajer, direksi, dan komisaris perusahaan yang hidup nyaman dan berlimpah dolar di darat. Jaringan lintas negara mereka begitu rapi, solid, kompak dan tinggi tingkat kerahasian struktur korporasinya. Orang awam sulit mengetahui usaha mereka. Inilah ciri-ciri kejahatan internasional teroganisir (organized crime).


Semoga orang Indonesia tidak ada yang menjadi white collar dalam kasus ini. Namun bila ada, sudah saatnya mereka bertobat. Negara dan rakyat kecil sangat dirugikan oleh keberadaan mereka.


Sebagai suatu organized crime, nilai pencurian ikan sulit diketahui dengan pasti. Maling tak mungkin mengumumkan hasil kerjanya di laporan statistik resmi. Apalagi pemerintah negaranya melindungi para kriminal itu, demi untuk kepentingan nasional mereka. Maka hanya estimasi ilmiah yang bisa memberikan gambaran tentang realitas yang terjadi.


Nilai Perikanan Dunia


Berkaitan dengan itu, suatu kajian yang dilakukan Marine Resource Assessment Group (MRAG), yang bermarkas di London menyimpulkan bahwa nilai perikanan dunia yang dicuri oleh nelayan asing sekitar $9,2 miliar per tahun. Sementara Greenpeace menduga nilai pencurian ikan global sekitar 3,4 hingga 7,6 miliar euro setiap tahun. Green- peace selanjutnya menyatakan bahwa pelaku blue-water crime bukan hanya orang Asia tetapi termasuk mereka yang bermata biru dari beberapa negara Eropa.


Institusi lain yang bernama The Environment Justice Foundation dalam laporannya tahun 2005 mengajukan nilai US$ 2 hingga US$ 15 miliar setahun untuk kerugian yang diderita negara berkembang akibat pencurian ikan. Secara global, OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) mengemukakan bahwa hasil perikanan ilegal ini ditaksir sebesar 30 persen dari hasil tangkapan total jenis ikan tertentu. Jadi bila hasil tangkapan ikan dunia sekarang ini sekitar US$ 200 miliar, maka US$ 70 miliar adalah hasil curian.


Pada spektrum yang lebih kecil, pencurian ikan sangat marak terjadi. Menurut laporan OECD, 140.000 ton ikan tuna dari Samudera India ditangkap secara ilegal, 4.000 ton di antaranya adalah tuna sirup biru yang merupakan jenis termahal di dunia. Di kawasan Antarktika, 40 persen produksi ikan Chilean Seabass atau patagonian tootfish adalah dari hasil penangkapan ilegal.


Di laut Indonesia, kejadian maling ikan oleh nelayan asing hampir sudah tidak terhitung frekuensinya. Tidak hanya mencuri di perairan perbatasan, para maling itu bahkan sudah masuk ke perairan pedalaman. Laut Jawa, Selat Karimata, Laut Maluku, Teluk Tomini, Laut Seram, Laut Banda, Laut Arafura yang merupakan jantung perairan Indonesia bahkan sering dijarah oleh para maling ini.


Sebab itu blue water crime bukan saja persoalan merampok sumberdaya ikan tetapi sesungguhnya sudah merupakan kasus infiltrasi asing dan pelanggaran kedaulatan negara. Untuk kasus seperti ini, Australia menangkap banyak nelayan kita. Belum lama ini, Malaysia bahkan tidak segan-segan menembak nelayan Indonesia yang tidak sengaja masuk perairannya.


Di Mana Nasionalisme?


Karena itu maka Indonesia harus sungguh-sungguh membasmi kejahatan kriminal ini. Sarana dan aparatur pemerintah untuk patroli laut, demikian juga lembaga pengadilan khusus untuk kejahatan ini sudah disediakan. Namun semuanya itu belum optimal dibanding dengan frekwensi pencurian yang terjadi.


