Menekan Praktik Illegal Fishing

Tanggal : 30 Januari 2008
Sumber : http://jurnalnasional.com/?med=Koran%20Harian&sec=Eksekutif&rbrk=&id=33399


SALAH satu musuh yang harus kita berantas adalah praktik-praktik illegal fishing atau penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia, karena telah menggerogoti ekonomi nasional. Illegal fishing pada praktiknya bukan hanya menjarah ikan, tapi juga sering dibarengi penyelundupan bahan bakar minyak atau BBM dan pembelian BBM bersubsidi oleh kapal-kapal penangkap ikan asing.


Demikian disampaikan Kepala Pusat Data, Statistik Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Selasa (29/1). "Belum lagi, penggunaan tenaga asing, yang mestinya mereka menggunakan tenaga kerja dari dalam negeri," ujarnya.


Untuk itu, pemberantasan illegal fishing menjadi salah satu prioritas kerja DKP pada tahun 2008. Sasarannya, praktik illegal fishing dapat ditekan sebesar 20 persen setiap tahunnya. Sehingga, dalam lima tahun ke depan bisa ditekan secara signifikan.


Saut menjelaskan, sekarang ini mengawasi praktik illegal fishing, terutama yang dilakukan kapal-kapal asing, relatif lebih mudah dilakukan. Pasalnya, sejak Peraturan Menteri (Permen) 17/2006 dikeluarkan, tidak ada lagi kapal asing yang boleh beroperasi di perairan Indonesia, sebelum mereka mendirikan industri pengolahan perikanan di sini. Jadi, kalau saat ini ada kapal penangkap ikan asing, dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai ilegal. "Sebelum Permen itu dikeluarkan, kita sulit membedakan antara kapal yang legal dan ilegal," kata Saut.


Sebelumnya, di hadapan para anggota Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyampaikan, dalam rangka penanggulangan illegal fishing, DKP terus melakukan upaya penataan, pengawasan, dan penegakan hukum di dalam negeri, serta upaya kerja sama internasional. Setidaknya, terdapat tujuh upaya yang telah dilakukan pemerintah. Di antaranya, peningkatan operasional pengawasan sumber daya perikanan, yang dilakukan melalui peningkatan kesadaran dan ketaatan pelaku usaha terhadap ketentuan pemanfaatan sumber daya perikanan, terbentuknya lima unit pelaksana teknis (UPT) pengawaasan, dan operasionalisasi lima pengadilan perikanan.


Upaya lain, meningkatkan kerja sama operasi pengawasan dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta operasi pengawasan oleh kapal pengawas DKP. Pada tahun 2007, DKP telah memiliki dukungan kapal pengawas sebanyak 20 unit. Operasi pengawasan telah berhasil memeriksa sebanyak 2.015 kapal, dengan pelanggaran yang meliputi penangkapan tanpa izin, alat tangkap tanpa izin, pemalsuan dokumen, penggunaan bahan peledak dan listrik, penyalahgunaan fishing ground dan alat tangkap, serta pelanggaran pengangkutan ikan.


Di samping itu, pada tahun 2007 juga telah di-ad hoc sebanyak 190 kapal, 150 di antaranya adalah kapal asing. "Dalam rangka pelibatan masyarakat untuk pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, sampai tahun 2007 telah dibentuk Kelompok Pengawas Masyarakat," ujar Freddy.


Masalah illegal fishing, ungkap Saut, di antaranya terkait beberapa faktor. Pertama, luasnya wilayah laut kita yang diperparah dengan kemampuan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia yang sangat terbatas, ditambah anggaran yang sangat minim. Kedua, sumber daya perairan di luar Indonesia, terutama negara-negara tetangga sudah menurun. Di saat yang sama, justru kebutuhan bahan baku untuk industri perikanan mereka terus meningkat. Ketiga, kurang solidnya kerja sama institusi penegak hukum dalam negeri, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku illegal fishing.


"Oleh Undang-Undang 31/2004 tentang Perikanan, diamanatkan pengadilan khusus perikanan. Itu menjadi harapan kita, untuk memutus pengadilan cepat bagi pelanggaran illegal fishing. Tahun 2007, telah diresmikan lima pengadilan perikanan di Tual, Bitung, Jakarta Utara, Medan, dan Pontianak," kata Saut. n

Box

Upaya Pemberantasan Illegal Fishing

  1. Peningkatan operasional pengawasan sumber daya perikanan.
  2. Perbaikan pelayanan perizinan.
  3. Mengurangi jumlah kapal perikanan berbendera asing.
  4. Meningkatkan kerja sama operasi pengawasan.
  5. Pengembangan program vessel monitoring system (VMS).
  6. Mempercepat proses pengadilan terhadap pelaku tindak pidana perikanan.
  7. Meningkatkan kerja sama internasional di bidang pengawasan.

