Revitalisasi Perikanan dan Pemberantasan Perikanan Ilegal


Tanggal : 27 Desember 2007
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/27/revitalisasi-perikanan-dan-pemberantasan-perikanan-ilegal/


Revitaslisasi perikanan yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY (11/06/2005) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan, khususnya nelayan. Namun demikian gerakan semacam ini bukan hal baru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dari periode ke periode kepemerintahan gerakan semacam ini telah mengalami berbagai perubahan nama, akan tetapi kesejahteraan nelayan tetap saja belum mengalami perubahan. Misalnya pada periode pemerintahan sebelumnya gerakan ini dikenal dengan protekan 2003 dan gerbang mina bahari.


Kegagalan berbagai gerakan tersebut selama ini disebabkan oleh kurangnya keseriusan pemerintah dalam melaksanakan gerakan tersebut. Selama ini berebagai gerakan tersebut hanya dijadikan ”jargon” pemerintah dalam ”meninabobokan” masyarakat miskin, khususnya nelayan. Salah satu ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan gerakan tersebut dapat dilihat dari masih maraknya kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia. Padahal illegal fishing tersebut merupakan salah satu kunci suksesnya gerakan peningkatan kesejahteraan nelayan tersebut.


Misalnya target revitalisasi perikanan tersebut adalah peningkatan produksi perikanan perikanan sekitar 9 juta ton per tahun. Target ini sama saja dengan target gerbang mina bahari dan protekan 2003. Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan produksi perikanan tangkap indonesia saat ini mencapai 4,4 juta ton per tahun. Sementara itu menurut laporan FAO tahun 2001 Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar 2,3-4 milyar dolar AS. Artinya apabila sumberdaya ikan yang dicuri tersebut dapat dimanfaatkan oleh kapal-kapal perikanan nasional maka produksi perikanan laut dapat meningkat sampai 5,9 juta ton per tahun atau sekitar 92,19 persen dari potensi sumberdaya ikan laut Indonesia (6,4 juta ton per tahun). Dengan demikian potensi sumberdaya ikan di perairan indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh kapal perikanan nasional.


Selain itu juga apabila sumberdaya ikan yang dicuri tersebut dimanfaatkan oleh armada penangkapan nasional maka sedikitnya dapat menghidupi bahan baku industri-industri pengolahan hasil perikanan, misalnya industri pengalengan tuna. Karena umumnya sumberdaya ikan yang dicuri dari perairan indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Misalnya setiap industri pengalengan ikan tuna umumnya memerlukan bahan baku perhari minimalnya sekitar 80 ? 100 ton atau sekitar 28.000 ? 36.000 ton per tahun maka sumberdaya ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi sekitar 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.


Dengan demikian target revitalisasi perikanan untuk membangkitkan industri pengolahan ikan akan terlaksana dengan baik. Selain itu juga kekhawatiran para pemilik industri pengalengan ikan tuna yang ada saat ini terhadap kekurangan bahan baku dapat diminimalisir.


Menurut catatan Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi karena kekurangan bahan baku. Di Sulawesi Utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna.


Selain itu juga pemberantasan illegal fishing tersebut akan sangat berdampak positif terhadap pencapaikan target revitalisasi perikanan lainnya seperti pertama, peningkatan devisa ekspor. Selama ini praktek illegal fishing tersebut telah mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional dan pembayaran uang pandu pelahuhan. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini juga berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, di mana jika aktivitas pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan ekspor (atau pendapatan pelabuhan).


Kedua, penyerapan tenaga kerja, illegal fishing selama ini telah mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Ketiga, peningkatan konsumsi ikan masyarakat dan peningkatan pendapatan nelayan. Maraknya illegal fishing akan mengancam pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal dan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional.


Hal ini akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat. Selain itu juga praktek illegal fishing selama ini telah mengancam keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan, nelayan asing selain melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.


Memberantas Illegal Fishing


Dengan melihat pentingya pemberantasan illegal fishing terhadap pencapaikan target revitalisasi perikanan maka hendaknya pemerintah saat ini untuk merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani illegal fishing tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani illegal fishing tersebut, yaitu pertama, mempercepat pembentukan keputusan presiden (Keppres) illegal fishing yang saat ini masih dipersiapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Keppres tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam memberantas illegal fishing di perairan Indonesia. Namun demikian keberadaan keppres tersebut hendaknya diikuti dengan adanya penegakan hukum yang tegas dan berpihak kepada kepentingan nasional.


