Penanganan Terhadap Illegal Fishing Ditingkatkan


Tanggal : 21 Februari 2008
Sumber : http://www.hupelita.com/baca.php?id=44170


Jakarta, Pelita
Perang pemerintah terhadap pelaku illegal fishing selama enam tahun terakhir menunjukkan hasil dan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Selama tahun 2002-2007 kerugian negara yang berhasil diselamatkan dari kegiatan pengawasan adalah sebesar Rp1,271 triliun.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, mengatakan hal itu saat memberikan sambutan pada kegiatan forum koordinasi tindak pidana di bidang perikanan antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL dan Polri, di Jakarta, Senin (4/2).

Terbatasnya armada pengawasan (sebanyak 20 unit kapal pengawas DKP pada tahun 2007) tersebut menjadi dasar dilakukannya kegiatan pengawasan secara terpadu antara DKP dengan instansi pengawasan lainnya.

Dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tepatnya pasal 73 juga menyebutkan instansi yang berwenang melakukan penyidikan terhadap pelaku IUU fishing adalah Pengawas Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan, TNI AL dan Polri, katanya.

Freddy menjelaskan forum koordinasi di bidang tindak pidana perikanan penting dalam rangka meningkatkan kualitas pengawasan guna mengantisipasi semakin meningkatnya pelaku illegal fishing dan kerusakan lingkungan di bidang kelautan dan perikanan.

Saat ini situasi penegakan hukum berjalan kurang optimal, sehingga perlu dirumuskan kiat pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif, efisien, rasional dan terintegrasi dengan berbagai sistem pengawasan yang ada.

Salah satunya adalah melalui penandatanganan kesepakatan bersama dokumen Standard Operation Procedur (SOP) dalam penanganan tindak pidana perikanan antara tiga instansi, yaitu DKP, TNI AL dan Polri.

Keberadaan SOP untuk menjamin keseragaman dan kepastian hukum bagi penyidik dalam menangani perkara tindak pidana perikanan secara tepat dan tepat, mulai dari proses penyidikan hingga proses prapenuntutan.

Upaya ini merupakan langkah maju dalam meningkatkan koordinasi dan keseragaman dalam penanganan tindak pidana perikanan.
Karena penanganan illegal fishing tidak hanya menjadi tanggung jawab satu instansi, tetapi harus dilakukan secara terintegrasi dan terpadu antardepartemen atau instansi terkait maupun dukungan dari masyarakat.

Menurut Freddy, Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomis yang sangat tinggi dan berperan secara siginifikan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Pembangunan kelautan dan perikanan selama ini dirasakan telah memberikan manfaat dan kontribusi penting bagi peningkatan devisa, pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja.

Mafia Ekonomi Coba Hancurkan Indonesia


Tahun 2006

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=126264

Penulis: Sidik Sukandar

JAKARTA--MIOL: Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menduga ada mafia yang sengaja menghacurkan Indonesia dari sisi ekonomi. Mereka memiliki dana triliunan rupiah dan berani membayar mahal orang Indonesia untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia.


Menurut, Freddy hal tersebut dapat dilihat dari makin maraknya kasus illegal fishing (pencurian ikan) dengan menggunakan kapal-kapal besar, serta kembali terjadinya kasus pencurian pasir laut yang diduga dilakukan oleh kontraktor asing bekerjasama dengan pengusaha Indonesia.


"Mafia itu saya duga didalangi oleh negara tertentu yang sengaja ingin menghncurkan Indonesia dari sisi ekonomi. Mereka tahu bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam. Mereka khawatir jika Indonesia kuat akan menjadi ancamannya," kata Freddy di Jakarta, Minggu (4/3).


Belum lama ini, Indonesia berhasil menangkap dua kapal besar berbendera China, yakni kapal Fu Yuang Yu F68 dan Jong Liong dengan bobot 1.936 grosston (GT) per kapal. Saat ditangkap kapal itu masing-masing memuat 1.400 ton ikan dan 1.300 ton ikan hasil curian di perairan Indonesia. Mereka menangkap ikan di perairan Arafura. Dari dua kapal ini kerugian negara ditaksir mencapai sekitar Rp50 miliar.


Sebenarnya, kata dia, ada 10 kapal ikan besar milik China yang saat itu melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Namun yang berhasil ditangkap hanya dua, sedangkan kapal lainya berhasil lolos sebagian besar ke Australia.


Dua kapal tersebut, kata dia, saat ini sudah ditarik ke Pondok Dayung, Jakarta untuk diproses hukum. Diharapkan para sindikatnya bisa dibongkar secara menyeluruh.


Selain kapal China, juga ditangkap kapal lokal yakni KM Bahari Makmur karena melakukan pelanggaran pemindahan ikan di tengah laut yang diduga akan diselundupkan ke luar negeri.


Tadinya, Freddy, mengira hanya kapal-kapal ikan saja yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi berdasarkan informasi yang layak dipercaya ternyata ada kapal tanker berbobot 20.000 GT yang berada di jalur perairan Internasional.


Tanker ini mensuplai bahan bakar untuk kapal-kapal China yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia. "Informasi tersebut A1. Sehingga saya simpulkan bahwa hal tersebut merupakan tindakan kriminal yang terorganisasi," tegasnya.


Mafia tersebut, kata Freddy, bisa masuk kesemua lini dan berani membayar bahal orang-orang lndonesia untuk bekerjasama. Sebagai contoh kembali maraknya mencurian pasir laut di kepulauan Riau yang pelakunya diduga 7 kontraktor asing bekerjama dengan pengusaha Indonesia. Pasir itu dibawa ke Singapura untuk reklamasi wilayahnya.


Untuk kasus pasir laut ini, kata dia, dari sisi ekonomi maupun politik jelas merugikan sekaligus ancaman bagi Indonesia. Apalagi semua orang tahu bahwa Singapura adalah "antek"-nya Amerika.


Dengan direklamasinya Singapura, kapal-kapal perang AS akan bisa berlabuh atau bersandar di sana. "Ini ancaman besar bagi Indonesia," ungkapnya.


