Tanggal : 16 Januari 2008
Sumber : http://www.panyingkul.com/view.php?id=697&jenis=berandakita
Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri mewawancari dua pakar yang meneliti dan bergelut dalam masalah destructive fishing untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi terkini pemboman ikan, serta upaya untuk mengatasinya. Ada bom ikan yang bernama ”bismillah” dan juga ada kekhawatiran melihat lemahnya penegakan hukum, sehingga praktik ”saling atur” dengan aparat, membuat para pelaku tetap leluasa beraksi.
Di awal Desember 2007, saya mewawancarai Muhsin, seorang master diver dan peneliti terumbu karang yang saat ini bekerja di kantor kelautan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Di kediamannya yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea Makassar, Muhsin menerima saya dan memberi penjelasan panjang lebar mengenai destructive fishing (DF). Irama rintik-rintik hujan di malam itu menemani perbincangan kami.
Menurut Muhsin, setiap pulau atau daerah identik dengan alat tangkap yang khas. Berikut saya sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
Dan berikut penjelasannya lebih lanjut mengenai DF.
Untuk jenis bagang, terdiri dari 3 jenis. Bagang tancap (dengan lampu strongking), bagang perahu (dengan lampu sorot), dan bagang rambo (dengan banyak lampu). Bagang beserta lampunya ini digunakan untuk menangkap ikan yang hanya aktif pada malam hari (gelap) dan senang akan cahaya. Ikan jenis ini disebut dengan ototaksis positif.
Bubu tindis merupakan perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Karena terbuat dari bambu (ringan), alat ini dipasang dengan cara ditindis – biasanya dengan menggunakan terumbu karang, itulah yang menyebabkan mengapa alat ini termasuk alat tangkap yang merusak- di dasar perairan supaya tidak goyang dan berpindah tempat setelah didiamkan. Untuk mengumpan ikan-ikan yang menjadi target, di dalam bubu biasa dipasangi umpan. Ikan-ikan yang sudah terkurung tidak dapat lagi keluar dari bubu.
Di dalam bubu, ikan-ikan akan kekurangan oksigen dan bahan makanan (bagi ikan pemangsa) lalu mati setelah beberapa waktu. Setelah ikan-ikan tersebut mati, barulah diangkat naik ke kapal/perahu.
Alat tangkap selanjutnya adalah cantrang, yang merupakan miniatur pukat harimau. Alat ini biasa digunakan masyarakat di TPI Paotere. Jenis dan bentuknya tidak berbeda dengan pukat harimau, hanya saja ukurannya lebih minim. Penggunaan pukat harimau dilarang karena tidak mengenal size and kind (ukuran dan jenis), sehingga ikan-ikan yang menjadi korban termasuk yang bukan target tangkapan. Ikan yang ukan target ini kemudian dibuang begitu saja seperti sampah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan yang hanya jadi sampah tangkapan lalu dibuang seenaknya jika radius yang terkena pukat harimau mencapai puluhan meter?
Untuk melengkapi penjelasan Muhsin, saya juga mewawancarai Yusran, direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia memberi gambaran lain tentang pemboman di Selayar. Lembaga yang dipimpin Yusran ini berdiri sejak 1997, bergerak di bidang konservasi laut, kehidupan pesisir, dan penangkapan ikan. Menurut Yusran, di kepulauan Selayar, biasa digunakan adalah bondet, alat tangkap serupa bom.
Berdasarkan pengalaman Yusran, pulau-pulau yang termasuk pulau yang kaya akan sumber daya lautnya di antaranya; Taka Bonerate, gugusan Kepulauan Spermonde yang terdiri dari 128 pulau, Kepulauan Sembilan di Sinjai, dan Kepulauan Tana Keke di Takalar.
Bom dan Bius
Alat tangkap yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Mengapa demikian? Menurut Muhsin, penggunaan bom untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. ”Kalau telat nanti ikannya bisa melarikan diri. Makanya dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik” jelas Muhsin.
