Tanggal : 28 Mei 2005
Sumber : http://64.203.71.11/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1777450.htm
MEMILIKI wilayah laut yang terluas di kawasan Asia Tenggara, bahkan di dunia, tidak serta-merta membuat nelayan Indonesia bisa menikmati kekayaan laut. Kenyataannya malah sebaliknya, nelayan tradisional semakin terpinggirkan ke tepian perbatasan, sementara nelayan asing kian leluasa mengeruk kekayaan alam laut Indonesia. Alih-alih mampu memberdayakan nelayan lokal, pemerintah bahkan tak berdaya menghadapi pencurian ikan oleh pihak asing.
KESIMPULAN demikian terangkum dari hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap pemilik telepon di 10 kota besar di Indonesia. Berbagai penilaian ketidakpuasan dilayangkan publik jajak pendapat kali ini terhadap segenap upaya pemerintah mengatasi berbagai persoalan di bidang kelautan.
Meskipun diyakini bahwa kekayaan laut, khususnya ikan, di negeri ini masih sangat mencukupi untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, disadari bahwa saat ini kondisi laut benar-benar sudah sangat memprihatinkan. Selain karena kerusakan dan pencemaran yang parah, pengerukan kekayaan laut oleh kapal nelayan asing dan penggunaan teknik penangkapan ikan yang berlebihan turut menjadi andil makin mandulnya produksi laut.
Tidak kurang dari 71,9 persen responden menilai wilayah laut Indonesia saat ini sudah rusak. Tidak hanya itu, hampir tiga dari empat responden (74,7 persen) menganggap pencemaran yang terjadi di lautan Indonesia saat ini sudah parah. Di sisi lain, upaya pemerintah sendiri dinilai belum maksimal menghadapi persoalan ini. Tidak kurang dari 72,7 persen responden menyatakan ketidakpuasan mereka pada kinerja pemerintah menanggulangi kerusakan dan pencemaran laut.
Selain itu, hampir tiga dari empat responden (72,5 persen) juga menegaskan bahwa masalah pencurian ikan oleh nelayan asing sudah dalam taraf yang parah. Mayoritas responden (65,1 persen) juga menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mencegah pencurian ikan oleh nelayan asing, dan lebih dari separuh (57,9 persen) malah menyatakan pemerintah selama ini kurang bersikap tegas terhadap keberadaan nelayan asing di perairan nasional.
PRAKTIK pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia ini memang sudah pada tahap yang sangat memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp 30 triliun per tahun, perangkat hukumnya sendiri belum mantap. Tindakan hukum terhadap pelaku masih lemah, seperti masih diberikannya izin penangkapan bagi awak kapal yang kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Alasan yang sama masih terus saja dikumandangkan pemerintah, bahwa pencurian ikan tetap terjadi karena keterbatasan kemampuan pengawasan dan pengendalian, baik oleh aparat pusat dan daerah maupun oleh TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan. Dalih lain adalah karena luasnya wilayah perairan.
Padahal, sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya menetapkan sektor kelautan sebagai prioritas pengembangan. Namun nyatanya, pembangunan yang dilakukan selama ini lebih menekankan pada pengembangan sektor pertanian. Pengembangan sektor kelautan sampai sekarang cenderung masih jalan di tempat. Hal ini ditandai oleh keterbatasan sarana perikanan dan belum optimalnya hasil perikanan dalam beberapa tahun terakhir ini. Sektor kelautan baru bangkit dari tidur panjangnya pascareformasi ini, ditandai oleh terbentuknya departemen tersendiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Jika dilihat dari perkembangannya selama masa reformasi ini, produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan dalam kurun 2000-2004 memang telah menunjukkan peningkatan rata-rata yang cukup besar, yaitu sekitar 26,06 persen per tahun atau melebihi rata-rata peningkatan PDB nasional yang mencapai 12,14 persen per tahun. Selain itu, jika dihitung dari keseluruhan produk olahan lain dari ikan, seperti ikan tuna, ikan kalengan, dan rumput laut, total kontribusi sektor kelautan dan perikanan menjadi 9 persen dari PDB. Namun, jika dihitung hanya dari produk ikan mentahnya saja, sektor kelautan dan perikanan di Indonesia baru menyumbang 2,21 persen dari PDB. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sempat menyatakan keheranannya dengan kecilnya kontribusi ini, membandingkan dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan garis pantai yang sangat panjang.
