Sosialisasi “Illegal Fishing” Justru Perburuk Keadaan


Tanggal : 29 November 2007
Sumber : http://beritasore.com/2007/11/29/sosialisasi-illegal-fishing-justru-perburuk-keadaan/


Kupang ( Berita ) : Sosialisasi “illegal fishing” yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia melalui Duta Besarnya di Jakarta, Bill Farmer justru memperburuk keadaan yang terlihat dari membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan di wilayah perairan tersebut.


“Ini merupakan bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia bahwa program pemberdayaan yang dilakukan Australia melalui sosialisasi ‘illegal fishing’ itu tidak berhasil dan tak ada manfaatnya,” kata pengamat hukum laut internasional, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum di Kupang, Kamis [29/11] .


Dosen hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan penahanan 201 nelayan Indonesia di pusat penahanan (detention center) Darwin, Australia Utara oleh aparat berwenang Australia.


Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar yang menghubungi ANTARA di Canberra dari Brisbane menyebutkan, penahanan terhadap 201 nelayan Indonesia itu atas tuduhan menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan utara negara itu.


“Sesuai dengan catatan KRI Darwin hingga 28 November 2007, jumlah nelayan kita yang sudah ditahan di ‘detention center’ Darwin mencapai 129 orang. Jumlah itu dipastikan meningkat menjadi 201 orang dengan datangnya 72 awak dari delapan kapal yang beberapa hari ini ditangkap kapal patroli Australia,” katanya.


Pihak keamanan Australia menahan para nelayan tersebut atas tuduhan menangkap teripang, hewan laut yang dilindungi di Australia, karena ditemukan 1,1 ton teripang, peralatan selam dan alat tangkap teripang di atas perahu-perahu mereka.


Kantor Bea dan Cukai Australia (ACS) menyebutkan, dalam empat hari terakhir ini, dua kapal patroli ACS yakni “Triton dan Arnhem Bay” telah menangkap 118 nelayan Indonesia dari 12 kapal yang memasuki wilayah perairan Australia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara Australia.


Penangkapan terhadap 118 nelayan Indonesia dalam empat hari terakhir itu, menurut Buchari Hasnil Bakar, memperpanjang deretan kasus “illegal fishing” di Australia setelah pada 21 November lalu, sebanyak 16 orang dari keluarga nelayan asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga memasuki perairan utara negara itu.


Kasus 16 orang, termasuk 10 anak, yang memasuki perairan utara Australia dengan perahu bermotor yang tenggelam di Laut Timor dan kemudian diselamatkan kapal patroli AL Australia itu masih ditangani pihak imigrasi di Pulau Christmas, Australia Barat.


Wetan Songa mengatakan, membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan dan biota laut lainnya yang kemudian dituduh Australia memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal mencerminkan bahwa sosialisasi soal “illegal fishing” di Kupang dan beberapa tempat lainnya di Indonesia Timur, tidak berhasil.


“Kenapa nelayan kita malah tambah nekad untuk mencari ikan di sana, karena di sana adalah lahan kehidupan mereka,” katanya.


Menurut dia, di sinilah Indonesia angkat bicara memperjuangkan hak-hak nelayan Indonesia, bukan sebaliknya berdiam diri dengan menerima tawaran program pemberdayaan dari Australia untuk nelayan Indonesia.


Ia menegaskan, hak-hak nelayan tradisional Indonesia harus dipertahankan sesuai kesepakatan kedua negara (Indonesia-Australia) yang menandatangani MoU BOX pada 1974.


Lempeng Kontinental 1974 atau yang lebih populer dengan sebutan “MoU BOX” itu membolehkan nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef), Cartier Island, Scott Island, Seringapatam dan Browse karena memiliki potensi ikan yang sangat besar.


Hanya, Australia secara sepihak melarang nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di gugusan Pulau Pasir itu sejak 2002 dengan alasan konservasi lingkungan, meski MoU BOX 1974 secara jelas dan tegas mengatur tentang ketentuan menangkap ikan, hak dan kewajiban nelayan serta sejumlah ketentuan lainnya.