Sebelum membom ikan, di atas kapal/perahu para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.
Bom dibeli satu paket dengan detonator, termolit, dan sumbu. Bom ini berasal dari bahan pupuk sianida –biasanya disiapkan oleh punggawa-- dengan kadar nitrogen yang tinggi. Harganya sekitar Rp200.000 per zak (1 zak = 25 kg).
Di Barrang Lompo, dalam satu kapal pa’es –kapal besar yang memuat es dan merupakan kapal pembom— biasanya membawa 10 hingga 12 zak bom untuk perjalanan 7 hingga 10 hari. Dan setiap kilogram, radiusnya mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk – makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis)? Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom.
Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan.
Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.
Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (lunak).
Berbeda halnya dengan bom, bius berfungsi sebagai ”racun sementara”. Bius ini digunakan dengan cara disemprotkan ke area mana saja yang dikehendaki sebagai target tangkapan. Ikan-ikan yang sudah dibius akan teler, lalu selanjutnya disterilkan biusnya agar ikan normal kembali seperti sedia kala.
Ada dua cara mensterilkan bius ikan. Pertama, si penangkap (berenang) membawa ikan-ikan yang sedang ”teler” ini ke perairan yang tidak tercemar oleh bius dengan memasukkan ikan ke dalam jaring atau alat lain. Nah, di sini ikan-ikan tersebut akan kembali normal dalam beberapa waktu. Setelah ikan kembali normal, barulah ikan-ikan tersebut diangkat naik ke atas kapal/perahu. Kedua, ikan yang ”mabok laut” tadi dimasukkan ke dalam keramba, namun cara ini memakan waktu yang lebih lama dari cara pertama, biasanya satu minggu.
Menurut Yusran, jenis ikan yang menjadi target pembiusan biasanya jenis ikan yang bernilai ekonomis dan ikan hias. Ikan-ikan tersebut tentu harus dijual dalam keadaan hidup, makanya dibius supaya tetap bagus tampak fisiknya. ”Pembeli mana tahu kalo ikan tersebut sudah dibius, toh ikannya dijual hidup dan tidak ada ciri-ciri fisik yang nampak seperti ikan hasil bom,” ujar Yusran menambahkan.
Lantas, apakah efek bius dalam tubuh ikan tidak hilang dan menjadi racun bagi para konsumen setelah dimasak? Menurut Muhsin, berdasarkan penelitian, bahan-bahan yang terkandung dalam bius yang meracuni ikan akan hilang sedikitnya 2 hari. Sedangkan Yusran menambahkan, efek bius tersebut tidak begitu signifikan mempengaruhi kesehatan konsumen. ”Buktinya sudah banyak yang makan ikan, tapi belum pernah ada berita mengenai hal tersebut” ujarnya yakin.
Terus Berlanjut
Kegiatan penangkapan ikan model DF terus berlangsung hingga sekarang, disebabkan karena beberapa hal. Pertama, sebut saja ’tuntutan hidup’. Karena penangkapan ikan secara DF lebih mudah dan lebih cepat ketimbang dengan cara alami (tanpa menggunakan alat2 tangkap yang merusak) sehingga arus jual-beli bisa tetap lancar dan kontinu. Dengan begitu, kebutuhan para nelayan dan keluarga sehari-hari bisa tetap terpenuhi. Kedua, adanya realita ”hukum kotor”.
Misalnya yang terjadi di Selayar dan Barrang Lompo. Berdasarkan cerita Muhsin, di kedua daerah tersebut para nelayan (pelaku penangkapan ikan secara merusak) menyumpal mulut aparat dengan lembaran-lembaran rupiah agar perbuatannya tidak dilaporkan, karena resikonya adalah hukuman pidana seperti yang tercantum pada UU No. 31 Tahun 2000 Pasal 84 Ayat 1, yakni denda paling banyak Rp1.200.000.000 (satu milyar dua ratus juta rupiah) atau kurungan penjara paling lama 6 tahun.