Abdul Razak

KERUGIAN EKONOMI KARENA ILLEGAL FISHING


Tanggal: 22 Januari 2008
Sumber: http://www.dkp.go.id/content.php?c=4838



Kerugian ekonomi akibat akibat tindak pelanggaran illegal fishing, tentu saja sangat memprihatinkan. Berdasarkan asumsi yang dilansir FAO, kerugian negara akibat illegal fishing mencapai 3 trilyun rupiah pertahun. Dikatakan pula bahwa tingkat kerugian itu mencapai 25%dari total potensi perikanan yang kita miliki. Ini artinya, 25 dikalikan 6,4 juta ton ketemu angka 1,6 juta ton atau 1,6 milyar kg. Angka inilah yang disumsikan FAO, sehingga mendapat angka 30 trilyun rupiah dalam setiap tahunnya. Hitungan lain dalam konteks sebagian kerugian ekonomi akibat UUI Fishing dapat kita simak pada table di bawah ini.

Sebagian Kerugian Ekonomi Karena IUU Fishing
Kerugian Negara antara lain :
1. Pungutan Perikanan yang dibayarkan dengan tarif kapal Indonesia
2. Subsidi BBM yang dinikmati oleh kapal asing yang tidak berhak
3. Produksi ikan yang dicuri (Volume dan Nilai)

Rincian
Pukat Ikan L. Arafura
Pukat Ikan
S. Malaka
Pukat Udang
Pulat Cincin Pelagis Besar
Rawai Tuna
Ukuran Kapal (GT)
202
240
138
134
178
Kekuatan Mesin (HP)
540
960
279
336
750
Produksi (Ton/kpl/th)
847
864
152
269
107
Rugi Pungutan PerikRp.Juta/Kapal/Th
193
232
170
267
78
Rugi Subsidi BBM Rp.Juta/Kapal/Th
112
221
64
77
173
Rugi Produksi Ikan Rp.Juta/Kapal/Th
3.559
1.733
3.160
1.101
801
Total Kerugian Rp.Juta/Kapal/Th
3.864
2.187
3.395
1.446
1.052

Sumber : Buku Refleksi 2007 dan Out-look 2008 Ditjen P2SDKP.
Pengirim :
Mukhtar, A.Pi





Lempar "Bom Bismillah", Lalu Kita Aturlah..


Tanggal : 16 Januari 2008
Sumber : http://www.panyingkul.com/view.php?id=697&jenis=berandakita


Citizen reporter Muhammad Arief al-Fikri mewawancari dua pakar yang meneliti dan bergelut dalam masalah destructive fishing untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kondisi terkini pemboman ikan, serta upaya untuk mengatasinya. Ada bom ikan yang bernama ”bismillah” dan juga ada kekhawatiran melihat lemahnya penegakan hukum, sehingga praktik ”saling atur” dengan aparat, membuat para pelaku tetap leluasa beraksi.

Di awal Desember 2007, saya mewawancarai Muhsin, seorang master diver dan peneliti terumbu karang yang saat ini bekerja di kantor kelautan Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. Di kediamannya yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Tamalanrea Makassar, Muhsin menerima saya dan memberi penjelasan panjang lebar mengenai destructive fishing (DF). Irama rintik-rintik hujan di malam itu menemani perbincangan kami.

Menurut Muhsin, setiap pulau atau daerah identik dengan alat tangkap yang khas. Berikut saya sajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:




Dan berikut penjelasannya lebih lanjut mengenai DF.

Untuk jenis bagang, terdiri dari 3 jenis. Bagang tancap (dengan lampu strongking), bagang perahu (dengan lampu sorot), dan bagang rambo (dengan banyak lampu). Bagang beserta lampunya ini digunakan untuk menangkap ikan yang hanya aktif pada malam hari (gelap) dan senang akan cahaya. Ikan jenis ini disebut dengan ototaksis positif.

Bubu tindis merupakan perangkap ikan yang terbuat dari bambu. Karena terbuat dari bambu (ringan), alat ini dipasang dengan cara ditindis – biasanya dengan menggunakan terumbu karang, itulah yang menyebabkan mengapa alat ini termasuk alat tangkap yang merusak- di dasar perairan supaya tidak goyang dan berpindah tempat setelah didiamkan. Untuk mengumpan ikan-ikan yang menjadi target, di dalam bubu biasa dipasangi umpan. Ikan-ikan yang sudah terkurung tidak dapat lagi keluar dari bubu.

