Tanggal : 27 September 2007
Sumber : http://www.panyingkul.com/view.php?id=578
Pratik pemboman ikan identik dengan kerusakan terumbu karang. Hal inilah yang tertanam di dalam benak banyak orang, sehingga ketika berkunjung ke pulau yang nelayannya diketahui sebagai pembom ikan, muncul asumsi bahwa terumbu karang di sekitar pulau tempat tinggal mereka sudah rusak parah. Padahal, anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Karang yang rusak umumnya ditemukan di pulau terpencil, bukannya di sekitar pulau tempat tinggal pelaku pemboman. Mari kita simak uraian citizen reporter Muhammad Ridwan Alimuddin
Dalam kegiatan snorkling di sekitar pulau pelaku pemboman, baik di Selat Makassar maupun di Laut Flores, saya mengamati terumbu karangnya memang ada yang rusak, tapi masih banyak yang sehat dan indahnya luar biasa. Pengamatan ini tentu memunculkan pertanyaan: bila diduga pemboman ikan marak dilakukan penduduk pulau-pulau ini, mengapa ekosistem atau lingkungan laut sekitarnya sehat-sehat saja?
Tidak berlaku umum
Sebagai catatan, ciri-ciri tersebut di atas tidak berlalu umum, sebab tidak semuanya ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan peledak dapat menampakan ciri morfologi dan anatomi sebagaimana yang dikemukakan di atas. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu daya ledak bom dan jarak antara ikan dengan pusat ledakan. Jika ledakan bok kuat dan berada dekat dengan tempat bom meledak kemungkinan besar ikan akan menampakan ciri demikian. Tetapi kalau jaraknya jauh meskipun ikan mati karena efek ledakan, belum tentu menunjukan ciri fisik di atas.
Faktor waktu dan proses penanganan ikan juga demikian. Sisik terkelupas, warna mata memutih, dan insang yang pucat juga merupakan ciri ikan yang sudah tidak segar lagi. Jumlah ikan yang begitu banyak dan biasa dicampurkan dengan ikan jenis lain, misalnya ikan yang mempunyai duri atau bagian tubuh yang tajam, misalnya Botana atau Baronang, akan membuat tubuh ikan terluka. Ikan Sunu yang ditangkap dengan menggunakan pancing, ketika ditarik dari dalam air akan memperlihatkan perut yang menggelembung disebabkan perubahan perbedaan tekanan udara. Jika dibiarkan (tidak ”disuntik” agar udaranya keluar), ikan tersebut akan terapung dan akhirnya mati karena kekurangan oksigen. Ikan ini pun menunjukkan kondisi perut yang membengkak dan mata yang tersembul meskipun tidak ditangkap dengan bom.
Bagi konsumen yang bermukim di kota Makassar dan Balikpapan, tidak sulit menemukan ikan hasil pemboman. Jenis yang paling digemari adalah ikan Sinrilik (Makassar) atau disebut ikan Bijinangka (istilah di Balikpapan dan Samarinda). Nama ilmiahnya Caesio sp. Berdasarkan parameter di atas, bisa dipastikan bahwa ikan Sinrilik/Bijinangka yang didaratkan adalah ikan yang ditangkap dengan bom. Istilahnya, semua parameter memenuhi, baik lingkungan, jenis ikan, ciri fisik, dan nilai ekonomi ikan.
Singkatnya, tanpa bertanya pun, kita sudah bisa tahu bahwa ikan tersebut ditangkap dengan bom. Tapi kalau tidak percaya, tanya saja kepada nelayan yang mendaratkan ikan-ikan itu. Jawaban “pakai bom” tak sulit untuk didapatkan. (p!)
