Tanggal : 10 April 2007
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/10/opi01.html
Oleh :Suhana
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam waktu dekat akan melakukan moratorium penangkapan ikan sekitar tiga sampai enam bulan di lima ka-wasan perikanan tangkap, yaitu perairan Jakarta, Lampung, Kepulauan Riau, Maluku, dan Teluk Tomini (Kompas, Senin 26 Maret 2007). Langkah tersebut sangat baik untuk dilakukan saat ini karena kondisi sumber daya ikan di beberapa wilayah penangkapan sudah mengalami overexploited.
Secara teori kebijakan moratorium perikanan tangkap dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi sumber daya ikan mendekati kondisi awal. Keuntungan ekonomi hasil tangkapan ikan sudah mendekati nol (ð = 0). Upaya yang dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan dalam penangkapan ikan sudah tidak sebanding lagi dengan nilai hasil tangkapannya.
Hal ini disebabkan menurunnya sumber daya ikan, baik jumlah maupun ukuran ikan, serta diperparah oleh meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan. Secara ekonomi perikanan tangkap sudah tidak menguntungkan.
Di Benoa, Bali, pangkalan armada kapal penangkapan ikan tuna, para nelayan, dan pengusahanya, terpaksa putar haluan menjadi pengumpul ikan untuk mencegah penutupan usaha akibat lonjakan biaya operasional yang disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebagai gambaran, tahun 1997 di Benoa terdapat sekitar 459 kapal tuna yang tergabung dalam Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ALTI) yang beroperasi di ZEEI, nilai ekspor yang bisa dicapai dari armada tersebut sekitar 75 juta dolar AS. Pada tahun 2005, armadanya meningkat menjadi 668 kapal, akan tetapi nilai ekspornya turun menjadi 41 juta dolar AS (National Geographic Indonesia, Edisi April 2007).
Hal yang sama juga terjadi di Bitung, Sulawesi Utara. Sejumlah pengusaha perikanan tangkap di sana mengakui bahwa sejak tahun 2000 ikan tuna yang masuk ke perusahaannya terus mengalami penurunan, baik dari segi jumlah maupun ukuran.
Para nelayan kecil juga menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka tidak sebanding lagi dengan biaya operasional melaut. Kondisi ini bisa ditemui di semua wilayah Indonesia.
Empat Dampak
Data statistik FAO Maret 2007 memang mengungkapkan bahwa kondisi sumber daya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukkan kondisi full exploited. Di perairan Samudera Hindia, kondisinya bahkan mengarah ke overexploited. Artinya, kedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran.
Bagaimana pun langkah moratorium perikanan tangkap tersebut harus didukung semua pihak dan direncanakan secara cepat dan cermat. Secara jangka panjang, kebijakan itu bagus untuk kelestarian sumber daya ikan dan keberlanjutan industri perikanan tangkap nasional.
Namun secara jangka pendek, ia akan menimbulkan empat masalah, pertama, penurunan produksi ikan sekitar 20 persen. Karena selama ini, 20 persen produksi perikanan nasional berasal dari kelima wilayah yang akan dikenakan kebijakan moratorium. Penurunan produksi ini secara langsung akan berdampak terhadap penurunan jumlah ekspor dan suplai bahan baku kepada industri pengolahan ikan.
Kedua, peningkatan jumlah pengangguran di sektor perikanan, terutama para nelayan dan pegawai pabrik pengolahan ikan, sekitar 24 persen. Ketiga, investasi perikanan tangkap di kelima wilayah tersebut akan terhenti. Keempat, pengawasan nelayan terhadap sumber daya ikan di kelima wilayah tersebut akan berkurang, akibatnya apabila tidak dapat diantisipasi secara baik akan menimbulkan menjamurnya pencurian ikan.
Untuk mengoptimalkan moratorium perikanan tangkap tersebut, pemerintah harus melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan di kelima wilayah yang akan dikenakan moratorium. Ini dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan nelayan-nelayan di wilayah lain. Adanya kerja sama ini selain positif terhadap keberlangsungan bahan baku industri pengolahan ikan juga meningkatkan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan.
Tinjau Ulang
Kedua, meningkatkan daya saing produk perikanan nasional di pasar internasional. Walaupun secara kuantitas ekspornya menurun, tetapi secara nilai ekspornya dapat dipertahankan. Ketiga, mengkaji ulang strategi pemberdayaan ekonomi nelayan. Selama ini pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan alat produksi perikanan tangkap seperti perahu, jaring ikan dan alat tangkap lainnya.