Di dalam bubu, ikan-ikan akan kekurangan oksigen dan bahan makanan (bagi ikan pemangsa) lalu mati setelah beberapa waktu. Setelah ikan-ikan tersebut mati, barulah diangkat naik ke kapal/perahu.

Alat tangkap selanjutnya adalah cantrang, yang merupakan miniatur pukat harimau. Alat ini biasa digunakan masyarakat di TPI Paotere. Jenis dan bentuknya tidak berbeda dengan pukat harimau, hanya saja ukurannya lebih minim. Penggunaan pukat harimau dilarang karena tidak mengenal size and kind (ukuran dan jenis), sehingga ikan-ikan yang menjadi korban termasuk yang bukan target tangkapan. Ikan yang ukan target ini kemudian dibuang begitu saja seperti sampah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan yang hanya jadi sampah tangkapan lalu dibuang seenaknya jika radius yang terkena pukat harimau mencapai puluhan meter?

Untuk melengkapi penjelasan Muhsin, saya juga mewawancarai Yusran, direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia memberi gambaran lain tentang pemboman di Selayar. Lembaga yang dipimpin Yusran ini berdiri sejak 1997, bergerak di bidang konservasi laut, kehidupan pesisir, dan penangkapan ikan. Menurut Yusran, di kepulauan Selayar, biasa digunakan adalah bondet, alat tangkap serupa bom.

Berdasarkan pengalaman Yusran, pulau-pulau yang termasuk pulau yang kaya akan sumber daya lautnya di antaranya; Taka Bonerate, gugusan Kepulauan Spermonde yang terdiri dari 128 pulau, Kepulauan Sembilan di Sinjai, dan Kepulauan Tana Keke di Takalar.


Bom dan Bius

Alat tangkap yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah bom dan bius. Mengapa demikian? Menurut Muhsin, penggunaan bom untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. ”Kalau telat nanti ikannya bisa melarikan diri. Makanya dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu diangkat naik” jelas Muhsin.

Sebelum membom ikan, di atas kapal/perahu para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.

Bom dibeli satu paket dengan detonator, termolit, dan sumbu. Bom ini berasal dari bahan pupuk sianida –biasanya disiapkan oleh punggawa-- dengan kadar nitrogen yang tinggi. Harganya sekitar Rp200.000 per zak (1 zak = 25 kg).

Di Barrang Lompo, dalam satu kapal pa’es –kapal besar yang memuat es dan merupakan kapal pembom— biasanya membawa 10 hingga 12 zak bom untuk perjalanan 7 hingga 10 hari. Dan setiap kilogram, radiusnya mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk – makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis)? Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom.

Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan.

Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan ”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.

Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (lunak).

Berbeda halnya dengan bom, bius berfungsi sebagai ”racun sementara”. Bius ini digunakan dengan cara disemprotkan ke area mana saja yang dikehendaki sebagai target tangkapan. Ikan-ikan yang sudah dibius akan teler, lalu selanjutnya disterilkan biusnya agar ikan normal kembali seperti sedia kala.

Ada dua cara mensterilkan bius ikan. Pertama, si penangkap (berenang) membawa ikan-ikan yang sedang ”teler” ini ke perairan yang tidak tercemar oleh bius dengan memasukkan ikan ke dalam jaring atau alat lain. Nah, di sini ikan-ikan tersebut akan kembali normal dalam beberapa waktu. Setelah ikan kembali normal, barulah ikan-ikan tersebut diangkat naik ke atas kapal/perahu. Kedua, ikan yang ”mabok laut” tadi dimasukkan ke dalam keramba, namun cara ini memakan waktu yang lebih lama dari cara pertama, biasanya satu minggu.

Menurut Yusran, jenis ikan yang menjadi target pembiusan biasanya jenis ikan yang bernilai ekonomis dan ikan hias. Ikan-ikan tersebut tentu harus dijual dalam keadaan hidup, makanya dibius supaya tetap bagus tampak fisiknya. ”Pembeli mana tahu kalo ikan tersebut sudah dibius, toh ikannya dijual hidup dan tidak ada ciri-ciri fisik yang nampak seperti ikan hasil bom,” ujar Yusran menambahkan.