Sudah sejak lama tentara dan polisi mencoba membasmi para maling ini, tetapi malingnya tidak habis-habis. Bahkan maling yang sama sering ditangkap kembali. Jadi para maling tidak kapok dan jera terhadap sistem yang kita punyai.


Mungkin salah satu solusinya yaitu harus ada aksi pre-emptive, yaitu sebelum maling datang, kita ambil ikannya lebih dulu. Kita kembangkan armada perikanan nasional sebanyak-banyaknya sehing- ga tidak ada lagi peluang untuk maling.


Di saat yang sama, kita bangun sistem dalam negeri sehingga para blue-collar di Jakarta yang adalah bagian dari organisasi kejahatan ini tidak ada peluang untuk bernapas. Kita bangkitkan peran dan sentimen masyarakat dan lembaga sosial untuk berbicara lantang di forum internasional atas nama negara dan kemiskinan rakyat. Kita bangun kerja sama dengan negara lain yang memiliki nasib atau keprihatinan yang sama atas masalah ini.


Namun kalau kita bertanya siapa yang akan membangun armada perikanan nasional? Tentu saja jawabannya adalah swasta besar yang memiliki kekuatan bisnis, yang memiliki jaringan pasar internasional, yang memiliki kemampuan modal dan manajerial. Mereka bukanlah nelayan tradisional, koperasi dan usaha kecil.


Jadi yang dibutuhkan oleh negara ini adalah pengusaha nasionalis sejati yang melihat pencurian ikan ini sebagai masalah bangsa, yang memiliki komitmen untuk mene- gakan kedaulatan negara, serta yang percaya bahwa bisnis ini juga menguntungkan.


Mereka seharusnya adalah pengusaha nasionalis, sekaliber 20 orang terkaya Indonesia yang hartanya masing-masing di atas ratusan juta dolar, menurut versi ma- jalah Forbes Asia. Kendati sangat sayang, tidak seorangpun dari 20 orang terkaya ini yang memiliki usaha di bidang perikanan. Kelirulah mereka, bila menganggap laut kita tidak bernilai.


Lalu apakah kita akan membiarkan maling tetap merajalela? Apakah blue-water crime akan tetap berlanjut? Tidak. Itu harus dihentikan.


Penulis adalah Sekretaris Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Departemen Kelautan dan Perikanan

Pengadilan Perikanan Mulai Dijalankan Oktober 2006

Tanggal : 21 Juli 2006
Sumber : http://www.gatra.com/2006-07-21/artikel.php?id=96425

Pengadilan khusus tindak pidana perikanan yang dibentuk di lima wilayah di Indonesia mulai beroperasi pada 7 Oktober 2006.

Jurubicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko, di Gedung MA, Jakarta, Jumat, mengatakan, pengadilan khusus perikanan itu dibentuk di Jakarta Utara, Medan, Bitung, Tual dan Pontianak.

"Sesuai mandat UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan, bahwa paling lambat dua tahun sejak UU ini berlaku pengadilan perikanan sudah harus bekerja. Maka pada 7 Oktober 2006, pengadilan perikanan sudah mulai bekerja" tutur Djoko.

Pengadilan perikanan berwenang untuk mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan tersebut berada di lingkungan peradilan umum. Majelis hakim yang menangani perkara tindak pidana perikanan tersebut terdiri atas tiga orang, satu dari kalangan hakim karir dan dua hakim ad hoc perikanan.

Saat ini MA tengah melakukan seleksi untuk memilih hakim ad hoc perikanan. Dari 31 hakim ad hoc yang tersaring, MA memilih 16 orang. Sebanyak 16 orang itu kini menjalani pelatihan hingga Agustus 2006. Namun, Djoko mengatakan dari 16 orang itu, MA akan melakukan seleksi lagi sehingga yang terpilih sekitar sepuluh atau 13 orang. Calon hakim ad hoc perikanan itu, menurut Djoko, adalah ahli perikanan.