Untuk menghadapi masalah serius itu, menurut Freddy, pemerintah Indonesia harus menghadapinya dengan sistematis. Semua institusi hukum harus kompak dan bersatu menghadapi mereka. Beberapa hari lalu, Departemen Kelautan dan Perikanan sudah melakukan pertemuan dengan instansi terkait, yakni Polri, TNI Angkatan Laut dan Kejaksaan Agung untuk membahas masalah tersebut.


"Kita perlu bicara bersama untuk menyatukan langkah. Karena yang kita hadapi ini adalah pelaku tindak kriminal yang terorganisasi dengan sangat rapi dan mempunyai dana triliunan. Mereka sudah bergerak hampir 30 tahun," ujarnya.


Menurut Freddy, untuk membongkar dan 'menghabisi' mafia tidak ada jalan lain kecuali adanya kekompakan tim penegak hukum di Indonesia yang tentunya dibantu masyarakat. "Saya yakin bisa membongkar mafia itu. Dengan kekompakan, keterpaduan semua intansi penegak hukum, kita bisa bongkar dan habisi mafia itu," tegasnya.

TNI AL TANGKAP 2 KAPAL THAILAND


Tanggal : 20 Februari 2008

Sumber : http://www.tni.mil.id/news.php?q=dtl&id=113012006117621



Dua kapal nelayan berbendera
Thailand yang diketahui melakukan pencurian ikan atau illegal fishing di laut Natuna ditangkap KRI Imam Bonjol, Senin (11/2) lalu. Kedua kapal nelayan Thailand tersebut yakni KM Langka 10 dan KM Bali 05.


”Kapal nelayan itu ditangkap di posisi 04 derajat 05 menit 10 detik Lintang Utara dan 105 derajat 15 menit 00 detik Bujur Timur. ABK kedua kapal saat tertangkap sedang menangkap ikan di perairan Natuna,’’ kata Komandan Pangkalan Utama Angkatan laut (Lantamal) IV Tanjungpinang, Laksamana Pertama TNI Marsetio, MM melalui Staf Intelijen Paban Penerangan Lantamal IV Tanjungpinang, Mayor Laut (KH) Ainur R Fasaf, Senin (18/2).

Mayor Laut (KH) Ainur R Fasaf menjelaskan, penangkapan kedua kapal asing yang melakukan illegal fishing tersebut bermula dari adanya perkelahian antar nahkoda KM Krisda II dengan anak buah kapalnya. ”Akhirnya kapal tersebut terdampar di perairan Dabosingkep. Kondisi nahkoda terluka parah, satu ABK meninggal dunia,’’ terangnya.

Pihak TNI AL langsung memeriksa seluruh ABK KM Krisda II sekaligus dimintai keterangan. Dari hasil keterangan tersebut akhirnya diketahuilah keberadaan KM Langka 10 dan KM Bali 5 yang sedang mencuri ikan di Laut Natuna.
TNI AL pun tak membuang kesempatan dan langsung menuju titik kordinat yang diberikan oleh ABK Krisda II.

Benar saja, ketika TNI AL turun ke lokasi, kedua kapal ditemukan sedang mencuri ikan. Kedua kapal itu pun langsung ditangkap. Dari hasil pemeriksaan sementara KM Langka 10 telah mendapatkan ikan sekitar 2,5 ton dan KM Bali 05 sekitar 3 ton ikan campur. ”Di KM Langka 10 ada 10 AKB dan nakhodanya Mr. Simon. Pemiliknya PT Mutiara Gading Timur. Sedangkan KM Bali 05 memiliki GT 65,55 dinakhodai Mr. Hom dengan ABK sekitar 13 orang. Kapal ini tercatat milik PT Kresna Mandiri,’’ tegasnya.

Menurut Mayor Laut (KH) Ainur R Fasaf, kedua kapal tersebut diketahui juga tak memiliki izin dan dokumen yang sah.
Pasalnya, Indonesia dan Thailand telah menghentikan kerja sama penangkapan ikan September 2007 lalu. Jadi dokumen yang mereka tunjukkan saat diperiksa itu kemungkinan palsu.

”Akibat pencurian yang mereka lakukan, negara dirugikan milyaran rupiah. Saat ini, kedua kapal diamankan di dermaga Yos Sudarso Mako Lantamal IV Batu Hitam, Tanjungpinang, untuk diproses lebih lanjut,’’ pungkasnya.

DANLANAL PONTIANAK ANCAM TENGGELAMKAN KAPAL ASING PENCURI IKAN


Tahun 2006
Sumber : http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7478


Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Pontianak, Letnan Kolonel Laut (S) Taufik Harun, mengancam akan menenggelamkan kapal motor (KM) asing yang kedapatan melakukan "illegal fishing" (pencurian ikan) di wilayah laut Kalimanatn Barat, untuk memberikan efek jera kepada pelaku pencurian dan pemilik usaha tersebut.


"Kami tidak akan segan-segan untuk menenggelamkan kapal yang sedang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Kalbar. Bila perlu kapal itu dibakar saja," kata Taufik Harun kepada wartawan, di Pontianak, Senin.

Ia mengatakan, efek jera perlu sekali diberikan kepada pelaku pencurian ikan, karena kalau tidak diberikan sanksi yang tegas maka setelah dilepaskan mereka (nelayan-red) akan melakukan aktifitas itu lagi.

"Selain itu kami sudah bosan dan jenuh mengurus nelayan yang sedang menunggu proses pemulangan ke negara asalnya. Terutama nelayan asal Thailand, karena saya melihat kedutaan mereka sangat tidak peduli dengan warganya," katanya.

Tahun 2006 saja, TNI-AL masih menampung sekitar 52 orang ABK asal Thailand yang harus diberi makan setiap hari. "Belum lagi risiko penularan virus HIV/AIDS (human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome) yang rata-rata ABK dari Thailand adalah pengidap virus tersebut," ujar Taufik Harun.

Ia menambahkan, selama ini kawasan perairan Kalbar dinilai relatif aman dari praktek pencurian ikan, karena TNI-AL seminggu sekali rutin melakukan patroli di titik-titik yang dinilai banyak kendungan ikannya.