Lantas, apakah efek bius dalam tubuh ikan tidak hilang dan menjadi racun bagi para konsumen setelah dimasak? Menurut Muhsin, berdasarkan penelitian, bahan-bahan yang terkandung dalam bius yang meracuni ikan akan hilang sedikitnya 2 hari. Sedangkan Yusran menambahkan, efek bius tersebut tidak begitu signifikan mempengaruhi kesehatan konsumen. ”Buktinya sudah banyak yang makan ikan, tapi belum pernah ada berita mengenai hal tersebut” ujarnya yakin.


Terus Berlanjut

Kegiatan penangkapan ikan model DF terus berlangsung hingga sekarang, disebabkan karena beberapa hal. Pertama, sebut saja ’tuntutan hidup’. Karena penangkapan ikan secara DF lebih mudah dan lebih cepat ketimbang dengan cara alami (tanpa menggunakan alat2 tangkap yang merusak) sehingga arus jual-beli bisa tetap lancar dan kontinu. Dengan begitu, kebutuhan para nelayan dan keluarga sehari-hari bisa tetap terpenuhi. Kedua, adanya realita ”hukum kotor”.

Misalnya yang terjadi di Selayar dan Barrang Lompo. Berdasarkan cerita Muhsin, di kedua daerah tersebut para nelayan (pelaku penangkapan ikan secara merusak) menyumpal mulut aparat dengan lembaran-lembaran rupiah agar perbuatannya tidak dilaporkan, karena resikonya adalah hukuman pidana seperti yang tercantum pada UU No. 31 Tahun 2000 Pasal 84 Ayat 1, yakni denda paling banyak Rp1.200.000.000 (satu milyar dua ratus juta rupiah) atau kurungan penjara paling lama 6 tahun.

Di Barrang Lompo, tiap satu buah kapal pa’es (kapal pembom) membayar petugas 2 juta rupiah untuk satu kali trip (kurang lebih selama 1 minggu). Selama sebulan, setiap kapal biasanya melakukan trip sebanyak 3 kali. Berarti setiap bulannya, dompet aparat di daerah itu bertambah tebal oleh uang 6 juta rupiah. ”Harga itu berlaku sebelum tahun 2000...,” tambah Pak Muhsin. Nominal ini hanya untuk satu buah kapal, sedangkan volume kapal pembom di Barrang Lompo kala itu mencapai 30 buah. Wah, berapa banyakkah uang yang diperlukan ”meredam” petugas? Silakan hitung sendiri!

Meskipun harus merogoh kocek, namun biaya yang para nelayan keluarkan untuk membungkam aparat tidak mengurangi keuntungan hasil penjualan ikan secara drastis. Dengan kata lain, tidak seberapa. Oleh karena itulah, kegiatan penangkapan ikan secara destruktif (DF) tetap berlangsung. Ketiga, suplai alat dan bahan untuk menangkap (misalnya bom dan bius) tetap tersedia. Meskipun sulit untuk mendapatkannya, namun setiap daerah/pulau sudah punya penyuplai dan jalur distribusi tersendiri.


Solusi

Mengenai solusi, saya mendapati dua jawaban yang berbeda namun cukup menarik dari kedua narasumber tersebut.

Menurut Yusran, sudah ada tiga program untuk setidaknya mengikis sedikit demi sedikit arus kegiatan penangkapan ikan secara destruktif. Ada yang sudah dan masih berlangsung, namun ada juga yang masih ”hitam di atas putih”.

Pertama, MCS (Monitoring Controlling Surveillance) untuk pengawasan dan pemantauan praktek-praktek DF secara berkelanjutan. MCS sendiri terbagi atas dua, yakni MCS berbasis laut yang dilakukan oleh TNI AL dan Polairud (polisi air dan udara) dan MCS berbasis darat atas rekomendasi DFW (Destructive Fishing Watch) bekerja sama dengan YKL.

MCS berbasis laut bertujuan untuk menangkap kapal-kapal pembom di laut. Untuk sementara, MCS inilah yang gencar dilakukan. Sedangkan MCS berbasis darat yang sudah mulai diaplikasikan bertujuan untuk memutus mata rantai jaringan distribusi bom dan bius. Kedua, CEB (Character Education Building) yakni penanaman nilai-nilai perilaku penangkapan yang ramah lingkungan melalui proses pengajaran, atau bisa juga disebut idealisme konservasi. Targetnya adalah generasi kawula muda.