Djoko mengatakan dasar pembentukan pengadilan khusus perikanan karena saat ini penegakan hukum di bidang tindak pidana perikanan masih menemui banyak kendala, terutama untuk menangani kasus pencurian ikan atau "illegal fishing" oleh nelayan asing.

"Jadi perlu ada peraturan hukum yang lebih spesifik dan lebih cepat prosesnya," ujar Djoko yang juga Ketua Kelompok Kerja Pembentukan Pengadilan Perikanan.

Selain hakim khusus, pengadilan perikanan juga membutuhkan jaksa khusus. Penanganan perkara tindak pidana perikanan maksimal satu bulan di setiap tingkat pengadilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding hingga kasasi.

Wilayah hukum lima pengadilan khusus perikanan yang telah dibentuk mengikuti wilayah hukum pengadilan umum. Sedangkan untuk wilayah lain yang belum memiliki pengadilan khusus perikanan, maka tindak pidananya akan ditangani oleh pengadilan biasa.

Djoko mengatakan anggaran untuk pengadilan perikanan pada 2006 masih dibebankan kepada pemerintah dan baru pada 2007 dimasukkan dalam anggaran MA.

Pengadilan khusus perikanan menambah pengadilan khusus yang saat ini sudah berjumlah lima, yaitu pengadilan khusus tindak pidana korupsi, Hak Asasi Manusia (HAM), Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan pengadilan anak.

Pengadilan Perikanan Mulai Dijalankan Oktober 2006


Tanggal :
21 Juli 2006
sumber : http://www.gatra.com/2006-07-21/artikel.php?id=96425

Pengadilan khusus tindak pidana perikanan yang dibentuk di lima wilayah di Indonesia mulai beroperasi pada 7 Oktober 2006.

Jurubicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko, di Gedung MA, Jakarta, Jumat, mengatakan, pengadilan khusus perikanan itu dibentuk di Jakarta Utara, Medan, Bitung, Tual dan Pontianak.

"Sesuai mandat UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan, bahwa paling lambat dua tahun sejak UU ini berlaku pengadilan perikanan sudah harus bekerja. Maka pada 7 Oktober 2006, pengadilan perikanan sudah mulai bekerja" tutur Djoko.

Pengadilan perikanan berwenang untuk mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan tersebut berada di lingkungan peradilan umum. Majelis hakim yang menangani perkara tindak pidana perikanan tersebut terdiri atas tiga orang, satu dari kalangan hakim karir dan dua hakim ad hoc perikanan.

Saat ini MA tengah melakukan seleksi untuk memilih hakim ad hoc perikanan. Dari 31 hakim ad hoc yang tersaring, MA memilih 16 orang. Sebanyak 16 orang itu kini menjalani pelatihan hingga Agustus 2006. Namun, Djoko mengatakan dari 16 orang itu, MA akan melakukan seleksi lagi sehingga yang terpilih sekitar sepuluh atau 13 orang. Calon hakim ad hoc perikanan itu, menurut Djoko, adalah ahli perikanan.

Djoko mengatakan dasar pembentukan pengadilan khusus perikanan karena saat ini penegakan hukum di bidang tindak pidana perikanan masih menemui banyak kendala, terutama untuk menangani kasus pencurian ikan atau "illegal fishing" oleh nelayan asing.

"Jadi perlu ada peraturan hukum yang lebih spesifik dan lebih cepat prosesnya," ujar Djoko yang juga Ketua Kelompok Kerja Pembentukan Pengadilan Perikanan.

Selain hakim khusus, pengadilan perikanan juga membutuhkan jaksa khusus. Penanganan perkara tindak pidana perikanan maksimal satu bulan di setiap tingkat pengadilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding hingga kasasi.

Wilayah hukum lima pengadilan khusus perikanan yang telah dibentuk mengikuti wilayah hukum pengadilan umum. Sedangkan untuk wilayah lain yang belum memiliki pengadilan khusus perikanan, maka tindak pidananya akan ditangani oleh pengadilan biasa.