Sementara itu, pemberdayaan nelayan di luar kegiatan penangkapan ikan belum banyak disentuh dan difikirkan oleh pemerintah sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dengan adanya moratorium, pemberdayaan nelayan di luar kegiatan penangkapan ikan hendaknya dirumuskan secara baik dengan melihat potensi sumber daya lokal.
Keempat, tinjau ulang revitalisasi perikanan. Revitalisasi perikanan saat ini hanya menekankan kepada peningkatan produksi ikan tuna, udang dan rumput laut. Padahal seperti yang telah kita lihat sebelumnya bahwa kondisi sumber daya ikan nasional semakin kritis. Menurut hemat penulis revitalisasi perikanan hendaknya diarahkan untuk merevitalisasi lahan pertambakan yang sudah hancur, seperti di wilayah Pantura Jawa.
Perikanan tambak udang di pantura Jawa pada tahun 1980-an sangat besar perannya dalam perikanan nasional. Akan tetapi memasuki tahun 1990-an kejayaan tambak udang tersebut mulai hancur, karena dikerubungi berbagai macam pencemaran.
Kelima, menindak secara tegas praktek-praktek illegal fishing. Pemerintah hendaknya merumuskan Peraturan Presiden tentang percepatan pemberantasan illegal fishing. Praktek-praktek kejahatan itu tidak hanya pencurian ikan, tetapi juga penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl, bom ikan, cianidae. Selain itu keberadaan pelabuhan pendaratan ikan milik swasta juga diduga kuat turut memperkeruh keterpurukan pengelolaan sumber daya ikan nasional.
Keberadaan Perpres tersebut dimaksudkan agar pemberantasan praktek illegal fishing di perairan Indonesia dapat dilakukan secara cepat dan tepat dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, TNI-AL, pengadilan dan pemerintah daerah.
Keenam, memperkuat peran aparat penegak hukum dilaut dalam mengawasi pencurian ikan di wilayah perairan yang terkena moratorium. Oleh sebab itu sangat diperlukan dukungan politik, sumber daya manusia dan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya ikan laut. Dukungan dari pemerintah, pengusaha perikanan, masyarakat nelayan dan aparat penegakan hukum di laut.
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/10/opi01.html
Oleh :Suhana
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam waktu dekat akan melakukan moratorium penangkapan ikan sekitar tiga sampai enam bulan di lima ka-wasan perikanan tangkap, yaitu perairan Jakarta, Lampung, Kepulauan Riau, Maluku, dan Teluk Tomini (Kompas, Senin 26 Maret 2007). Langkah tersebut sangat baik untuk dilakukan saat ini karena kondisi sumber daya ikan di beberapa wilayah penangkapan sudah mengalami overexploited.
Secara teori kebijakan moratorium perikanan tangkap dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi sumber daya ikan mendekati kondisi awal. Keuntungan ekonomi hasil tangkapan ikan sudah mendekati nol (ð = 0). Upaya yang dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan dalam penangkapan ikan sudah tidak sebanding lagi dengan nilai hasil tangkapannya.
Hal ini disebabkan menurunnya sumber daya ikan, baik jumlah maupun ukuran ikan, serta diperparah oleh meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan. Secara ekonomi perikanan tangkap sudah tidak menguntungkan.
Di Benoa, Bali, pangkalan armada kapal penangkapan ikan tuna, para nelayan, dan pengusahanya, terpaksa putar haluan menjadi pengumpul ikan untuk mencegah penutupan usaha akibat lonjakan biaya operasional yang disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sebagai gambaran, tahun 1997 di Benoa terdapat sekitar 459 kapal tuna yang tergabung dalam Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ALTI) yang beroperasi di ZEEI, nilai ekspor yang bisa dicapai dari armada tersebut sekitar 75 juta dolar AS. Pada tahun 2005, armadanya meningkat menjadi 668 kapal, akan tetapi nilai ekspornya turun menjadi 41 juta dolar AS (National Geographic Indonesia, Edisi April 2007).
Hal yang sama juga terjadi di Bitung, Sulawesi Utara. Sejumlah pengusaha perikanan tangkap di sana mengakui bahwa sejak tahun 2000 ikan tuna yang masuk ke perusahaannya terus mengalami penurunan, baik dari segi jumlah maupun ukuran.
Para nelayan kecil juga menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka tidak sebanding lagi dengan biaya operasional melaut. Kondisi ini bisa ditemui di semua wilayah Indonesia.