Di Barrang Lompo, tiap satu buah kapal pa’es (kapal pembom) membayar petugas 2 juta rupiah untuk satu kali trip (kurang lebih selama 1 minggu). Selama sebulan, setiap kapal biasanya melakukan trip sebanyak 3 kali. Berarti setiap bulannya, dompet aparat di daerah itu bertambah tebal oleh uang 6 juta rupiah. ”Harga itu berlaku sebelum tahun 2000...,” tambah Pak Muhsin. Nominal ini hanya untuk satu buah kapal, sedangkan volume kapal pembom di Barrang Lompo kala itu mencapai 30 buah. Wah, berapa banyakkah uang yang diperlukan ”meredam” petugas? Silakan hitung sendiri!
Meskipun harus merogoh kocek, namun biaya yang para nelayan keluarkan untuk membungkam aparat tidak mengurangi keuntungan hasil penjualan ikan secara drastis. Dengan kata lain, tidak seberapa. Oleh karena itulah, kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (DF) tetap berlangsung. Ketiga, suplai alat dan bahan untuk menangkap (misalnya bom dan bius) tetap tersedia. Meskipun sulit untuk mendapatkannya, namun setiap daerah/pulau sudah punya penyuplai dan jalur distribusi tersendiri.
Solusi
Mengenai solusi, saya mendapati dua jawaban yang berbeda namun cukup menarik dari kedua narasumber tersebut.
Menurut Yusran, sudah ada tiga program untuk setidaknya mengikis sedikit demi sedikit arus kegiatan penangkapan ikan secara destruktif. Ada yang sudah dan masih berlangsung, namun ada juga yang masih ”hitam di atas putih”.
Pertama, MCS (Monitoring Controlling Surveillance) untuk pengawasan dan pemantauan praktek-praktek DF secara berkelanjutan. MCS sendiri terbagi atas dua, yakni MCS berbasis laut yang dilakukan oleh TNI AL dan Polairud (polisi air dan udara) dan MCS berbasis darat atas rekomendasi DFW (Destructive Fishing Watch) bekerja sama dengan YKL.
MCS berbasis laut bertujuan untuk menangkap kapal-kapal pembom di laut. Untuk sementara, MCS inilah yang gencar dilakukan. Sedangkan MCS berbasis darat yang sudah mulai diaplikasikan bertujuan untuk memutus mata rantai jaringan distribusi bom dan bius. Kedua, CEB (Character Education Building) yakni penanaman nilai-nilai perilaku penangkapan yang ramah lingkungan melalui proses pengajaran, atau bisa juga disebut idealisme konservasi. Targetnya adalah generasi kawula muda.
Rencananya, Kepulauan Selayar merupakan daerah pertama yang akan segera dijamah program tersebut. Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang dibiayai oleh World Bank (bank dunia) dan ADB (Asian Development Bank) akan memfasilitasi pengadaan pelajaran muatan lokal khusus mengenai penangkapan ikan yang ramah lingkungan di sekolah-sekolah di Kepulauan Selayar.
Terlepas dari apakah ada udang di balik batu, yang jelas menurut Yusran agenda ini sudah dalam proses penyusunan kurikulum. Tujuannya, agar generasi muda mengetahui dampak dan pengaruh DF bagi kelangsungan kehidupan bawah laut serta diharapkan bisa menemukan alternatif mengenai cara tangkap yang tidak merusak. Ketiga, alternatif teknologi.
Di lain pihak, Muhsin memiliki pernyataan sendiri mengenai solusi DF. ”Susah kalau mikir solusi, sebab akar masalahnya ada pada hukum dan aparat. Kalau akarnya sudah lemah begini, bagaimana pohonnya mau kokoh?” ujar Muhsin