Djoko mengatakan anggaran untuk pengadilan perikanan pada 2006 masih dibebankan kepada pemerintah dan baru pada 2007 dimasukkan dalam anggaran MA.

Pengadilan khusus perikanan menambah pengadilan khusus yang saat ini sudah berjumlah lima, yaitu pengadilan khusus tindak pidana korupsi, Hak Asasi Manusia (HAM), Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan pengadilan anak.

Dinas Perikanan Rohil Laporkan Pencurian Ikan ke Menteri


Tanggal : 15 Juni 2006
Sumber : http://www.riau.go.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=1&aid=2997

PEKANBARU (Riau Online): Dinas Perikanan Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) melaporkan pencurian ikan yang dilakukan nelayan-nelayan dari Belawan, Sumatera Utara (Sumut) ke Menteri Perikanan dan Kelauatan.

"Laporan ini kami sampaikan melalui Bupati Rohil sebab aksi penjarahan tersebut dah sangat meresahkan," kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil Ir H Amrizal di Bagan Siapi-api, Sabtu.

Nelayan dari provinsi tetangga itu menjarah ikan di perairan Rohil dengan menggunakan pukat harimau, sehingga mengancam habitat ikan yang ada di perairan Bagansiapiapi.

Sejak tahun 2003 lalu sudah menangkap beberapa unit kapal nelayan asal Belawan tersebut, rata-rata mereka menggunakan pukat harimau dalam menangkap ikan. "Kalau ini terus dibiarkan, tidak saja kehidupan nelayan di Bagansiapiapi terancam, ekosistem ikan di Bagan juga terancam punah," katanya.

Tahun 2003 lalu, katanya, pihaknya menangkap sebuah kapal Jala Jaya II dan kapal itu menggunakan pukat harimau. "Ketika itu masih berlaku UU perikanan nomor 9 tahun 1985, hukumannya sangat rendah sekali, sehingga sampai saat ini kapal tersebut masih bebas beroperasi," ujarnya.

Pada 2004, pihaknya kembali menangkap tiga kapal nelayan yang juga menggunakan pukat harimau masing-masing Selat Jaya II, Surya Samudra dan Champion IV. namun karena UU-nya masih lemah, kapal-kapal itu kembali dilepas.

Diharapkan dengan UU Perikanan yang sudah direvisi nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan diharapkan, aksi pencurian ikan bisa diatasi.

"Sebab dalam UU tersebut Dinas diberi kewenangan penuh untuk melakukan penyelidikan," ungkap Amrizal. Nelayan-nelayan yang melakukan pencurian ikan di perairan Bagansiapiapi telah menyalahi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Posisi mereka boleh mengambil ikan dengan pukat harimau pada posisi tiga derjat Lintang Utara (LU) dan dilintang ini mereka hanya sampai di perairan Sumut dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

"Sedangkan untuk wilayah perairan Riau khususnya Bagansiapiapi berada pada posisi dua derajat LU 36 menit, sangat jauh sekali dari ZEE yang seharusnya," ujarnya lagi.

Pihaknya juga mengkhawatirkan, jika aksi pencurian ikan dengan menggunakan pukat harimau tetap marak, akan mematikan kehidupan nelayan tradisional dan dengan sendiri akan mematikan juga kehidupan masyarakat yang bergerak di bidang perikanan ini seperti pengumpul, penjual dan sebagainya.

Jumlah nelayan di Bagansiapiapi mencapai 5.000-6.000 orang, sedangkan mereka yang bekerja di bidang perikanan ini mencapai puluhan ribu orang pula, jika nelayan tidak menangkap ikan lagi dengan sendirinya akan menghancurkan kehidupan masyarakat yang banyak bergerak di bidang perikanan di daerah itu.

Dubes RI Akan Jenguk Nelayan Yang Ditahan Australia

Tanggal : 3 Maret 2006
Sumber : http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=12&id=727


Jurnalnet.com (Jakarta): Dubes Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, akan mengunjungi fasilitas penahanan "Coonawara" dan Lembaga Pemasyarakatan Berrimah, Negara Bagian Northern Territory, sebagai bagian dari kegiatan kunjungannya pada 4-11 April mendatang.