Untuk menjawab ini ada beberapa analisa sederhana yang bisa dikemukan. Pertama, para nelayan itu tidak beroperasi di sekitar pulau tempat tinggal mereka, karena tentu mudah tertangkap basah oleh orang lain atau oleh petugas keamanan. Kedua, bom yang digunakan tidak bersumbu panjang. Ketiga, ada “kesadaran” bahwa bila membom terus menerus akan berisiko menenggelamkan pulau. Yang terakhir ini bisa diartikan “Jangan membom di sekitar pulau kita, nanti kita tenggelam. Lebih baik di tempat lain”.
Jadi, tetap besar kemungkinan menyaksikan karang indah di sekitar pulau atau pemukiman pembom ikan. Karang yang rusak justru berada di pulau terpencil atau yang tidak berpenghuni.
Diakui atau tidak, membom dan membius ikan berpotensi merusak terumbu karang. Saya tidak menggunakan istilah “selalu merusak” sebab ada kalanya membom itu tak merusak karang.
Ya, memang tidak selamanya pemboman merusak karang. Kerusakan ditentukan oleh lokasi ikan. Target lokasi ikan yang akan dibom letaknya bermacam-macam, ada yang di atas permukaan, di tengah kolom air, dan di dasar perairan. Berdasar dari posisi ikan berada (biasanya bergerombol), maka jenis bom pun harus disesuaikan. Bila ikan berada di dasar perairan, bomnya harus berukuran besar dan bersumbu panjang. Jika lokasinya dekat permukaan air, sumbu bom harus pendek. Ya harus begitu. Kalau sumbunya panjang, bomnya akan meledak jauh di bawah target. Bom jenis terakhir ini (bersumbu pendek) biasa diistilahkan “bom syahadat”. Artinya, si pelempar bom dianjurkan bersyahadat dulu sebab resiko bom meledak di tangan besar (atau mati) besar untuk terjadi. Jangan heran, ada beberapa pulau atau kampung di pesisir yang kaum laki-lakinya banyak yang puntung tangannya.
Lalu bagaimana bisa karang tidak rusak, meski dilakukan pemboman? Pertama kita harus lihat lingkungannya, berapa jauh jarak gerombolan dengan terumbu karang, baik secara vertikal (dalam air) maupun horisontal. Kalau memang jauh dari karang dan bomnya juga kecil, bisa dipastikan karang tak hancur. Ini bisa dianalogkan dengan kasus Bom Bali, korban yang tewas dan yang hancur adalah yang dekat dari ledakan bom. Sementara yang jauh, paling-paling luka ringan atau tuli sesaat.
Ingin cepat dapat uang
Ada juga satu anggapan umum yang salah kaprah, bahwa pembom sepenuhnya tidak sadar lingkungan. Anggapan ini harus diubah. Sama seperti kelompok manusia lain, mereka juga biasanya sadar jika sudah mengalami dampak negatif. Yang juga penting dicatat, mereka melakukan pelanggaran (membom ikan) karena merasa terpaksa.
Diakui atau tidak, kebudayaan kita (Bugis, Makassar, Mandar) mendorong maraknya pembom ikan. Kata para nelayan pulau itu, “kita butuh uang banyak untuk naik haji, menikahkan anak, dan membeli fasilitas lain seperti ponsel, antena parabola dan motor, yang dapat meningkatkan status sosial.” Alasan kedua, budaya kuliner Sulawesi Selatan/Sulawesi Barat sebagai pemakan ikan, membuat permintaan ikan yang selalu tinggi.. Ketiga, lokasi-lokasi ikan yang “layak” dibom dipahami di luar kepala oleh para nelayan kita. Keempat, membom ikan adalah salah satu bentuk profesi (terlepas itu merusak lingkungan atau tidak).
Ilustrasi sederhananya, masyarakat nelayan beranggapan, “Selama membom ikan tidak mempengaruhi saya secara langsung, buat apa saya melarang-larang tetangga atau penduduk lain membom ikan.” Istilahnya “Lakukan pekerjaanmu, kulakukan pekerjaanku”.