"Ternyata nelayan Thailand memanfaatkan kelengahan kita sewaktu angin utara sangat kencang yang menimbulkan gelombang sekitar 4 - 5 meter yang membuat nelayan takut untuk melaut," ujarnya berang.

Sepanjang tahun 2006 TNI-AL Pontianak berhasil menangkap tiga buah kapal illegal asing (KIA) yang sedang melakukan aktifitas pencurian ikan di kawasan Kalbar. Tiga kapal asing yang berhasil diamankan yaitu, kapal motor (KM) Thanh Long asal Vietnam, Thanh Lan asal Vietnam, dan KM KIA SF 2 asal Thailand.

"Dua kapal asal Vietnam sudah diputus dan dijadikan barang rampasan untuk negara, sementara untuk kapal asal Thailand sedang dalam proses sidang," katanya.

Sementara untuk kapal motor ikan asal Indonesia (KII) yang berhasil ditangkap sepanjang tahun 2006 sebanyak sembilan kasus. "Rata-rata kapal motor asal Indonesia tersebut melakukan pelanggaran di bidang illegal fishing dan illegal logging, dan membawa barang bekas dari negara luar (pakaian lelong)," tambah Taufik Harun.

Selain pelanggaran tersebut, kebanyakan nelayan melanggar aturan seperti menggunakan bom ketika mencari ikan di laut, menggunakan jaring yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki, mencuri cagar budaya (harta karun).

Sumber: ANTARA

Dari Operasi Gabungan Ilegal Fishing, Berhasil Gulung Pelaku

Tanggal : 20 Februari 2008
Sumber : http://www.kendariekspres.com/news.php?newsid=1163

Maraknya pelaku (pemboman ikan) illegal fishing di Kabupaten Buton selama ini terutama di daerah Mawasangka dan sekitarnya tentu saja sangat merugikan. Karena itu, untuk mengantisipasi agar illegal fishing tidak terus menjamur di Kabupaten Buton maka Pemkab Buton melalui


Dinas Kelautan dan Perikanan bersama KPA Coremap II membentuk tim operasi gabungan collaborative MCS Coremap II Buton yang terdiri dari unsure Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton Pol Airud dan Pos TNI AL untuk melakukan operasi di perairan pesisir Kecamatan Lakudo, Mawasangka Timur, Mawasangka Tengah dan Mawasangka.

Gerak operasi tim gabungan collaborative MCS Coremap II Buton dimulai pada hari Kamis (17/5) pada pukul 20 45 yang ditandai dengan pelepasan tim oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton Rahim Udu SE. Dengan menumpang speed boat berbobot 5 GT dan berkekuatan 80 PK milik Coremap II Buton, tim gabungan bergerak dari dermaga Fery Bau-bau menuju lokasi sasaran operasi untuk melakukan pengintaian terhadap pelaku illegal fishing yang berindikasi pemboman, pembiusan, penggunaan alat tangkap terlarang. Namun pada hari pertama pengintaian di sasaran operasi belum ada yang mencurigakan.

Usaha tim gabungan MCS Coremap II menurut coordinator MCS Coremap II Kabupaten Buton Madina Hasmar S Pi tidaklah sia-sia sebab pada keesokan harinya Jumat (18/5) pelakukan illegal fishing di perairan pesisir wilayah Lakudo dan Mawasangka berhasil digulung. Namun sebelumnya, telah pengintaian dengan melakukan penyisiran aktivitas nelayan di perairan tanailando.

Pada penyisiran di perairan tanailando sekitar pukul 10 00 wita tim operasi gabungan collaborative MCS Coremap II Buton mencurigai aktivitas sebuah perahu nelayan yang sedang beraktivitas menangkap ikan di perairan tanailando sehingga tim mengarahkan haluan speed boad menuju perahu motor nelayan dan berhasil mendapatkan indikasi aktivitas pemboman ikan oleh 3 orang nelayan. Sehingga, speed boad tim langsung menyambar dan menghampiri perahu nelayan pelaku pemboman ikan dimana aktivitas seorang nelayan diatas perahu motor sedang mengatur dan mengendalikan kegiatan sementara 2 orang lainnya sedang melakukan kesibukan mengatur proses penyelaman bawah air pasca pemboman untuk mengambil ikan hasil tangkapan.

Meski sempat melakukan perlawanan terhadap tim operasi gabungan, akan tetapi berkat kesiagaan dan kelihaian tim maka pelaku illegal fishing berhasil menyerahkan diri dan tidak membuat perlawanan lagi. Usai melakukan penangkapan, tim menggeledah perahu motor nelayan dan menemukan barang bukti berupa botol kreating daeng, pupuk, 1 buah kompresor, peralatan selam, beberapa detonator, korek api, selang plastic, panah ikan, ikan tembang sekitar 700 kg. Sedangkan pelakunya yakni Siddo (37 th), Karma (25 th) dan Tawi (30 th) yang beralamat di Wajo Tapi-Tapi Kecamatan Parigi Kabupaten Muna berikut barang bukti dilaporkan ke Polsek Mawasangka.

Pasca penangkapan dan setelah tim masing-masing melaporkan hasilnya ke tingkat atas, maka selanjutnya dilakukan reka ulang yang dilaksanakan pada 22 Mei 2007 bersama petugas Polsek Mawasangka dan nelayan pelaku pemboman menuju dermaga fery Mawasangka untuk pelaksanaan reka ulang yang berjalan mulus. Kemudian, selaku pelapor yang diwakili oleh coordinator MCS Coremap II Buton menandatangani berkas BAP kejadian sebagai pihak pelapor...

75% Terumbu Karang di Wilayah Sulsel Hancur


Tahun 2007
Sumber : http://dplhk.makassarkota.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=36&Itemid=44


Dari sejumlah sumberdaya pesisir yang dimiliki Sulawesi Selatan, khususnya terumbu karang, sebagian besar atau sekitar 75 persen diantaranya telah hancur.

Hal itu mengemuka dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir di Gedung DPRD Sulsel, Rabu. Menurut salah seorang peneliti dari Pusat Penelitian terumbu Karang di Universitas Hasanuddin Makassar, Dr. Budimawan, pada umumnya, kerusakan ekosistem laut tersebut hancur akibat ledakan bom.