Di kedua tempat itu, sejumlah warganegara Indonesia, khususnya nelayan, ditahan, kata Pjs Konsul RI di Darwin, Maimunah Vera Syafik, dalam informasi tertulisnya tentang rencana kunjungan Dubes Thayeb yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.

Kunjungan Dubes ke negara bagian itu dimaksudkan sebagai "introductory call" (kunjungan perkenalan) kepada kepala pemerintahan di sana, katanya.

Terkait dengan masalah nelayan asing dan upaya Australia dalam menangani pencurian ikan, Sekretaris II Konsulat RI Darwin, Teguh Wiweko, mengatakan pemerintah Australia akan bersikap lebih tegas dalam memerangi aksi pencurian ikan di perairannya dengan mengintegrasikan kantor bea cukai, Otoritas Manajemen Perikanan Australia (AFMA), dan angkatan laut di Negara Bagian Northern Territory. "Sekarang komitmen negara itu untuk memerangi `illegal fishing` (pencurian ikan) semakin kuat. Menteri Perikanannya pun kini sudah baru," katanya.

Northern Territory pun, katanya, akan menjadi pusat "tahanan darat" (land detention) bagi para nelayan asing, termasuk Indonesia, yang kapal-kapalnya tertangkap di perairan negara itu. Selama ini, selain di Northern Territory, pusat penahanan juga terdapat di Negara Bagian Western Australia dan Queensland, katanya.

"Dari segi hukuman pun, hukuman maksimal bagi kapten kapal yang melanggar akan meningkat menjadi 10 tahun, dengan denda bisa mencapai ratusan ribu dolar Australia," kata Teguh. Wakil Konsul RI di Darwin itu tidak menyebutkan jumlah nelayan Indonesia yang kini ditahan di negara bagian itu.

Namun, menurut data Konsulat RI Darwin, jumlah nelayan Indonesia yang ditahan antara 1 Januari dan 28 Febuari 2005 mencapai 257 orang dengan 36 kapal, sedangkan selama 2004 jumlah nelayan yang ditahan tercatat sekitar 418 dengan 159 kapal.

Tahun 2005, para nelayan Indonesia yang tertangkap masih ditahan di atas kapal-kapal maupun perahu-perahu bermotor mereka yang lego jangkar sekitar satu setengah mil dari dermaga Pelabuhan Darwin Wharf, Darwin.

Akibat maraknya trawl

Sekretaris III KBRI Canberra, Ani Nigeriawati, mengutip pengakuan Raden, salah seorang awak kapal nelayan Indonesia yang pernah ditahan di Darwin Mei 2005, mengemukakan maraknya kapal-kapal pukat harimau asing dan pemakaian bom ikan di perairan Indonesia berdampak buruk terhadap nasib nelayan Indonesia.

Bahkan, mengutip pengakuan Raden, maraknya kapal-kapal pukat harimau asing dan pemakaian bom ikan itu merupakan dua penyebab mengapa para nelayan Indonesia yang hanya mengandalkan alat tangkap tradisional seperti bubu dan alat pancing menangkap ikan secara tidak sah di perairan Australia.

Lelaki yang sudah dua kali tertangkap dalam kasus yang sama ini menuturkan bahwa dia bisa mengantongi pendapatan bersih sekitar Rp6 juta per 15 hari melaut di perairan Australia jika tidak tertangkap, sedangkan tekong (juragan) menerima Rp10 juta, katanya mengutip Raden.

Raden mengatakan para nelayan seperti dirinya semakin sulit mendapatkan ikan di perairan Indonesia karena, selain kalah bersaing dengan kapal-kapal pukat harimau yang berasal dari Thailand, Taiwan, dan China, penggunaan bom ikan telah membuat potensi ikan di perairan Indonesia menurun.