Kedua, peningkatan kesadaran dan kerjasama antar seluruh stakeholders perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktek illegal fishing. Hal ini perlu dilakukan karena praktek illegal fishing selama ini banyak dilakukan oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memberantas KKN dalam penurusan ijin penangkapan ikan.


Ketiga, peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Dengan meningkatkan peran ini Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sangsi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Dengan menerapkan kebijakan anti illegal fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Kerjasama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya operasional MCS sehingga joint operation untuk VMS (Vessel Monitoring Systems) misalnya dapat dilakukan.


Hemat penulis pemberantasan praktek illegal fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya pemerintah dan stakeholders perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerjasama untuk memberantas praktek illegal tersebut. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan maka revitalisasi perikanan hanya akan sebagai jargon saja. Sudah saatnya potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia untuk dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat Indonesia sendiri.


Tak Habisnya Ikan Dijarah

Tanggal : 20 Desember 2007
Sumber : http://www.gatra.com/2008-01-06/


Sebanyak 14 kapal ikan Thailand diamankan karena melakukan illegal fishing di perairan Arafura. Tiap-tiap kapal tersebut meraup berbagai jenis ikan berkualitas sebanyak lebih dari 500 ton. Para master dan nakhoda ke-14 kapal Thailand itu menggandakan dokumen "aspal" alias asli tapi palsu. Antara lain, surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang dikeluarkan oknum pejabat setempat. Setelah digandakan, kemudian dibagikan ke seluruh kapal armadanya, seolah-olah SIPI resmi. Biasanya, satu surat digandakan untuk 10-15 kapal. Padahal, dokumen itu tidak sesuai dengan fakta fisik kapalnya. Buntut hasil laut yang dikuras nelayan asing itu, sebagian nelayan Tual yang berizin resmi jadi lebih sering menganggur. Mereka enggan melaut lantaran kerap tak membawa pulang tangkapan. Tempat pelelangan ikan pun sepi pengunjung. Meski perizinan melaut telah diperketat, praktek illegal fishing terus merajalela. Yang beraksi bukan saja kapal asing tanpa izin. Yang berizin pun kerap tidak taat asas.

Polri Kerjasama KBRI Bangkok Usut Kejahatan Perikanan

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/12/17/polri-kerjasama-kbri-bangkok-usut-kejahatan-perikanan/

Bangkok (ANTARA News) - Tim Bareskrim Mabes Polri bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI di Bangkok untuk mengusut kejahatan perikanan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan dan pengusaha perikanan di perairan Maluku Tenggara.

Tim yang dipimpin oleh Kombes Pol Deddy Fauzi itu melakukan pertemuan dengan Duta Besar Indonesia di Bangkok, Ibrahim Yunus Senin.

Juru bicara tim Mabes Polri, Kombes Pol Bambang Kuncoko mengatakan, dalam pertemuan itu, Polri telah mendapatkan informasi penting terkait aksi pencurian ikan besar-besaran di perairan Tual dan Benjina, Maluku Utara.

"Kami mendapatkan beberapa dokumen yang sangat penting dan diyakini dapat mengungkap kasus illegal fishing yang telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini," kata Bambang Kuncoko.

Ibrahim Yunus mengatakan, kejahatan perikanan telah menjadi pembicaraan antara pemerintah RI dengan Thailand sejak awal tahun 2000-an.

"Awalnya nelayan Thailand boleh melakukan kerja sama penangkapan ikan di Indonesia namun kini sudah tidak boleh lagi dan harus berbentuk kerja sama investasi," katanya.

Mabes Polri menangkap 17 kapal di perairan Benjina dan Tual serta menahan 11 orang yang terdiri atas delapan warga negara Thailand, dua warga negara Jerman dan satu warga negara Indonesia. Kini, para tersangka dan barang bukti ditahan di Mapolres Tual.

Tidak hanya kapal yang mencari ikan yang tertangkap, karena polisi juga menangkap kapal yang berfungsi sebagai pengepul bagi kapal- kapal penangkap ikan.

Kapal pengepul ikan langsung pulang ke Thailand dan tidak mengolahnya di daratan Indonesia sebagaimana mestinya.

Polisi menangkap para tersangka karena melanggar UU No 31 tahun 2005 tentang perikanan antara lain menggunakan pukat harimau, langsung mengekspor ikan dan pemalsuan dokumen.

Tidak hanya pidana perikanan, polisi juga akan menjerat para cukong ikan dengan pidana pencucian uang sebab hasil pencurian ikan telah masuk ke bank lalu dipakai untuk membeli kapal.