Empat Dampak
Data statistik FAO Maret 2007 memang mengungkapkan bahwa kondisi sumber daya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukkan kondisi full exploited. Di perairan Samudera Hindia, kondisinya bahkan mengarah ke overexploited. Artinya, kedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran.
Bagaimana pun langkah moratorium perikanan tangkap tersebut harus didukung semua pihak dan direncanakan secara cepat dan cermat. Secara jangka panjang, kebijakan itu bagus untuk kelestarian sumber daya ikan dan keberlanjutan industri perikanan tangkap nasional.
Namun secara jangka pendek, ia akan menimbulkan empat masalah, pertama, penurunan produksi ikan sekitar 20 persen. Karena selama ini, 20 persen produksi perikanan nasional berasal dari kelima wilayah yang akan dikenakan kebijakan moratorium. Penurunan produksi ini secara langsung akan berdampak terhadap penurunan jumlah ekspor dan suplai bahan baku kepada industri pengolahan ikan.
Kedua, peningkatan jumlah pengangguran di sektor perikanan, terutama para nelayan dan pegawai pabrik pengolahan ikan, sekitar 24 persen. Ketiga, investasi perikanan tangkap di kelima wilayah tersebut akan terhenti. Keempat, pengawasan nelayan terhadap sumber daya ikan di kelima wilayah tersebut akan berkurang, akibatnya apabila tidak dapat diantisipasi secara baik akan menimbulkan menjamurnya pencurian ikan.
Untuk mengoptimalkan moratorium perikanan tangkap tersebut, pemerintah harus melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan di kelima wilayah yang akan dikenakan moratorium. Ini dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan nelayan-nelayan di wilayah lain. Adanya kerja sama ini selain positif terhadap keberlangsungan bahan baku industri pengolahan ikan juga meningkatkan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan.
Tinjau Ulang
Kedua, meningkatkan daya saing produk perikanan nasional di pasar internasional. Walaupun secara kuantitas ekspornya menurun, tetapi secara nilai ekspornya dapat dipertahankan. Ketiga, mengkaji ulang strategi pemberdayaan ekonomi nelayan. Selama ini pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan alat produksi perikanan tangkap seperti perahu, jaring ikan dan alat tangkap lainnya.
Sementara itu, pemberdayaan nelayan di luar kegiatan penangkapan ikan belum banyak disentuh dan difikirkan oleh pemerintah sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dengan adanya moratorium, pemberdayaan nelayan di luar kegiatan penangkapan ikan hendaknya dirumuskan secara baik dengan melihat potensi sumber daya lokal.
Keempat, tinjau ulang revitalisasi perikanan. Revitalisasi perikanan saat ini hanya menekankan kepada peningkatan produksi ikan tuna, udang dan rumput laut. Padahal seperti yang telah kita lihat sebelumnya bahwa kondisi sumber daya ikan nasional semakin kritis. Menurut hemat penulis revitalisasi perikanan hendaknya diarahkan untuk merevitalisasi lahan pertambakan yang sudah hancur, seperti di wilayah Pantura Jawa.
Perikanan tambak udang di pantura Jawa pada tahun 1980-an sangat besar perannya dalam perikanan nasional. Akan tetapi memasuki tahun 1990-an kejayaan tambak udang tersebut mulai hancur, karena dikerubungi berbagai macam pencemaran.
Kelima, menindak secara tegas praktek-praktek illegal fishing. Pemerintah hendaknya merumuskan Peraturan Presiden tentang percepatan pemberantasan illegal fishing. Praktek-praktek kejahatan itu tidak hanya pencurian ikan, tetapi juga penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl, bom ikan, cianidae. Selain itu keberadaan pelabuhan pendaratan ikan milik swasta juga diduga kuat turut memperkeruh keterpurukan pengelolaan sumber daya ikan nasional.
Keberadaan Perpres tersebut dimaksudkan agar pemberantasan praktek illegal fishing di perairan Indonesia dapat dilakukan secara cepat dan tepat dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, TNI-AL, pengadilan dan pemerintah daerah.
Keenam, memperkuat peran aparat penegak hukum dilaut dalam mengawasi pencurian ikan di wilayah perairan yang terkena moratorium. Oleh sebab itu sangat diperlukan dukungan politik, sumber daya manusia dan sarana dan prasarana pengawasan sumber daya ikan laut. Dukungan dari pemerintah, pengusaha perikanan, masyarakat nelayan dan aparat penegakan hukum di laut.