Ani mengatakan perahu yang diawaki Raden bersama enam rekannya yang telah dikembalikan aparat Australia ke tanah air sudah dimusnahkan, karena pemilik perahu tidak mau membayar tebusan (bond) yang telah ditetapkan pemerintah Australia.

PELAKU ILEGAL FISING HARUS DIPROSES


Tanggal : 24 April 2006

Sumber : http://www.papua.go.id/berita_det.php/id/556

Jayapura-Perairan laut Papua ternyata masih marak oleh adanya pelaku Ilegal Fising, yang dapat merugikan negara dan ekosistem di laut. Buktinya, beberapa waktu lalu, pihak Lanal Merauke berhasil menangkap 8 kapal ikan yang melakukan Ilegal Fishing di perairan laut Merauke. Terkait dengan itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Ir. Astiler Maharadja yang dihubungi wartawan meminta agar pelaku Ilegal Fishing diproses secara hukum dan tuntas. Karena dinilai sudah menyalai peraturan perundang-undangan perikanan. "Terkait masalah Surat Izin Penangkan dan Mata Jaring yang di pakai di kapal trawll itu tentunya akan membawa dampak besar terhadap laut kita. Oleh karena itu, nantinya kita juga akan bekerja sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Marauke untuk melakukan pengukuran mata jaring. Sehingga apabila perbuatan mereka terbukti merugikan negara dan ekosestem di laut, maka mereka harus diproses" katanya kepada wartawan saat dihubungi Bisnis Papua lewat via telepon selulernya, semalam. Dari data yang berhasil dihimpun, sebagian besar Kapal-kapal asing yang ditangkap, masuk keperairan Papua dengan menggunakan bendera Indonesia, tetapi tidak dapat dibuktikan keabsahannya. Hal itu dapat dilihat pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak kemanan. Mereka menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk beroperasi di Papua. Mereka juga biasanya mengambil jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, misalnya ikan tuna, cakalang, arwana, udang, teripang, dan kerang. Ikan-kan yang bernilai ekspor itu sangat mudah ditemukan di perairan Papua. Diakui Astiler, kasus pencurian ikan diwilayah perairan Merauke, berada pada tingkat volume yang cukup tinggi. Hal itu, dibuktikan dengan adanya penangkapan kapal nelayan asing yang terjadi setiap tahunnya. Oleh karena itu, pihaknya sekali lagi menegaskan dan meminta pihak keamanan untuk segera melakukan penyidikan dan penyeledikan, sebagai upaya penanganannya karena telah merugikan negara. "Jadi, di laut Arafuru tampaknya sudah menjadi tradisi dari nelayan asing dan nelayan lokal untuk melakukan penangkapan ikan secara tidak benar. Memang kasus kasus pencurian ikan di wilayah perairan ini cukup tinggi, karena setiap tahun selalu ada kapal nelayan asing yang ditahan pihak TNI AL. Oleh karena itu, saya minta aagar pihak keamanan segera menindak tegas dan memproses mereka perbuatan mereka yang sudah sangat merugikan negara," paparnya. Dari data yang dihimpun sebelumnya, setiap tahun sekali terdapat sekitar 70 kapal asing beroperasi di perairan Papua, sehingga menimbulkan kerugian sekitar Rp 7 trilyun. Jumlah perghitungan tersebut, hanya berasal dari perairan Merauke, dan belum termasuk kerugian pencurian ikan di perairan aru, digoel, dan perairan lain yang ada di Papua. Apabila hal demikian masih berlangsung secara continue di perairan laut Papua, maka total kerugian yang dialami negara tidak akan terhitung. Selain itu, ekosistem laut Papua yang terkenal kaya akan hasil perikanan pun ikut terancam. Keprihatinan ini harus menjadi tanggung jawab dari semua pihak terkait. Setidaknya menekan angka pelanggaran Ilegal Fishing, yang salah satunya memproses tanpa ampun pelaku pencurian ikan yang tertangkap.

