Tanggal : 29 Maret 2008
Sumber : cumakita@yahoogroups.com
Samarinda, Kompas - Kalangan nelayan di Kalimantan Timur meminta pemerintah tak melegalkan penangkapan ikan memakai pukat harimau atau trawl. Pemakaian alat itu akan kian menyengsarakan mereka. Selama ini, meski tanpa izin, kapal pukat harimau sudah banyak yang
beroperasi dan merusak ekosistem di laut.
Ikan hasil tangkap nelayan Kalimantan Timur (Kaltim) semakin sedikit sehingga saat ini banyak nelayan beralih pekerjaan. "Ada 3.000 nelayan dari 6.000 anggota kami yang kini menjadi buruh bangunan atau tukang ojek sepeda motor," kata Rustam, Ketua Persatuan Nelayan Kecil Kota Tarakan, Jumat (28/3).
Kondisi itu berawal dari merajalelanya pukat harimau di pesisir, bahkan muara sungai di perairan utara Kaltim dalam kurun 17 tahun ini. Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Nelayan Balikpapan Ilham Jaya, kalau pukat harimau diizinkan, potensi konflik antarnelayan makin besar. "Lagi pula ada peraturan yang secara tegas melarang pemakaian pukat harimau, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang penangkapan ikan serta Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang pelarangan alat tangkap trawl di perairan Indonesia.
Laut dalam
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim Isal Wardhana menyebutkan, tak masuk akal usul pemerintah yang membolehkan kapal trawl beroperasi di perbatasan. Di kawasan itu, jaring tak berguna sebab laut amat dalam sehingga ikan-ikan sulit ditangkap. Akhirnya yang dipilih ialah pesisir yang kaya ikan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim Khaerani Saleh mengatakan, penangkapan ikan memakai pukat harimau hanya dibolehkan di sekitar Blok Ambalat. Tujuannya, menyaingi nelayan-nelayan Malaysia. Nelayan yang diizinkan adalah dari Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, dan Tarakan.
Mulyono (41), nelayan asal Cilacap, Jawa Tengah, yang telah pindah ke Ambon, Maluku, mengungkapkan, selama 30 tahun menjadi nelayan ia sering melihat kapal-kapal yang menggunakan jaring pukat harimau. Ada juga yang menggunakan pair trawl, dengan jaring ditarik dua kapal. Penggunaan pukat harimau oleh kapal-kapal besar memaksanya berpindah-pindah lokasi penangkapan ikan dari Cilacap, Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Maluku.
Nelayan di Palu, Sulawesi Tengah, mendesak agar pemerintah mengatur dengan jelas wilayah operasi kapal pukat harimau di laut lepas saja. Jika tidak, nelayan tradisional, terutama yang menggunakan perahu kecil, akan dirugikan. "Saya tidak setuju kapal pukat harimau beroperasi di sekitar sini. Namun, kalau aturannya begitu, yang harus diatur adalah wilayahnya, di laut lepas saja, agar kami nelayan yang memakai perahu kecil tidak terganggu dan bisa tetap dapat ikan," ujar Sulham (40), di Pantai Talise, Palu, Jumat sore. Akbar (52), nelayan yang biasa mencari ikan di Teluk Palu dan sekitarnya, juga mengatakan hal serupa. (bro/ang/ren)