Rencananya, Kepulauan Selayar merupakan daerah pertama yang akan segera dijamah program tersebut. Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang dibiayai oleh World Bank (bank dunia) dan ADB (Asian Development Bank) akan memfasilitasi pengadaan pelajaran muatan lokal khusus mengenai penangkapan ikan yang ramah lingkungan di sekolah-sekolah di Kepulauan Selayar.

Terlepas dari apakah ada udang di balik batu, yang jelas menurut Yusran agenda ini sudah dalam proses penyusunan kurikulum. Tujuannya, agar generasi muda mengetahui dampak dan pengaruh DF bagi kelangsungan kehidupan bawah laut serta diharapkan bisa menemukan alternatif mengenai cara tangkap yang tidak merusak. Ketiga, alternatif teknologi.

Di lain pihak, Muhsin memiliki pernyataan sendiri mengenai solusi DF. ”Susah kalau mikir solusi, sebab akar masalahnya ada pada hukum dan aparat. Kalau akarnya sudah lemah begini, bagaimana pohonnya mau kokoh?” ujar Muhsin

DKP Buton Utara Amankan Bahan Peledak

Tanggal: Rabu, 16 Januari 2008
Sumber:Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kendari - http://www.p2sdkpkendari.com/?pilih=lihat&id=173


Aparat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Buton Utara berhasil mengamankan 13 botol bahan peledak dan ikan hasil tangkapan yang diduga menggunakan bahan peledak. Itu disampaikan Pls Kadis DKP Butur, La Ode Ramlan, kemarin.



Kata dia, penangkapan yang dilakukan tanggal 24 Desember akhir 2007 lalu berkat kerja keras Suharlan (petugas pengawas perikanan yang berstatus magang). Aparat kami sebelumnya mencurigai Perahu nelayan dengan 7 ABK-nya mendarat di Desa Pebaoa Kecamatan kulisusu Utara. Ia lalu menemui Seorang penduduk setempat. Saat sedang ngobrol dengan warga , aparat kami memeriksa kapal mereka dan menemukan bahan peledak beserta ikan tangkapannya, ujarnya Ramlan.


Hasil pemeriksaan Suharlan Yang dilakukan malam hari sekitar pukul 21.00 Wita ditemukan tujuh nelayan membawa 13 botol bahan peledak yang terdiri 9 botol ukuran sedang, 3 botol besar dan 1 botol uuran air mineral. Semuanya bahan berbahaya yang disimpan di dalam ember besar yang telah diamankan.


Ramlan kemudian menceritakan ihwal penangkapanbahan peledak itu. Sebelumnya, staf yang magang di kantor yang dipimpinnya melakukan melakukan upaya penyergapan dengan jalan copot baling-baling perahu. Sayangnya, kaarna hari sudah malam iatak berhasil melepas baling-baling itu dengan sepurna. Keesokan harinya, petugas tersebut bermaksud mendatangi kapal itu, akan tetapi ketujuh ABK yang bertandang ke rumah La Umpe (warga setempat, Red) sudah tidak ada. Diperkirakan ketujuh orang itu lolos dengan tujuan Kendari.


Kami menerima laporan Suharlan melalui Kepala Bidang Pengawasan dan Perlindungan DKP Butur, La ode Samara. Selanjutnya laporan diteruskan ke Polsek Kulisusu untuk penanganan lebih lanjut, jelas Pls Kadis DKP Butur ini.


La Ode Amsir yang juga tokoh muda Butur sekaligus Wakil Ketua Golkar Butur memberikan dukungan atas keberhasilan Suharlan yang sukses mengungkapkan kasus yang matak terjadi tapi sulit diungkap di Butur. “Penggunaan bahan peledak jelas merugikan kekayaan laut Butur yang jangka panjangnya merugikan mata pencaharian nelayan. Apalagi ini termasuk kategori illegal fishing yang banyak berkeliaran bebas di sekitar perairan Butur, Tindakan staf magang tersebut harus menjadi inspirasi semua kalangan, baik pemerintah maupun petugas “kita warga masyarakat mestinya tidak menutup mata atas kejadian itu. Kalau perlu warga yang nyata-nyata melihat adanya tindak pidana seperti itu dan tak melaporkan ke petugas juga di tindak. Siapa tahu juga bagian dari sindikat dari illegal fishing tersebut, “ Ujar Amsir, kemarin.