Beberapa nelayan senang menangkap ikan dengan cara melakukan pemboman sehingga sejumlah habitat lainnya yang berada di sekitar kawasan lokasi pengeboman para nelayan tersebut hancur.

Sementara itu, sejumlah ekosistem laut lainnya, seperti terumbu karang masih ada yang diselamatkan, itupun karena lokasinya berada di daerah pesisir yang dilindungi pemerintah sehingga agak menyulitkan bagi para nelayan untuk mencari nafkah kehidupan di sekitar lokasi tersebut.

Menurut Budimawan, bila pemerintah setempat melakukan upaya pembiaran, dikhawatirkan keberlangsungan ekosistem laut akan punah. Sebab itu, upaya Ranperda yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir ini, dapat mencegah terjadinya kerusakan habitat laut yang juga diyakini akan berdampak pada kehidupan sekitarnya, khususnya para nelayan.

Pasalnya, wilayah pesisir Sulsel ini, telah membentuk budaya tradisional masyarakat yang telah berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun dengan mengelola sumberdaya pesisir yang mencakup berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan sebagai sumber protein hewani, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria.

Selain itu, wilayah pesisir tersebut juga menyediakan sumberdaya ekonomi untuk kegiatan perdagangan dan industri, sumber mineral, sumber energi, minyak dan gas bumi serta bahan-bahan tambang lainnya.

Namun saat ini lanjut Budimawan, potensi sumberdaya pesisir secara alamiah itu, telah mengalami degradasi ekosistem terutama populasi ikan dan biota lainnya yang cukup terdapat di dalamnya sebagai akibat dari dampak laju pertumbuhan penduduk, kegiatan pembangunan fisik, peningkatan sampah organik dan anorganik serta kegiatan-kegiatan illegal dalam industri perikanan, pertambangan dan pembalakan.

Budimawan juga menilai bahwa peningkatan konsumsi dan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berlebihan ini, tanpa mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungannya, akan semakin menurunkan daya lingkungan dan nilai serta keberadaan potensi sumberdaya pesisir, sehingga mengancam potensi ekonomi dan sosial budaya yang terkandung di dalamnya.

Hal ini, lanjutnya, tentu akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat. Masalahnya, sebagian masyarakat lokal yang berdomisili di wilayah pesisir di Sulsel katanya, adalah bermata pencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan kehidupannya pada sumberdaya pesisir, khususnya kegiatan perikanan sebagai sumber pendapatan utamanya.

Berkurangnya populasi ikan di perairan pesisir akhir-akhir ini, lanjut dosen Unhas ini, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan semakin berkurang pula dan membuat nelayan terpaksa mencari ikan pada jarak yang semakin jauh melewati wilayah laut teritorial.

Kondisi ini, katanya, dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan konflik antar nelayan dari daerah lain. Sehingga dengan adanya sistem pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu ini, diharapkan masyarakat dapat lebih mudah memperoleh hasil tangkapan yang akan meningkatkan taraf hidupnya dan menghindari konflik antar nelayan.

Hal senada dikatakan Kepala Bappeda Propinsi Sulsel Sangkala Ruslan bahwa pengaturan wilayah pesisir ini, perlu dilakukan agar jelas batas wilayah pemanfaatan laut misalnya wilayah pengembangan usaha rumput laut, tempat berlabuhnya kapal-kapal tradisional atau di daerah mana seharusnya nelayan dapat menangkap ikan tanpa harus merusak ekosistem laut lainnya dan terlibat konflik.

Dalam Ranperda tentang wilayah pesisir tersebut, diatur penetapan batas wilayah laut yang menjadi kewenangan masing-masing pemerintah. Penetapan batas wilayah laut ini, katanya, untuk memisahkan yurisdiksi antara dua provinsi yang saling berhadapan, tergantung pada lebar ruang lautan diantara kedua tepi daratan.

Dalam ranperda tersebut dijelaskan bahwa apabila lebar ruang lautan diantara kedua propinsi tersebut melampaui 24 mil laut, maka masing-masing provinsi menetapkan garis batas terluar pada jarak 12 mil laut yang ditarik sejajar dengan garis pangkalnya.

Sedangkan, bila lebar ruang laut diantara kedua provinsi ternyata kurang dari 24 mil laut, maka batas wilayah laut kedua provinsi tersebut ditetapkan melalui penarikan garis tengah yang diukur sama jarak antara garis pangkal sepanjang pantai kedua propinsi itu.

Lautan Ladang Penjarahan


Tanggal : 13 Februari 2008
Sumber: http://kontan-harian.info/index.php?action=view&id=8159&module=newsmodule&src=%40random4638400281bbc


JAKARTA. Banyak penangkap ikan asing ternyata belum memengantongi izin menangkap ikan di perairan Indonesia. Buktinya, pada 2007 lalu, hampir separo (49,7%) kapal perikanan asing yang beroperasi di Indonesia harus berurusan dengan pihak berwajib karena bermasalah saat melakukan penangkapan ikan.


Data di Departemen Kelautan dan Perikanan itu menyebutkan, selama 2007 terdapat 213 kapal perikanan asing yang mereka periksa. Sebanyak 105 kapal dinyatakan bermasalah, di antaranya tidak memiliki izin, bermasalah dalam penggunaan alat tangkap, atau tak memiliki dokumen lengkap. "Banyak pengusaha asing itu belum mematuhi aturan penangkapan ikan kita," ungkap Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan, di kantornya, Selasa (12/2).


Pelanggaran tak hanya dilakukan kapal asing. Kapal lokal pun, Freddy menambahkan, ada yang begitu. Memang, rasionya sangat kecil. Hanya 4,7% dari 1.802 kapal yang diperiksa tahun lalu. "Kebanyakan menyalahgunaan alat tangkap, seperti bom atau obat bius," katanya.


Freddy mengakui, di perairan Indonesia masih banyak praktek ilegal fishing. Bahkan, menurutnya, sebagian besar wilayah perairan merupakan daerah yang rawan dengan pencurian ikan. Sebagian wilayah rawan itu ada di Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, serta perairan Riau. "Laut kita luas dan tidak sebanding dengan tenaga pengawas yang ada," terang Freddy.


