Tanggal : 29 November 2007
Sumber : http://beritasore.com/2007/11/29/sosialisasi-illegal-fishing-justru-perburuk-keadaan/
Kupang ( Berita ) : Sosialisasi “illegal fishing” yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia melalui Duta Besarnya di Jakarta, Bill Farmer justru memperburuk keadaan yang terlihat dari membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan di wilayah perairan tersebut.
“Ini merupakan bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia bahwa program pemberdayaan yang dilakukan Australia melalui sosialisasi ‘illegal fishing’ itu tidak berhasil dan tak ada manfaatnya,” kata pengamat hukum laut internasional, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum di Kupang, Kamis [29/11] .
Dosen hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan penahanan 201 nelayan Indonesia di pusat penahanan (detention center) Darwin, Australia Utara oleh aparat berwenang Australia.
Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar yang menghubungi ANTARA di Canberra dari Brisbane menyebutkan, penahanan terhadap 201 nelayan Indonesia itu atas tuduhan menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan utara negara itu.
“Sesuai dengan catatan KRI Darwin hingga 28 November 2007, jumlah nelayan kita yang sudah ditahan di ‘detention center’ Darwin mencapai 129 orang. Jumlah itu dipastikan meningkat menjadi 201 orang dengan datangnya 72 awak dari delapan kapal yang beberapa hari ini ditangkap kapal patroli Australia,” katanya.
Pihak keamanan Australia menahan para nelayan tersebut atas tuduhan menangkap teripang, hewan laut yang dilindungi di Australia, karena ditemukan 1,1 ton teripang, peralatan selam dan alat tangkap teripang di atas perahu-perahu mereka.
Kantor Bea dan Cukai Australia (ACS) menyebutkan, dalam empat hari terakhir ini, dua kapal patroli ACS yakni “Triton dan Arnhem Bay” telah menangkap 118 nelayan Indonesia dari 12 kapal yang memasuki wilayah perairan Australia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara Australia.
Penangkapan terhadap 118 nelayan Indonesia dalam empat hari terakhir itu, menurut Buchari Hasnil Bakar, memperpanjang deretan kasus “illegal fishing” di Australia setelah pada 21 November lalu, sebanyak 16 orang dari keluarga nelayan asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga memasuki perairan utara negara itu.
Kasus 16 orang, termasuk 10 anak, yang memasuki perairan utara Australia dengan perahu bermotor yang tenggelam di Laut Timor dan kemudian diselamatkan kapal patroli AL Australia itu masih ditangani pihak imigrasi di Pulau Christmas, Australia Barat.
Wetan Songa mengatakan, membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan dan biota laut lainnya yang kemudian dituduh Australia memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal mencerminkan bahwa sosialisasi soal “illegal fishing” di Kupang dan beberapa tempat lainnya di Indonesia Timur, tidak berhasil.
“Kenapa nelayan kita malah tambah nekad untuk mencari ikan di sana, karena di sana adalah lahan kehidupan mereka,” katanya.
Menurut dia, di sinilah Indonesia angkat bicara memperjuangkan hak-hak nelayan Indonesia, bukan sebaliknya berdiam diri dengan menerima tawaran program pemberdayaan dari Australia untuk nelayan Indonesia.
Ia menegaskan, hak-hak nelayan tradisional Indonesia harus dipertahankan sesuai kesepakatan kedua negara (Indonesia-Australia) yang menandatangani MoU BOX pada 1974.
Lempeng Kontinental 1974 atau yang lebih populer dengan sebutan “MoU BOX” itu membolehkan nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef), Cartier Island, Scott Island, Seringapatam dan Browse karena memiliki potensi ikan yang sangat besar.
Hanya, Australia secara sepihak melarang nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di gugusan Pulau Pasir itu sejak 2002 dengan alasan konservasi lingkungan, meski MoU BOX 1974 secara jelas dan tegas mengatur tentang ketentuan menangkap ikan, hak dan kewajiban nelayan serta sejumlah ketentuan lainnya.
Menurut dia, Jakarta harus berbicara dan mendialogkan kembali dengan Australia untuk mempertahankan hak-hak nelayan tradisional Indonesia seperti yang digariskan dalam MoU BOX 1974.
“Aturan apapun yang diberlakukan Australia, nelayan kita tetap berlayar ke sana karena di sanalah ladang kehidupan mereka sejak dari dahulu kala. Ini pertanda buruk bahwa sosialiasi tentang ‘ilegal fishing’ itu justru menjadi bumerang bagi Australia sendiri,” kata Wetan Songa.
Radio Australia (ABC) melaporkan bahwa membanjirnya nelayan Indonesia dan nelayan-nelayan asing ke wilayah perairan tersebut sebagai dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing”.
Menteri Perikanan Australia semasa pemerintahan PM John Howard, Eric Abetz, sebagaimana dilaporkan ABC, menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing” tersebut.
Abetz mengatakan, bukan urusannya lagi jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumber daya perikanan Australia, sekalipun Canberra sudah mengalokasikan dana 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya.
“Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan utara Australia hingga 90 persen. Tetapi, sekarang bukan urusan saya lagi jika para nelayan Indonesia tidak bisa lagi menjarah sumber daya perikanan Australia,” kata Abetz seperti dikutip ABC.
Seorang peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia, Dr Meryl J Williams dalam sebuah studinya yang dipublikasikan Lembaga Kajian Kebijakan Internasional (Lowy Institute), merekomendasikan kepada Australia untuk melakukan perubahan tepat terhadap pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia terhadap sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU BOX 1974.