Sepengetahuan Amsir, tindak
illegal fishing jelas melanggar psal 84 (1) UU No.31/2004 tentang perikanan. Ancaman maksimal bagi pelanggarnya 6 tahun kurungan dan dengan denda Rp 1,2 milyar. Termasuk melanggar UU Darurat No.12/1951 tentang bahan peledak dan senjata api.” Pelanggar UU Darurat ini mendapat ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati, mestinya Pemerintah betul-betul merealisasikannya. Minimal lakukan sosialisasi ke daerah-daerah, seperti Butur karena bisa jadi nelayan tidak tahu adanya larangan itu, “pungkasnya. (emi).


Sumber Kendari Pos Tgl. 16 Januari 2008.

Ketika Polisi Air Gencar Membekuk Pelaku Illegal Fishing

Tanggal : 10 Januari 2008
Sumber : http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=320964


Nekat, Pakai Alat Tangkap dengan Pemberat 100 Kilogram

Nelayan dari negara lain kerap berburu ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Polri pun tak tinggal diam. Melalui Sat Polairud, mereka gencar melakukan operasi penangkapan. Di antaranya di sekitar perairan Tual, Maluku Tenggara. Wartawan Jawa Pos ikut dalam operasi itu.


Naufal Widi A.R., Tual


CUACA di laut Tual, Maluku Tenggara, Minggu (6/1) pagi cukup cerah. Beberapa burung camar terlihat terbang di udara, melintas di atas dermaga Tual. Sesekali burung-burung itu terbang rendah, hampir menyentuh permukaan air laut.

Tak jauh dari tempat tersebut, tepatnya di ujung sebelah barat dermaga, puluhan nelayan setempat berdiri berjajar sekitar 25 meter dari bibir pantai. Mereka sibuk melemparkan jaring untuk menjebak ikan. Hujan yang mulai turun tak memengaruhi mereka.

Hari itu di dermaga Tual terlihat dua kapal sedang parkir dengan kondisi mesin menyala. Satu berbendera Thailand, Pongtif Reefer, dan satunya lagi berbendera Panama, Sutti Reefer.

Dua kapal itu berisi ikan hasil tangkapan dengan total empat ribu ton. Ini adalah sebagian dari hasil tangkapan tim Polri terhadap pelaku illegal fishing di perairan Indonesia Timur.

Masih ada dua kapal tramper lagi, yakni Ocean Empire berbendera Thailand dan Brilliant Reefer dengan bendera Panama. Hanya, keduanya dibiarkan lego jangkar di laut dengan pengawasan Polair (polisi air) Polda Maluku.

Ikan-ikan hasil illegal fishing tersebut didapat dari sepuluh kapal penangkap ikan yang juga disita Polri. Mereka adalah kapal-kapal yang beroperasi di perairan Tual dan perairan Benjina. Semua kapal tersebut berbendera Indonesia dengan ABK (anak buah kapal) didominasi warga Thailand. Total ABK dari kapal tramper dan kapal penangkap sebanyak 326 orang, terdiri atas 306 asal Thailand, 18 (Indonesia), dan 2 (Myanmar).

Dalam sekali penangkapan di perairan lepas, setiap kapal bisa mengangkut 250 ton ikan. Bandingkan dengan yang didapat nelayan lokal! Dengan jaring, mereka hanya bisa mengumpulkan ikan dalam hitungan ratusan kilogram. Itu pun dengan ukuran ikan yang tidak besar.

Perairan Indonesia memang menyimpan potensi kekayaan yang menjadi surga bagi nelayan. Beberapa wartawan, termasuk Jawa Pos, yang tergabung dalam rombongan Bareskrim Polri saat meninjau barang bukti di dermaga Tual berkesempatan mendengarkan pengakuan langsung para nelayan asing itu. Mereka menganggap perairan Indonesia sebagai penghasil ikan dengan kualitas terbaik. "Varian ikannya juga banyak. Semua jenis ikan ada di Indonesia," ujar Sontaya, nakhoda kapal Antasena 815, salah satu kapal penangkap ikan.

Sontaya yang berbicara dengan bahasa Thailand dan diterjemahkan oleh seorang anggota Polri itu bahkan tanpa malu menyebutkan bisa mengambil ikan di laut Indonesia dengan sesuka hati. "Semua ikannya bisa diambil," tutur pria 38 tahun itu.

Saking bebasnya, para nelayan asing bahkan tinggal memasang alat penangkap ikan (trawl/pukat harimau) yang sudah diberi pemberat. Karena pemberat itulah, trawl bisa menjangkau ikan-ikan di laut dalam. "Tinggal tunggu (jaring) penuh, kemudian diangkat," ujarnya enteng. Alhasil, tidak sedikit hiu dan gurita yang ikut masuk dalam perangkap nelayan asing itu.