Polisi juga menemukan dokumen adanya kapal Thailand yang beroperasi di Indonesia sehingga hal itu perlu diklarifikasi dengan mengirimkan tim ke negeri "Gajah Putih" ini.

"Saat ini tim Mabes Polri terus mendalami berbagai pihak yang terkait dengan kejahatan perikanan itu baik dalam maupun luar negeri yang selama ini menyangkut perizinan, pengelolaan perikanan," kata Bambang.

Polisi Tangkap Tujuh Kapal Thailand


Tanggal : 15 Desember 2007

Sumber : http://pab-indonesia.com/web/content/view/5429/57/


Ambon, PAB-Indonesia

Tujuh kapal penangkap ikan berbendara Thailand hingga Rabu masih diamankan di dermaga Polairud Tual, Maluku Tenggara. Ketujuh kapal beserta puluhan awaknya yang tidak dilengkapi dokumen resmi itu ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri 26 Nopember lalu ketika mereka beroperasi di perairan Maluku Tenggara.

Kabid Humas Polda Maluku, AKBP Djoko Susilo, di Ambon mengatakan, sudah 20 awak kapal yang dimintai keterangan sebagai saksi dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka pencurian ikan di Indonesia.


Kemungkinan saksi bisa bertambah karena 20 orang itu barulah sebagian dari ABK dari tujuh kapal penangkap ikan yang diduga melakukan pencurian ikan atau "illegal fishing".


Djoko belum memastikan kapan kasus ini ditangani Polda Maluku atau dilimpahkan ke Mabes Polri. "Sekiranya diserahkan ke Polda Maluku, maka pasti dikembangkan penyelidikan hingga penyidikan sesuai ketentuan hukum," tambahnya.


Djoko menepis kabar beredar yang menyebut telah terjadi kontak senjata dalam pengejaran terhadap tujuh kapal Thailand itu. "Itu isu yang tidak benar karena saat pengejaran dan berhasil ditangkap ternyata ABK dari tujuh kapal itu tidak melawan, selanjutnya digiring ke Tual," katanya


Kabupaten Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru merupakan basis kegiatan penangkapan ikan oleh ribuan dari kapal dalam dan luar negeri sehingga rawan praktik illegal fishing. Aparat penegak hukum tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan fasilitas pengawasan.


Kaltim Kehilangan Rp 20 M Akibat Pencurian Ikan di Perairan Kaltim


Tanggal : 15 Desember 2007

Sumber : http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TL0A4UG9UOF0JSNSL

SAMARINDA – Aktivitas pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah perairan Kaltim yang dilakukan nelayan asing, terus terjadi. Akibatnya, daerah ini harus menanggung kerugian yang tidak sedikit, yakni, diperkirakan Rp 20 miliar per tahun. Karena rata-rata ikan yang dicuri itu nilainya bisa mencapai Rp 200 juta per bulan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim M Khaerani Saleh menyampaikan, wilayah yang kerap dijadikan ajang pencurian ikan adalah perairan Ambalat, dekat dengan perbatasan negara tetangga Malaysia.

“Terkadang kapal itu memang berbendera Indonesia. Tapi ketika dicek, ternyata kapal itu banyak dimodali cukong dari Malaysia,” ujarnya. Meski status kapal dan peralatannya adalah milik cukong Malaysia, tak sedikit awak kapalnya adalah warga Kaltim yang tinggal di perbatasan. Hasil tangkapan ikan itu pun dijual ke Malaysia. Sementara, upaya mengantisipasi pencurian ikan belum bisa maksimal akibat kurangnya personel dan sarana pendukung lainnya.

Diakui, nelayan lokal tidak akan mampu bersaing dengan nelayan asing. Sebab kapasitas kapal yang dimiliki nelayan lokal rata-rata di bawah 10 Gross Tonase (GT), sehingga tidak melakukan penangkapan ikan di perairan laut dalam.

“Ikan Kaltim banyak dicuri nelayan Malaysia, Taiwan, Filipina, bahkan China, dengan alat tangkap trawl (pukat harimau). Mereka menggunakan kapal berkapasitas paling kecil 30 GT. Sehingga bisa mengambil ikan di perairan Kaltim yang berbatasan langsung dengan Malaysia,” ujarnya.

Illegal fishing ini memang menjadi persoalan, yang hingga kini masih diupayakan untuk ditanggulangi. Kendati demikian, pengawasan di wilayah tersebut tetap dilakukan dengan berbagai keterbatasan armada yang dimiliki.