Ciri-ciri ikan yang dibom
Sebenarnya tidak ada ciri umum yang dapat dijadikan patokan dasar mengidentifikasi ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan peledak. Tapi saya menyarankan untuk memahami beberapa parameter yang teknis untuk mengetahui ikan hasil pemboman.
Parameter pertama, lingkungan tempat ikan itu hidup. Tidak semua jenis ikan dapat dibom, baik karena alasan efektivitas maupun nilai ikan tersebut serta lingkungannya. Ikan laut dalam yang walaupun hidup berkelompok dan mahal harganya tidak akan efektif untuk dibom karena untuk mengambilnya (apalagi kalau tenggelam) adalah hal mustahil. Kebiasaan biologis dan jenis ikan, misalnya cara makan, berkelompok atau tidak dan posisinya dalam rantai makanan, juga patut menjadi pertimbangan. Sebagai contoh ikan Napoleon, ikan yang sangat mahal dan menjadi primadona ekspor. Ikan Napoleon tidak akan efektif bila ditangkap dengan menggunakan bom. Akan lebih efektif bila menggunakan sianida atau pancing sebab ikan ini tidak bergerombol.
Contoh lain adalah gerombolan anak-anak ikan. Walaupun ikan itu tidak ekonomis, karena masih kecil, kelompok ikan tersebut dapat dibom dengan harapan ikan-ikan yang telah mati akan mengundang ikan-ikan lain yang lebih ekonomis dan berukuran besar.
Parameter kedua, lokasi penangkapan dan pemasaran. Tidak semua ikan yang umumnya menjadi target bom ditangkap dengan menggunakan bom. Salah satu alasannya, kemungkinan besar di tempat penangkapan dan pemasarannya sudah mempunyai aturan yang sangat ketat. Bisa juga karena di daerah tersebut tidak mengenal penangkapan dengan menggunakan alat peledak.
Parameter ketiga, alat tangkap yang dapat digunakan. Beberapa jenis ikan dapat ditangkap dengan menggunakan beberapa cara: pancing, sianida, bubu atau perangkap, dan bom. Salah satu contohnya adalah ikan Sunu atau Kerapu. Idealnya ikan ini ditangkap dalam keadaan hidup sebab akan bernilai mahal. Untuk itu digunakanlah sianida atau pancing. Walaupun demikian, kemungkinan untuk mati pun tetap ada. Jika ikan tersebut mati maka nilai jualnya akan turun dan pemasarannya diarahkan ke tingkat lokal. Karena ikan sunu juga merupakan ikan karang, maka ikan ini pun dapat saja terkena efek ledakan.
Setelah mengetahui beberapa paramater di atas , kita bisa menelusuri apakah ikan tersebut hasil pemboman atau bukan. Parameter tersebut penting sebab ada banyak kasus di mana tidak tampak perbedaan fisik, kimia (tidak ada sisa residu bahan peledak yang melekat di tubuh ikan) maupun biologis (efek bom tidak merubah nilai biologis di daging ikan) antara ikan yang dibom dengan ikan yang tidak dibom.
Meskipun demikian, dengan tetap berdasarkan parameter di atas, ada ciri-ciri perubahan morfologi dan anatomi yang dapat dijadikan sebagai tanda bahwa ikan itu adalah hasil membom. Beberapa di antaranya: di bagian perut ada luka yang mungkin disebabkan gelembung udara atau organ dalam lain seperti usus, hati, ginjal, dan gonad hancur di dalam tubuh ikan karena efek ledakan; bagian luar (kulit) ikan tampak seperti noda yang memutih yang bukan merupakan tanda biologis; kondisi perut membengkak; warna mata pucat; kelopak mata tersembul; sirip ekor bengkok dan kaku; permukaan tubuh mengeras; dan insang pucat dan timbul pendarahan.
mengenai pemboman ikan, jenis bom yang bahkan ada yang bernama “bom syahadat” dan cara untuk mengidentifikasi ikan hasil pemboman.