DPR Desak Pemerintah Segera Keluarkan Perpu Illegal Fishing

Tanggal : 5 April 2006
Sumber : http://www.dpr.go.id/artikel/artikel.php?aid=968


Wakil Ketua Komisi IV DPR Mindo Sianipar mengatakan pencurian ikan (illegal fishing) yang berlangsung di seluruh kepulauan Indonesia sudah masuk kategori gawat darurat. Kerugian akibat illegal fishing sudah sangat luar biasa, hampir mencapai 5 miliar US$ per tahun.


Sebagian besar hasil laut kita dijadikan lahan pencurian oleh pihak asing. Lautan Indonesia dijadikan sorga bagi pencuri ikan dari luar negeri. Karena itu DPR mendesak Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang mengatur tentang illegal fishing di lautan Indonesia.

“Mengingat jumlahnya yang dicuri terlalu besar, sudah selayaknya dibuatkan Perpu sebelum UU berkaitan tentang ini direvisi,” ujar Mindo kepada pers di gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/3).

Mindo menegaskan harus ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mengatasi dan mencegah illegal fishing, di antaranya dengan meningkatkan anggaran untuk pengamanan dan pengadaan alat-alat untuk memonitor perairan Indonesia.

Ironinya, kata Mindo, pelaku illegal fishing yang berhasil ditangkap oleh aparat keamanan selama ini oleh pengadilan kemudian dibebaskan. “Ini mengakibatkan nelayan di berbagai daerah marah dan membakar kapal yang ditangkap itu,” kata Mindo.

Mindo mengusulkan kapal-kapal asing dan ikan hasil curian itu sebaiknya dibagikan saja kepada kelompok –kelompok nelayan setempat dimana kapal tersebut ditemukan, sehingga dapat digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan. “Jadi salah kalau kapal yang ditangkap itu lalu disita untuk negara, sebaiknya dibagikan saja kepada nelayan setempat,” tandas Mindo.

Mindo menyayangkan banyaknya pelalu illegal fishing yang lolos dari jerat hukum atau dihukum terlalu rendah sehingga efek jera yang diharapkan malah tidak dapat.

Untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku illegal fishing, lanjut Mindo, hukuman yang diberikan kepada pelaku illegal fishing harus lebih keras. dan kapal yang ditangkap itu disita oleh pemerintah. “Langsung saja disita (kapalnya) dan pelakunya di proses hukum,” kata Mindo.

Menurut Mindo, masalah illegal fishing tidak hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja, tapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, selain karena tingginya teknologi pengamanan lautan juga perlu koordinasi antar instansi.

Untuk menanggulangi illegal fishing, menurut Mindo, yang utama adalah memperkuat aparat keamanan di lautan. Sementara yang bertugas utama mengawasi dan menjaga keamanan lautan kita adalah TNI Angkatan Laut. Untuk jarak tertentu dari pantai, pengawasan dilakukan oleh Airud. Karena itu perlu koordinasi.

Polres Wakatobi Sita 4 Ton Bahan Peledak

Tanggal : 19 Januari 2006
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sulawesi/2006/01/19/brk,20060119-72590,id.htm

Oleh :
Dedy Kurniawan


TEMPO Interaktif, Kendari:Aparat Polres Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, menyita sekitar 4 ton pupuk amonium nitrat yang merupakan bahan baku utama pembuatan bom rakitan.

Tiga orang yang diduga kuat merupakan pemilik pupuk tersebut, La Sura, La Suriami dan Haji Safruddin, telah ditahan di Mapolresta Wakatobi.

Kepala Polres Wakatobi, AKP La Ode Murzi mengatakan, penyitaan itu dilakukan setelah pada awal Januari 2006, pihaknya memperoleh informasi tentang adanya penimbunan pupuk amonium nitrat di sekitar Kelurahan Mandati, Pulau Wangi-wangi.