“Namun, keterbatasan yang dialami bukan menjadi alasan untuk meloloskan illegal fishing, sebab tindakan itu tak bisa ditoleransi, karena sangat merugikan negara, baik dalam soal finansial maupun pelanggaran kedaulatan wilayah negara,” ujarnya.

ILLEGAL FISHING, Polri Selamatkan Triliunan Rupiah Uang Negara

Tanggal :12 Desember 2007
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188445

JAKARTA (Suara Karya): Triliunan rupiah uang negara dapat diselamatkan melalui operasi illegal fishing yang digelar Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri di Laut Arafura, Maluku. Pasalnya, kegiatan ilegal itu sudah berlangsung lebih dari tiga tahun.

Dalam operasi yang digelar di wilayah Tual, Dobo, dan Benjina, Maluku Tenggara (Malra), sejak akhir November hingga awal Desember 2007, polisi menangkap 18 tersangka dan mengamankan 14 kapal yang terdiri dari empat unit kapal tramper atau pengangkut dan 10 unit kapal penangkap ikan.

Selain itu, ribuan ton ikan hasil tangkapan dan alat tangkap berupa trawl atau jaring ikan berbagai ukuran kini diamankan polisi. "Berbagai jenis ikan sedang kita hitung," kata Direktur Tipiter Bareskrim Polri Brigjen Pol Hadiatmoko kepada wartawan di Mabes Polri, Selasa (11/12).

Mengenai kerugian negara, sejauh ini Hadiatmoko belum bisa memastikan. Namun ia memberi gambaran, satu kapal pencari ikan memiliki bobot hingga 400 gross ton (GT) dan sebuah kapal penampung seberat 1.750 GT. Muatan ikan sebanyak itu seluruhnya hasil laut kita yang dicuri setiap hari oleh ratusan kapal. "Jumlahnya sangat banyak, bisa mencapai triliunan," katanya.

Dia menambahkan, illegal fishing ini dilakukan tiga perusahaan besar yang bermarkas di Jakarta, yaitu PT BBM, PT MJB, dan PT PBR. Perusahaan-perusahaan itu membeli kapal penampung dari Thailand dan selanjutnya memakai bendera RI sesuai aturan yang ditetapkan. "Kita sedang menyelidiki lebih jauh ketiga perusahaan itu," katanya.


Modus kegiatan pencurian ikan ini, menurut Hadiatmoko, pelaku sengaja memalsukan dokumen kapal dengan cara mengubah data dalam surat perizinan sehingga tidak sesuai dengan fakta fisik kapal. "Pelaku juga menggandakan perizinan, yaitu satu surat izin digunakan untuk beberapa kapal sekaligus," katanya.

Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), penangkapan ikan di luar fishing ground dalam SIPI, melakukan ekspor ikan di tengah laut tanpa dokumen ekspor, dan mengubah kapasitas muat dan beban kapal.


Kapal-kapal penampung ikan yang dibeli dari Thailand ini selanjutnya dioperasikan nelayan Thailand sebagai kapten kapal dan nakhoda, sedang anak buah kapal (ABK) seluruhnya warga negara Indonesia. Dari 18 orang yang ditahan, 17 di antaranya WN Thailand, sedangkan satu orang lainnya WN Indonesia. Para pelaku selanjutnya dijerat Pasal 85 jo Pasal 101 UU 31/2004 tentang Perikanan. (Joko Sriyono)

Pemboman Ikan Masih Marak di Papua Barat


Tanggal : 07 December 2007
Sumber : http://www.elshampapua.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2

Jayapura, Kamis--Hingga kini kegiatan pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia seperti potasium masih marak terjadi di perairan Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat sehingga menyebabkan berbagai biota laut dan terumbu karang di wilayah perairan tersebut terancam punah.

"Kami mengakui bahwa kegiatan pemboman ikan oleh banyak nelayan di perairan Wondama masih marak sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi kepunahan terumbu karang di wilayah ini," kata Kepala Seksi Budidaya Laut Dinas Perikanan Manokwari, Matias Baru,SH di Manokwari, Kamis.

Dia mengakui kalau kegiatan pemboman ikan tersebut banyak dilakukan para nelayan yang berdatangan dari wilayah Manokwari dan Nabire sehingga dibutuhkan kerjasama lintas sektoral untuk mengatasi permasalahan yang krusial ini.

Kerjasama tersebut antara lain antara Dinas Perikanan antarkabupaten, polisi, dinas perhubungan dan TNI Angkatan Laut yang dikenal memiliki peralatan canggih untuk mendeteksi berbagai kegiatan ilegal di wilayah perairan yang sangat luas itu.