Memang, di usianya yang masih terlalu singkat untuk bisa menyejajarkan DKP dengan departemen-departemen lainnya, misalnya departemen pertanian, menjadi terlalu dini mengharapkan hasil yang besar dari departemen ini. Fasilitas yang dimiliki departemen ini pun masih sangat terbatas. Hingga kini, DKP baru memiliki 14 kapal pengawas, termasuk kapal yang baru diresmikan pengoperasiannya. Padahal, untuk mengawasi wilayah perairan Indonesia dibutuhkan sedikitnya 100 unit kapal patroli cepat. Selama ini pengawasan kawasan laut terbantu oleh patroli TNI AL dan Polri. Tapi, tentu saja itu belum cukup, terlebih TNI AL yang tugas sebenarnya adalah pada pertahanan wilayah kedaulatan. Maka, wajar jika tidak kurang dari 58 persen responden menilai armada keamanan laut Indonesia saat ini tidak memadai untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI dari pencurian ikan oleh kapal dan nelayan asing.
Sementara itu, tugas DKP sendiri tidak hanya mengawasi laut dan mencegah penangkapan ikan ilegal. Lebih penting dari upaya pencegahan terhadap pencurian ikan oleh nelayan asing itu, sebetulnya adalah upaya memberdayakan nelayan lokal sendiri sebab, jika dibandingkan dengan besarnya perhatian pemerintah selama ini pada pertanian yang agraris, kehidupan nelayan di Indonesia sesungguhnya masih terpinggirkan.
MENJADI nelayan di Indonesia memang ironis, tidak hanya tergilas oleh nelayan asing, tapi juga terpinggir di rumah sendiri. Padahal, mereka hidup di negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Tidak kurang dari 60,6 persen responden juga menilai bahwa selama ini nelayan asinglah yang lebih memanfaatkan hasil laut ketimbang nelayan lokal. Memang, sebagian (48,1 persen) publik jajak pendapat ini menilai kemampuan nelayan Indonesia tidak mampu bersaing dengan nelayan asing. Namun, pendapat ini sebanding dengan mereka (48,0 persen) yang yakin akan kemampuan nelayan Indonesia bersaing dengan nelayan asing.
Upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan lokal juga belum dirasakan manfaatnya, bahkan kadang terkesan tidak tulus. Di Jawa Timur, dana pengadaan perahu untuk nelayan disinyalir telah diselewengkan dengan cara mark-up. Akibatnya, penyerahan perahu kepada kelompok nelayan yang berhak untuk menerima menjadi tertunda. Catatan-catatan ini semakin menggarisbawahi belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memberdayakan nelayan kecil dan nelayan tradisional.
Selain harus berhadapan dengan kapal nelayan asing dan kurangnya modal, nelayan tradisional juga menghadapi secara langsung akibat dari merosotnya kelestarian ekosistem laut. Kerusakan laut terus terjadi, baik karena penebangan hutan bakau dan tergerusnya ekosistem laut maupun pencemaran oleh zat kimia dan pengeboman ikan. Rusaknya kawasan pesisir laut menyebabkan kemampuan ekosistem laut menurun dalam mendukung pembiakan kembali ikan-ikan ke volume semula. Akibatnya, terjadilah penangkapan ikan yang lebih banyak dari kemampuan ekosistem laut untuk memulihkan diri.
Memang, masalah perusakan laut ini bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat nelayan itu sendiri juga berpotensi menjadi aktor perusak lingkungan. Tidak saja penggunaan bom ikan, penggunaan pukat harimau merusak seluruh sumber hayati laut. Ironisnya, meskipun sudah ada Keppres Nomor 39/1980 yang melarang penggunaan pukat harimau dalam penangkapan ikan di perairan Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur justru mengusulkan agar diberikan izin bagi para nelayan kecil untuk memakai jaring pukat harimau ini. Alasannya, selama ini para nelayan lokal itu selalu kalah bersaing dengan pihak yang menggunakan kapal-kapal ikan sejenis asal Malaysia yang sering mencuri ikan di perairan Indonesia dengan pukat harimau. Selama ini para nelayan kecil itu memang kalah segalanya dibandingkan dengan mereka yang menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang juga menggunakan trawl. (BE Satrio/Litbang Kompas).