Berbekal informasi itu, selama dua pekan polisi lalu melakukan penyelidikan dan berhasil menemukan 162 karung pupuk amonium nitrat cap obor. Tiap karung memiliki berat 25 kilogram, sehingga bila dikalikan, total berat pupuk yang disita sebanyak 4.050 kilogram.

"Pupuk bahan baku bom itu disembunyikan di antara tanaman kelapa di sekitar pantai," kata Murzi kepada Tempo di Kendari, Kamis (19/1).

Dari hasil pemeriksaan awal, menurut Marzi, ketiga tersangka mengaku membeli pupuk tersebut dari sebuah kapal asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Untuk menghindari pemantauan polisi, mereka melakukan transaksi pembelian pupuk tersebut langsung di tengah laut.

Setiap karung pupuk dibeli dengan harga Rp 150 ribu, dan akan dijual kembali dengan harga Rp 350 ribu. "Dulunya orang yang membeli pupuk semacam ini kebanyakan para nelayan yang menggunakannya untuk membuat bom ikan," ujar Marzi.

Belakangan, seiring dengan banyaknya terjadi aksi terorisme di Indonesia, Polres Wakatobi belum berani memastikan, digunakan untuk apa ribuan kilogram pupuk tersebut.

Secara terpisah, Kapolda Sulawesi Tenggara, Brigjen Edhy Soesilo menyatakan telah sejak lama mengawasi Pulau Wangi-wangi. Pulau itu disinyalir merupakan pusat peredaran pupuk amonium nitrat yang merupakan bahan baku utama pembuatan bom rakitan.

Wisata Bahari Salah Satu Solusi Atasi Pencurian Ikan

Tanggal : 18 Januari 2006
Sumber : http://www.ketapang.go.id/index.php?pilih=lihat&id=432

Merebaknya berita penangkapan kapal nelayan trawl oleh nelayan PMK beberapa waktu lalu mendapat tanggapan positif beberapa pemerhati lingkungan dan sosial di daerah ini. “Aktifitas penangkapan ikan diperairan Ketapang dengan menggunakan pukat trawl dan pemboman, jelas-jelas dapat merusak ekosistem laut,” ungkap Lufti F. Hasan, SP, Ketua LSM K3 ini kepada Pontianak Post. Memang ikan adalah SDA yang dapat diperbaharui tetapi dengan dua cara penangkapan diatas akan mempercepat laju kepunahan. Pukat trawl memang menggangkat lebih banyak ikan tapi tidak peduli ikan besar maupun kecil, tambah Lufti.

Apalagi dengan menggunakan bom di dalam air, bukan hanya ikan besar dan kecil bahkan terumbu karang yang indah tempat bermainnya ikanpun ikut musnah, ujar Directur Khatulistiwa Adventure yang berencana mengembangkan Wisata Bahari bersama Canopy Kalimantan ini. Bayangkan saja jika terumbu karang yang berkembangnya saja hanya beberapa millimeter per 10 tahun ini dan ikan-ikan nemo yang indah musnah, apalagi keindahan laut yang bisa dinikmati sebagai tambahan pendapatan nelayan jika dilihat dari sisi pariwisata, jelas Lufti manambahkan.

Tanggapan lain pula keluar dari putra kelahiran PMK, Tengku Nurmawardi, S.Sos yang mengungkapkan bahwa hal ini jelas-jelas memberikan kecemburuan sosial bagi nelayan lokal. “Pukat trawl menjanjikan nilai rupiah yang lebih besar dibanding nelayan lokal yang hanya menggunakan pukat biasa, cepat kaya tapi orang lain dirugikan” tambah Ketua LSM Bumi Kayong ini.

Terakhir kedua pemerhati ini menambahkan agar Pemerintah Daerah memperhatikan hal ini baik dari sisi Pariwisata maupun Sosial dan yang terpenting pelanggaran Kepres No. 39 Tahun 1980 harus segera dikoordinasikan dengan semua pihak. “Apagunanya kita punya bracuda sebagai armada patroli,” gurau Lufti.