Kyosie, nelayan berkebangsaan Myanmar, menambahkan, Indonesia memang menjadi tujuannya melaut. "Melaut ikan di sini adalah pilihan kami untuk mendapatkan tangkapan ikan. Saya tertarik dengan ikan dengan kualitas bagus," katanya. Dia mengaku sering beroperasi di laut Arafuru. Dengan lama melaut 30 hingga 60 hari, kapalnya bisa menyuplai kapal tramper maksimal seribu ton.

Kapal-kapal tersebut sebenarnya bukan tanpa izin untuk melaut di perairan Indonesia. Hanya, terdapat pelanggaran dari izin yang mereka miliki. Dari catatan Bareskrim Polri, beberapa pelanggaran tersebut di antaranya penggandaan perizinan (satu izin untuk beberapa kapal), alat tangkap yang tidak sesuai surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan penangkapan ikan di luar fishing ground (daerah tangkapan) dalam SIPI. Tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Keterlibatan oknum Departemen Kelautan Perikanan (DKP) ditengarai turut berperan dalam praktik illegal fishing itu. Hal itu juga diakui Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi di Mabes Polri pekan lalu. Namun, tim Polri belum menyentuh oknum tersebut. "Kita belum sampai ke sana. Kita proses dulu para tersangka ini," ujar Kapolres Maluku Tenggara AKBP Ony Budyo. Dia mengaku tengah memproses berkas perkara illegal fishing dengan tersangka 14 nakhoda dan 14 kepala kapal mesin. "Semuanya warga Thailand," imbuhnya.

Wakil Direktur V Tipiter Bareskrim Polri Kombespol Sadar Sebayang mengungkapkan, pelanggaran paling kentara adalah penggunaan pemberat dalam jaring. Pemberat berupa besi tersebut bisa mencapai 100 kilogram. "Jadinya, begitu masuk air, bisa mencapai dasar," kata Sadar.

Selain itu, lanjut dia, penggunaan jaring dengan ukuran lubang kurang dari lima sentimeter menyebabkan terangkutnya ikan-ikan kecil.(kum)

Jelang Imlek, Pemboman Ikan Beraksi


Tanggal :
09 Januari 2008
Sumber : http://batampos.co.id/Jelang-Imlek-Pemboman-Ikan-Beraksi.html

LINGGA (BP) – Menjelang tahun baru China atau Imlek, pemboman ikan di kawasan Kecamatan Senayang biasanya muncul. Maka itu semua pihak terkait supaya siaga mencegah kegiatan yang dapat merusak lingkungan, khususnya terumbu karang.

Munculnya pemboman ikan menjelang Imlek karena ikan memang banyak keluar setelah dihantam gelombang dan angin kuat. Di samping itu harga ikan juga mahal. Dua faktor ini menjadi daya tarik sebagian orang untuk menangkap ikan menggunakan bom

Tokoh masyarakat Kecamatan Senayang asal Desa Mensanak, Saidun mengatakan, salah satu daerah yang menjadi sasaran pemboman adalah peraian Desa Mensanak karena desa ini memang jauh dari pengawasan aparat.

Hal sama dikatakan seorang fasilisator pemberdayaan masyarakat dari LSM Benaung dalam program Coremap, Joki. Menurut Joki dari informasi yang dihimpunnya dari masyarakat mengatakan, kegiatan bom ikan selalu muncul bisa musti hari raya China.

Karena disamping ikan banyak dan harganya mahal, aparat terkait juga tidak banyak melakukan patroli pada daerah-daerah yang terpencil itu. ”Maunya ada aparat yang memantau kondisi di lapangan pada musim-musim hari raya China agar orang takut melakukan pemboman,” sahut Joki.

Masyarakat Mensanak menurut pengakuan Saidun, pernah melakukan pembakaran motor pompong pembom ketika berhasil di tangkap.


Illegal Fishing Diduga Libatkan Sindikat Antar Provinsi


Tanggal : 09 Januari 2008

Sumber : http://www.waspada.co.id/Berita/Aceh/Illegal-Fishing-Diduga-Libatkan-Sindikat-Antar-Provinsi.html


Pemboman ikan dan illegal fishing yang marak di perairan Aceh Singkil dua bulan terakhir diduga melibatkan sindikat nelayan antar provinsi.

Dugaan keterlibatan kelompok sindikat nelayan antar provinsi bermain di perairan Kabupaten Aceh Singkil tersebut diprediksi terkait mata rantai pasokan bahan kimia yang digunakan untuk pemboman ikan menggunakan jalur laut.