Tambah kapal pengawas


Freddy menjelaskan, sejak 2001 hingga 2007 kemarin, pemerintah baru mengoperasikan 38 kapal pengawas, dengan jumlah speedboat hanya 18 unit. Untuk itu, bulan ini, DKP akan menambah 13 speed boat dan langsung menyerahkannya kepada pemerintah daerah pesisir yang kawasan perairannya rawan dengan pencurian ikan.


Rinciannya, dari sebanyak 13 unit speedboat untuk enam kabupaten, yakni Bengkulu Utara, Bulungan di Kalimantan Timur, Bangai di Sulawesi Tengah, Kepulauan Sula di Maluku Utara, serta Asmat dan Yapen Waropen di Papua. Sisanya untuk beberapa Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi serta pangkalan pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (SDKP).


Aji Sularso, Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2S DKP) menambahkan, tambahan kapal pengawas sebenarnya mencapai 350 unit. Sayang, anggarannya tak cukup, kebutuhan itu pun belum bisa dipenuhi. "Pemenuhannya secara bertahap," katanya. Akan halnya pengawasan melalui udara memakai Vessel Monitoring System (VMS).


Meski jumlah kapal pengawas terbatas, Freddy mengklaim bahwa selama lima tahun terakhir DKP mampu menyelamatkan negara dari kerugian senilai Rp 1,307 triliun. Tahun lalu, DKP menyelamatkan negara dari rugi Rp 432 miliar dan pada 2006 sebesar Rp 306 miliar.


Atasi Pencurian Ikan, Armada Pengawas yang Kuat Dibutuhkan


Tanggal : 13 Februari 2008
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/13/eko03.html


Jakarta-Kasus illegal fishing (pencurian ikan) masih marak. Hal itu terlihat dari sejumlah kasus pencurian ikan dengan berbagai modus sebanyak 116 kasus pada tahun 2007. Meski demikian jumlah itu turun dari tahun 2006 sejumlah 139 kasus.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengatakan untuk memberantas pencurian ikan butuh armada yang kuat. Setidaknya, diperlukan 340 unit kapal pengawas untuk penanggulangan dan pemberantasan pencurian ikan.

”Jika dilihat dari jumlah kebutuhan seluruhnya sebetulnya jumlah kebutuhan kapal pengawas itu 340 unit. Permintaan pemda yang memiliki wilayah pesisir dan kasus pencurian ikan sangat banyak, tetapi APBD tidak mencukupi untuk pengadaan speed boat seperti ini,” kata Freddy Numberi, Selasa (12/2), saat penyerahan 13 unit speedboat kapal pengawas kepada enam kabupaten, satu dinas perikanan dan kelautan provinsi, satu Pelabuhan Perikanan Nusantara di Sibolga, dan lima unit pelaksana teknis.

Freddy mengatakan penambahan armada tersebut untuk meningkatkan kemampuan dalam menindak segala kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Tahun ini juga diterapkan operasi pengawasan di darat terutama di pelabuhan pemberangkatan juga patroli laut serta udara melalui bantuan vessel monitoring system (VMS).

Freddy menambahkan saat ini Indonesia dianggap sebagai negara yang paling melanggar dalam pengambilan sirip ikan hiu. Dari seluruh dunia, Indonesia menghasilkan hampir 12 hingga 15 persen sirip ikan hiu.

”Sekarang kita tahu ada sekitar 300 spesies ikan hiu yang ada di Indonesia dan Australia. Kita coba lakukan penyelamatan, karena kita tahu pasti itu (sirip ikan hiu) paling banyak dikirim ke China,” katanya.(naomi siagian)

Kapal Pengawas Pencurian Ikan Ditambah


Selasa, 12 Pebruari 2008
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/02/12/brk,20080212-117365,id.html


TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, mengatakan pihaknya menambah sarana operasional 13 unit kapal speed boat pengawas. Sehingga total kapal ini mencapai 31 unit. Kapal ini akan ditempatkan di enam kabupaten, satu dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, satu Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga, dan lima Unit Pelaksana Teknis. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengklaim telah menyelamatkan potensi kerugian negara hingga Rp 1,27 triliun dari aksi perikanan ilegal. Capaian itu adalah hasil pengawasan dan pencegahan perikanan ilegal selama 2002-2007. Menurut data DKP, kerugian yang bisa diselamatkan pada 2002 sebesar Rp 28,66 miliar dan 2007 sudah mencapai Rp 389,37 miliar. Harun Mahbub

DKP TAMBAH 13 UNIT KAPAL PENGAWAS


Tanggal :12 Februari 2008
Sumber: http://postel.depkominfo.go.id/?mod=CLDEPTKMF_BRT01&view=1&id=BRT080212141801&mn=BRT0100%7CCLDEPTKMF_BRT01


Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menambah sebanyak 13 unit kapal operasional jenis speedboat untuk meningkatkan pengawasan pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia yang ditempatkan di enam kabupaten.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada acara serah terima kapal pengawas di kantor Pusat DKP di Jakarta, Selasa (12/2), mengatakan, penambahan armada pengawas dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menindak dan mengurangi tindak perusakan sumber daya kelautan dan perikanan.

Penambahan juga dilakukan untuk peningkatan pengawasan yang lebih ketat dengan menerapkan operasi pengawasannya berupa kombinasi pengawasan di darat, terutama di pelabuhan pemberangkatan serta patroli laut dan udara melalui VSM (Vessel Monitoring System).

Penambahan 13 kapal pengawas tersebut menjadikan DKP selama periode tahun 2000 – 2007 memiliki armada pengawas sebanyak 31 unit kapal pengawas jenis speedboat.

Dalam meningkatkan pengawasan selama tahun 2003 hingga 2007 DKP telah berhasil melakukan perampasan kapal illegal sebanyak 148 kapal, meliputi Sumatera sebanyak 77 kapal, Kalimantan, Maluku dan Papua masing masing sebanyak 28 kapal, Jawa sebanyak 10 kapal, dan Sulawesi sebanyak 5 kapal.