Menurut dia, penggunaan bahan-bahan kimia potasium dan pestisida dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Wondama telah mengancam kelestarian lingkungan di perairan tersebut.

Matias mengatakan, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Manokwari terus berupaya mengurangi sampai memberantas habis kegiatan pemboman ikan tersebut khususnya wilayah perbatasan Teluk Wondama- Manokwari.

"Begitu banyak nelayan berdatangan ke wilayah perairan Teluk Wondama karena wilayah ini sejak dulu dikenal sebagai surga bagi ikan dan biota laut lainnya. Namun patut disayangkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan sering
menggunakan bahan kimia yang merusak terumbu karang," katanya.

Tentang upaya pihak dinas perikanan meningkatkan kesejahteraan para nelayan di Teluk Wondama, dia mengatakan, instansi ini telah membentuk sejumlah koperasi nelayan di tujuh distrik khususnya 56 jampung yang terdapat di Wondama.

Melalui koperasi, para nelayan dapat langsung menjual hasil tangkapan mereka dan setelah dijual mereka pun segera kemabli ke laut untuk mencari nafkah hidup di laut.

Melalui lembaga koperasi nelayan inilah, dinas perikanan memberikan penyuluhan kepada para nelayan agar mereka tidak menggunakan bahan-bahan kimia dalam melakukan penangkapan ikan di perairan Teluk Wondama dan sekitarnya.

Source: Kompas

Kapal Motor Tidak Ada, Kekayaan Laut Nisel Setiap Hari Terancam”Illegal Fishing”

Tanggal : 5 Desember 2007
Sumber : http://niasbarat.wordpress.com/2007/12/05/kapal-motor-tidak-ada-kekayaan-laut-nisel-setiap
-hari-terancam%e2%80%9dillegal-fishing%e2%80%9d/


Pantai Nias Selatan (Nisel) yang terkenal indah dan kaya dengan berbagai sumber daya alam, seperti berbagai jenis ikan, rumput laut, setiap hari terancam penjarahan yang dilakukan oleh nelayan asing yang beroperasi secara ilegal. Sementara Pemda Nisel tak dapat berbuat banyak menghadapi para pelaku “illegal fishing” itu karena tidak mempunyai sarana kapal motor patroli untuk mengawasi dan menjaga pantai yang kaya itu.

“Kita hanya bisa menjaganya dengan doa,” kata Plt Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Nisel Drs Samolala Lase kepada wartawan ketika ditanyai soal penjagaan kekayaan laut Nisel itu, Sabtu (1/12) di Medan, sepulang dari acara Sosialisasi DAK Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2008 Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Hotel Redtop Jakarta bersama Kepala Bidang Program Dinas Perikanan dan Kelautan Nisel Alamin Sarumaha SPd.

Dikatakan, karena tidak adanya sarana pengawasan pihaknya mengalami kesulitan melakukan penjagaan di sepanjang pantai. Karena itu, maka dalam berbagai kesempatan dia bersama Bupati Nisel F Laia SH MH terus mengupayakan pengadaan kapal tersebut.

Menurut Alamin Sarumaha SPd, tahun anggaran 2008 pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyediakan kapal motor patroli itu. “Kita usulkan saat acara Sosialisasi DAK Bidang Kelautan dan Perikanan tahun 2008 DKP,” kata Alamin.

Sementara Drs Samolala Lase mengatakan pada pertemuan itu, untuk tahun 2008, pemerintah pusat telah menyetujui Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Nisel dari DKP Rp 3.218.000.000. Dana itu akan digunakan antara lain, membiaya kegiatan pembangunan tangkahan, pengadaan kapal motor 5 Gt lengkap dengan alat tangkapnya, pengadaan alat budi daya rumput laut dan pengadaan listrik tenaga surya di Kecamatan Pulau-Pulau Batu dan Kecamatan Hibala.

Sedangkan untuk tahun 2009, kata Alamin Sarumaha pihaknya telah mengajukan usulan pembangunan Balai Benih Ikan Laut senilai Rp 15.600.000.000,- kepada pemerintah pusat. Tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan itu adalah, memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan menambah pendapatan asli daerah (PAD).

Sedangkan pada tahun anggaran 2008 DKP telah menyediakan dana dalam kegiatan program COREMAP II ( Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II) Nisel Rp 3.526.000.000,- dari dana Loan ADB dan anggaran penunjang dari APBD sebanyak Rp 705.200.000,- untuk penyelamatan terumbu karang di Nisel.