Boatboat nelayan berasal dari luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menggunakan peralatan lebih modern dibanding nelayan lokal dan menjadikan kawasan perairan Aceh Singkil sebagai daerah operasional mereka, diduga kerap melakukan pemboman ikan pada waktu-waktu tertentu, sebut seorang warga Singkil.

Kadis Perikanan dan Kelautan Aceh Singkil Drs. Saiful Umar saat ditanya wartawan, Senin (7/1) di Singkil, tentang pemboman ikan dan illegal fishing lainnya yang disebutkan marak belakangan ini, mengatakan, pihaknya sedang melakukan penjajakan di lapangan. "Sejauh ini belum diketahui oknum atau kelompok nelayan yang melakukan kegiatan pemboman ikan di sana," kata Saiful Umar.

Sebelumnya Kapolres Aceh Singkil AKBP Arief Pujianto di penghujung 2007 saat ditanya wartawan, tentang kegiatan illegal fishing di kawasan kecamatan Pulau Banyak, menyebutkan pihaknya akan segera melakukan upaya penegakan hukum.

Karang Dan Pasir Pantai
Informasi yang dihimpun Waspada di Singkil, selain kegiatan illegal fishing, penggunaan batu karang dan pasir laut sebagai bahan material pengerjaan proyek pemerintah di Kecamatan Pulau Banyak akan mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan di kawasan konservasi tersebut.

Sejumlah paket proyek pemerintah, baik bersumber dari dana provinsi maupun kabupaten banyak memakai karang dan pasir laut pantai sebagai bahan material dalam pengerjaan proyek, padahal pemerintah melarang pemakaian batu karang sebagai bahan untuk pengerjaan paket proyek milik pemerintah.

Untuk mengantisipasi pemakaian material terlarang, pemerintah di sana membuat keputusan perbedaan harga bahan material di kawasan kepulauan dan daratan.

Laut Arafuru Surga Illegal Fishing

Tanggal : 8 Januari 2008
Sumber : http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/12320/297/


TUAL, BPOST - Lautan Indonesia dikenal sebagai surga bagi ikan-ikan. Salah satu laut penghasil ikan terbesar adalah Laut Arafuru. Tak perlu heran, pengakuan ini muncul dari para pelaku penangkapan ikan ilegal yang ditangkap.


"Saya senang ke sini (laut Arafuru), karena mutu ikannya terbaik di dunia," kata nakhoda kapal Antasena 815, Sontaya yang juga menjadi tersangka pelaku illegal fishing di atas Kapal MV Pongtif Reefer, di Pelabuhan Maritim Timur Jaya, Tual, Maluku Tenggara, Minggu (6/1).


Warga negara Thailand berusia 38 tahun ini mangaku sekali melaut sekitar dua bulan, kapalnya bisa menjaring tiga ribu ton ikan. "Semua jenis ikan ada, dan semuanya diambil," ujar Sontaya dengan bahasa Thai yang diterjemahkan.


Pernyataan Sontaya diamini tersangka lainnya, Kyisoe (50), warga Myanmar ini mengungkapkan kalau dirinya tergiur akan mutu dan variasi jenis ikan di Laut Arafuru.


"Kami tidak memiliki target tangkapan, sekali jaring penuh, langsung diangkat. Rata-rata bisa menjaring 1.800 ton ikan," jelas Kyosie yang fasih berbahasa Inggris.


Sedang Wakil Direktur V Tipiter Mabes Polri Kombes Pol Sadar Sebayang menambahkan, para pelaku ini ditangkap karena dalam kegiatannya menggunakan jaring yang tidak sesuai prosedur.


Seperti antara lain ukuran mata jaring kurang dari lima centimeter, ukuran jaring yang sampai ke dasar laut, menggunakan besi pemberat, dan menangkap ikan yang tidak sesuai izin.


"Mereka juga seharusnya melaporkan hasil tangkapannya dan mengolah ikan-ikan itu sebelum dikirim ke negaranya. Tapi mereka tidak melaporkannnya, hasil tangkapan juga langsung dikirim ke negaranya," ujarnya.


Dia menambahkan barang bukti sekitar enam ribu ton ikan disimpan di gudang milik PT Maritim Timur Jaya yang juga dikenal sebagai perusahaan milik pengusaha Tomy Winata.


Ikan-ikan itu disimpan di lemari pendingin minus 18 derajat celcius."Biaya penyimpanan kami tanggung sendiri, satu hari itu sewanya Rp 58 juta," akunya.