Sedangkan tindak pidana perikanan mengalami penurunan, yaitu sebanyak 91 kasus pada tahun 2003, turun menjadi 48 kasus pada tahun 2007. Perang pemerintah terhadap illegal fishing selama enam tahun terakhir menunjukan hasil, setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Selama tahun 2002 hingga 2007 kerugian yang dapat diselamatkan dari kegiatan pengawasan sebesar Rp1,27 triliun, dengan rincian pertahun, pada tahun 2002 kerugian yang dapat diselamatkan sebesar Rp28,665 miliar, tahun 2003 sebesar Rp95,553 miliar, tahun 2004 sebesar Rp 203,048 miliar, tahun 2005 sebesar Rp 267,545 miliar, tahun 2006 sebesar Rp305,766 miliar dan tahun 2007 sebesar 389,374 miliar. sementara total anggaran Dijen P2SDKP dari tahun 2002- 2007 sebesar Rp 1,2 triliun.

Jenis 13 kapal speedboat tersebut meliputi 7 unit speedboat aluminium ukuran 6,5 meter, 2 unit speedboat fibreglas berukuran 8 meter dan 4 unit speedboat aluminium berukuran 8 meter.
Sementara speedboat pengawas yang diserahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan secara simbolis ditempatkan di enam kabupaten, satu Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi, satu pelabuhan perikanan nusantara Sibolga dan lima unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP).

Memerangi Pencuri Ikan


Tanggal : 11 Februari 2008
Sumber : http://www.tribun-timur.com/view.php?id=63451


PRAKTIK illegal fishing atau pencurian ikan di perairan Indonesia masih terus berlangsung. Kerugian akibat praktik tersebut mencapai hingga Rp 30 triliun setiap tahun. Atau, sekitar 25 persen total potensi perikanan yang ada, yaitu 1,6 juta ton per tahun. Hasil ikan yang bisa diselamatkan, nilainya hanya Rp 600 miliar.

Kerugian yang amat besar! Yang memprihatinkan lagi, saat ini, produk perikanan Indonesia menghadapi masa-masa kritis dalam perdagangan global. Ekspor produk perikanan cenderung menurun. Tuntutan terhadap standar mutu dan keamanan produk yang semakin kuat membuat kinerja ekspor terus terpuruk.

Komoditas andalan yang mendapat hambatan paling besar adalah udang dan tuna. Ekspor ke Uni Eropa, misalnya, anjlok dari 0,7 miliar dolar tahun 2001 menjadi 0,3 miliar dolar di tahun 2006. Ekspor udang ke Amerika Serikat merosot dari 13,4 persen pada periode Januari-April 2007 menjadi 10,2 persen. Ekspor tuna turun tajam, tahun 2006 tercatat 4.182 ton, sedangkan tahun 2003 sebanyak 20.345 ton.

Padahal, hasil penelitian menyebutkan, potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah 6.18 juta ton per tahun. Jika dirinci, terdiri atas ikan pelagis besar 975.05 ribu ton, ikan pelagis kecil 3.23 juta ton, ikan emersal 1.78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton dan cumi-cumi 28.25 ribu ton.

Di lain pihak, data menunjukkan, konsumsi produk ikan dan kelautan lainnya di dunia, meningkat terus. Konsumsi dunia naik sangat drastis, dari 45 juta metrik ton di tahun 1973, melonjak hingga 91 juta ton di tahun 1997. Sedangkan produksi ikan, peningkatan masih tak mampu memenuhi permintaan konsumsi, yakni dari produksi 44,5 juta ton di tahun 1973 menjadi 64,5 juta ton di tahun 1997.

Data itu menunjukkan, Indonesia berpotensi besar untuk memenuhi permintaan ikan dunia yang besar. Sayang, di tengah prospek cerah itu, sebagian besar hasil perikanan justru dicuri oleh nelayan asing. Parahnya lagi, sanksi terhadap nelayan asing dan kapal penangkap ikannya tak memadai.

Langkah pemerintah untuk menindak tegas pelaku pencurian ikan, menggembirakan. Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, Senin (4/2), di Jakarta, menegaskan, pemerintah akan menenggelamkan kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing. Untuk itu, ditandatangani kesepakatan kerja sama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, dan TNI Angkatan Laut di Jakarta.

Langkah penenggelaman kapal ikan asing itu merupakan tindakan tegas memerangi pelaku pencurian ikan. Pemerintah Australia juga menerapkan kebijakan sama kepada kapal asing yang masuk secara ilegal ke perairannya. Yang pasti, tindakan tegas sudah waktunya diterapkan. Persoalannya, kemampuan satuan pengawasan di laut juga harus ditingkatkan. Sebab, kapal penangkap ikan asing biasanya canggih peralatannya.

Ekspor Perikanan Ilegal Capai Rp828 Miliar



Tanggal : 07 Pebruari 2008

JAKARTA (RP) - Data ekspor produk perikanan (aquatic) dari Indonesia ke Cina yang dicatat kedua negara selisih 90 juta dolar AS (Rp 828 miliar). Indonesia mencatat ekspor produk perikanan selama tahun 2007 sebesar 60 juta dolar AS, sedangkan Cina mencatat sebesar 150 juta dolar AS.

‘’Selisih nilai itu ditengarai banyak disumbang dari perdagangan ilegal melalui berbagai cara,’’ ujar Dirjen Pengolahan dan Perikanan Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Martani Huseini, kemarin. Ekspor ilegal produk perikanan itu sangat merugikan Indonesia sebab ratusan miliar devisa menghilang. Menurut Martani, ekspor ilegal itu sebagian juga disumbang oleh adanya perdagangan tidak langsung produk aquatic Indonesia melalui Hongkong.

Pedagang dari Indonesia lebih suka menjual produk aquatic-nya melalui Hongkong, sebab negara itu memberikan banyak fasilitas serta pengurangan bea masuk. Setelah itu secara mudah mereka mendistribusikan ke Cina. ‘’Perbedaan angka ini sangat besar, sehingga harus menjadi perhatian khusus kita,’’ tegasnya.Berbagai produk perikanan Indonesia sudah banyak diekspor ke negeri ginseng tersebut. Maretani menilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Cina akan sangat besar pada tahun 2010. Sebab, negara itu sejak saat ini hingga tahun 2010 nanti diperkirakan banyak mengalami gangguan alam yang menggangu produksi produk aquatic-nya. ‘’Sedangkan produksi kita sepanjang tahun kan tidak pernah berhenti,’’ jelasnya.

ndonesia selama ini banyak mengekspor produk aquatic dari berbagai jenis, seperti ikan hidup, ikan kering, maupun produk olahan lainnya. Ke depan, komoditi belut diperkirakan bakal menjadi produk ekspor andalan Indonesia ke Cina. Selama ini, produksi belut first grade (kelas satu) Cina diekspor ke Jepang, sementara kelas duanya (second grade) kosong. ‘’Untuk itu kita akan pasok belut second grade ke Cina,’’ tuturnya.Sejak kemarin, Cina mencabut larangan impor produk perikanan dari Indonesia. Menurut Martani, pencabutan itu terkait dengan beberapa hal antara lain, Cina telah percaya bahwa produk perikanan Indonesia sudah masuk jaminan mutu. Selain itu, kedua negara sepakat mengakiri kesalahpahaman yang dinilai memicu retaliasi (pembalasan) pelarangan dari Cina. ‘’Kedepan kita hanya mengizinkan perdagangan oleh eksportir terdaftar, selain itu ada kesepakatan tentang penunjukan laboratorium penguji,’’ jelasnya.(wir/jpnn)

Kapal Pencuri Akan Ditenggelamkan


Tanggal : 5 Februari 2008
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=192059


JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah akan mengambil tindakan tegas hingga penenggelaman kapal, khususnya milik asing, yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menegaskan, illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp 30 triliun setiap tahun. Ini sama dengan sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang ada di Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.

"Kita harus tegas, setiap kapal asing yang beroperasi secara ilegal akan ditenggelamkan," kata Freddy pada penandatanganan kesepakatan kerja sama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian, dan TNI Angkatan Laut di Jakarta, Senin (4/2).

Penandatanganan kesepakatan mengenai standar operasional dan prosedur penanganan tindak pidana perikanan di tingkat penyidikan dan pra penuntutan. Penandatanganan dilakukan oleh Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Aji Sularso, Kepala Badan Pembindaan Keamanan (Kaba Binkam) Polri Komjen Pol Iman Haryatna serta Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Muda TNI Moekhlas Sidik.

Freddy sendiri menepis anggapan bahwa tindakan menenggalamkan kapal asing tersebut akan memunculkan penilaian negatif karena melanggar hak asasi manusia. Langkah penenggelaman yang akan diambil pemerintah terhadap pelaku illegal fishing merupakan tindakan tegas yang harus ditempuh. "Mereka telah masuk ke Indonesia tanpa izin dan melakukan pelanggaran. Kita tidak bisa main-main lagi dengan mereka," ujarnya.

Pemerintah Australia, lanjut Freddy, juga mengambil kebijakan yang sama. Terlebih lagi untuk penanganan kapal asing yang masuk ke perairan negara tersebut secara ilegal. "Hingga saat ini tidak ada yang memprotes tindakan Australia tersebut. Jadi kenapa diprotes jika dilakukan di Indonesia," tuturnya.

Sebagai langkah awal untuk melakukan tindakan tegas terhadap kapal asing pelaku illegal fishing tersebut, pemerintah akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun yang penting, penerapan tindakan tegas terhadap kapal asing pelaku illegal fishing memerlukan koordinasi yang baik, antara instansi terkait seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI AL, dan Polri.

"Saat ini upaya penegakan hukum berjalan kurang optimal, sehingga perlu dirumuskan kiat pengawasan yang lebih efektif, efisien, rasional, dan terintegrasi. Kita manfaatkan berbagai sistem pengawasan yang ada. Kesepakatan bersama dimaksudkan untuk memberikan keseragaman dan kepastian hukum bagi penyidik dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan," ujar Freddy.

Di lain pihak, DKP belum akan membuka izin penangkapan ikan terhadap kapal asing diperairan Indonesia. Selama ini Indonesia hanya melakukan kerja sama penangkapan ikan dengan China, Thailand, dan Filipina. Namun, kerja sama penangkapan ikan dengan ketiga negara itu telah ditutup, yakni Filipina pada pertengahan 2006, Thailand pertengahan 2007, dan China akhir 2007.

"Ada klausul yang kita ajukan, namun belum bisa diterima mereka. Intinya tidak ada kemungkinan kapal asing bisa masuk ke Indonesia jika tak mau kerja sama. Bagi kami ada yang aneh mengapa mereka tidak mau melakukan kerja sama tersebut. Kami sudah meminta Polri untuk melakukan penyelidikan." katanya. (Andrian)

Freddy Numberi: Tenggelamkan Kapal Asing "Illegal Fishing"


Tanggal : 4 Pebruari 2008
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2008/2/4/freddy-numberi-tenggelamkan-kapal-asing-illegal-fishing/

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, menegaskan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan tegas dengan menenggelamkan kapal ikan asing yang melakukan "illegal fishing" di perairan Indonesia.

"Kita harus tegas, setiap kapal ikan asing atau kapal asing yang beroperasi secara 'illegal' akan ditenggelamkan," katanya pada penandatanganan Kesepakatan kerjasama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, dan TNI Angkatan Laut di Jakarta, Senin.

Penandatanganan kesepakatan tentang Standar Operasional dan Prosedur penanganan tindak pidana perikanan di tingkat penyidikan dan pra penuntutan tersebut dilakukan oleh Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso, Kepala Badan Pembindaan Keamanan (Kaba Binkam) Polri, Komjen Pol. Iman Haryatna dan Asisten Operasi Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Muda TNI Moekhlas Sidik.

Penandatanganan itu disaksikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala Staf TNI AL (KASAL) dan Wakapolri.

Freddy mengatakan, praktik "illegal fishing" yang terjadi di perairan Indonesia mengakibatkan kerugian hingga Rp30 triliun setiap tahun, sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang ada di Indonesia atau 1,6 juta ton per tahun.


Menanggapi tindakan menenggalamkan kapal asing tersebut akan memunculkan penilaian negatif dari berbagai kalangan bahwa hal itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Freddy, langsung menepis hal itu.



Menurut dia, langkah penenggelaman yang akan diambil pemerintah terhadap kapal ikan asing pelaku "illegal fishing" bukan sebagai pelanggaran HAM, namun merupakan tindakan tegas yang harus ditempuh.



"Mereka telah masuk ke Indonesia tanpa izin dan melakukan pelanggaran. Kita tidak bisa main-main lagi dengan mereka," katanya.



Pemerintah Australia, lanjutnya, mengambil kebijakan yang sama, berupa penenggelaman, dalam penanganan kapal asing yang masuk ke perairan negara tersebut secara tidak sah.


"Tidak ada yang memprotes tindakan Australia tersebut, sementara di Indonesia kenapa diprotes?," katanya.

Sebagai langkah awal untuk melakukan tindakan tegas terhadap kapal asing pelaku "illegal fishing" tersebut, menurut dia, pemerintah akan melakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

IA mengatakan, untuk menerapkan tindakan tegas terhadap kapal asing pelaku illegal fishing diperlukan koordinasi yang baik antara instansi terkait seperti DKP, TNI AL dan Polri.

Dia mengaku, saat ini situasi penegakan hukum berjalan kurang optimal sehingga perlu dirumuskan kiat pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif, efisien, rasional dan terintegrasi dengan berbagai sistem pengawasan yang ada.

Kesepakatan bersama tentang Standar Operasional dan Prosedur penanganan tindak pidana perikanan di tingkat penyidikan dan pra penuntutan dimaksudkan untuk memberikan keseragaman dan kepastian hukum bagi penyidik dalam menangani tindak pidana perikanan secara tepat dan benar

Sianida yang Meracuni Ikan Hias


Tanggal : 4 Februari 2008

Sumber : http://www.liputan6.com/progsus/?id=154403

Dengan luas lautan yang lebih dari 5,8 juta kilometer persegi, Indonesia menjadi surga bagi berjuta-juta jenis biota laut. Ditaksir, setidaknya ada 2.000 spesies ikan hias yang beranak-pinak. Jumlah itu sepertiga dari spesies ikan dunia. Kualitas dan keindahan ikan hias asal Indonesia tidak diragukan lagi.

Makin eksotik dan susah ditangkap, semakin mahal harga ikannya. Hampir 100 persen pasar ikan hias adalah pasar ekspor dengan Singapura, Hongkong, Amerika, dan Kanada sebagai negara tujuan. Pasar yang luas menjadikan perburuan ikan hias seakan tak pernah sepi. Demi menggenjot hasil para nelayan pun kerap menempuh jalan pintas.

Banyak nelayan menangkap ikan hias menggunakan racun seperti potasium dan sodium sianida atau yang biasa potas. Penggunaan racun sianida untuk menangkap ikan dilarang undang-undang. Selain berisiko mematikan ikan buruan, juga merusak terumbu karang dan ekosistem sekitar. Sayangnya, racun dianggap satu-satunya alat ampuh.

Rata-rata nelayan pengguna sianida terjebak mata rantai perdagangan ikan hias. Ikan-ikan itu biasanya disetor ke broker atau pengepul. Broker ini lalu menjual ikan-ikan itu ke eksportir dengan keuntungan yang berlipat. Namun para nelayan tetap saja hidup serba pas-pasan. Apalagi di tengah harga sianida yang semakin mahal.

Kerusakan 75 persen terumbu karang di Indonesia diyakini akibat semprotan maut sianida serta penangkapan ikan dengan bom. Sekali semprot bisa merusak karang bermeter-meter. Padahal seorang nelayan menghabiskan setengah kilogram sianida dalam sehari.

Illegal Fishing, Kejahatan Transnasional yang Terlupakan


Tanggal : 2 Pebruari 2008
Sumber : http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=53900
Oleh: Aspiannor Masrie, Dosen Jurusan Studi Ilmu Hubungan Internasional Unhas


Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa, khususnya di Indonesia.Sebaliknya, masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD9 miliar per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan, Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD2 miliar atau sekitar Rp19 triliun per tahun. Dengan kata lain, 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia.

Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar, yakni antara Rp30-40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.500 pulau. Secara geografis, hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial.

Menurut data, sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing.

Adapun, daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia).

Akar Masalah

Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang, begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas, bahkan ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula?

Hal ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada, sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia.

Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor:31 Tahun 2004 yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE,

sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing, namun para pelakunya dihukum ringan, padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,

dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu, adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing, misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran.

Ironisnya, hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan, sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.

Hal ini bisa dilihat pada kasus pelangaran berupa operasi perizinan kapal, misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7.000 kapal), namun ternyata sekitar 70 persen atau 5000 di antaranya, lebih dimiliki oleh pihak asing terutama Taiwan, Philipina, Thailand, RRC.

Sedangkan di wilayah Timur Indonesia, dari 5.088 kapal yang beroperasi, banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.

Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, masih adanya oknum di departemennya yang melakukan pelanggaran dengan modus memberi izin para pelaku dengan cara membelotkan aturan yang ada misalnya penangkapan ikan dan ekspor hasil laut tidak melalui pelabuhan, padahal menurut UUNo.31/2004 tentang perikanan, setiap kapal harus merapat dulu ke pelabuhan Indonesia untuk diolah ikannya.

Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing, sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance).

Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007, Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing, di mana kerugian negara mencapai Rp13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

Keenam, kurangnya koordinasi antar-departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah.

Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi masalah illegal fishing, terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Philipina, Thailand, Taiwan, dan RRC. Akibatnya, bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu, kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Dampak dan Solusi

Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran, bisa kita lihat Philipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia.

Ironisnya, 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng, namun banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal.

Di samping itu, para pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi, di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar.

Untuk meminimalkan illegal fishing, sudah saatnya pemerintah membuat UU Anti Illegal Fishing karena UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut.

Bahkan UU terebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia).

Demikian pula pelaksanaan Permen no 17 tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak.

Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih pelakunya

Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing. Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan.

Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah, tetapi juga dapat merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang.

Menurut Ministry of State of Environment, luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penangganan dan mengelola kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.