Menurut dia, Jakarta harus berbicara dan mendialogkan kembali dengan Australia untuk mempertahankan hak-hak nelayan tradisional Indonesia seperti yang digariskan dalam MoU BOX 1974.


“Aturan apapun yang diberlakukan Australia, nelayan kita tetap berlayar ke sana karena di sanalah ladang kehidupan mereka sejak dari dahulu kala. Ini pertanda buruk bahwa sosialiasi tentang ‘ilegal fishing’ itu justru menjadi bumerang bagi Australia sendiri,” kata Wetan Songa.


Radio Australia (ABC) melaporkan bahwa membanjirnya nelayan Indonesia dan nelayan-nelayan asing ke wilayah perairan tersebut sebagai dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing”.


Menteri Perikanan Australia semasa pemerintahan PM John Howard, Eric Abetz, sebagaimana dilaporkan ABC, menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing” tersebut.


Abetz mengatakan, bukan urusannya lagi jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumber daya perikanan Australia, sekalipun Canberra sudah mengalokasikan dana 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya.


“Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan utara Australia hingga 90 persen. Tetapi, sekarang bukan urusan saya lagi jika para nelayan Indonesia tidak bisa lagi menjarah sumber daya perikanan Australia,” kata Abetz seperti dikutip ABC.


Seorang peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia, Dr Meryl J Williams dalam sebuah studinya yang dipublikasikan Lembaga Kajian Kebijakan Internasional (Lowy Institute), merekomendasikan kepada Australia untuk melakukan perubahan tepat terhadap pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia terhadap sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU BOX 1974.


Williams juga meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisian pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU BoX 1974 itu.

Tiga Perairan Jadi Prioritas Pemberantasan Illegal Fishing

Tanggal : 28 November 2007
Sumber : http://www.gatra.com/2007-12-09/artikel.php?id=109883


Tiga perairan kawasan penangkapan ikan di Indonesia yakni Laut Arafura, Laut Natuna dan perairan utara Sulawesi Utara, akan dijadikan prioritas pemberantasan illegal fishing atau praktek penangkan ikan secara ilegal.


Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso, di Jakarta, Selasa (27/11), menyatakan, pihaknya akan melakukan pemberantasan illegal fishing secara besar-besaran baik secara skala, intensitas maupun caranya.


"Target pemberantasan illegal fishing sebenarnya seluruh wilayah Indonesia namun ketiga kawasan itu mendapatkan prioritas," katanya.


Pembarantasan praktek illegal fishing secara besar-besaran di ketiga perairan itu, tambahnya, akan dilakukan secara kerjasama dengan instansi di luar Departemen Kelautan dan Perikanan seperti TNI Angkatan Laut.


Aji Sularso mengatakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan mampu menekan tingkat penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) di perairan Indonesia sebesar 20 persen per tahun.


"Saat ini terjadi perebutan penangkapan ikan antara kapal yang legal dengan yang tidak legal karena maraknya illegal fishing," katanya.


Jika kapal ikan ilegal yang beroperasi di perairan Indonesia diperkirakan mencapai 1.000 unit per tahun, pihaknya menargetkan mampu menekan sedikitnya 200 kapal per tahun.


Saat ini pihaknya memiliki 20 unit kapal pengawas perikanan yang dioperasikan di seluruh perairan Indonesia sehingga setiap unit diharapkan mampu menangkap kapal perikanan ilegal sekitar 10 unit per tahun.


Mengenai dampak pemberantasan illegal fishing terhadap produktivitas kapal penangkap ikan, dia menyatakan, dari penelitian selama 2001 hingga 2005 didapati pada kapal pukat udang di Laut Arafuru terjadi kenaikan hasil tangkapan mencapai 31 persen.


Menyinggung anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menanggulangi praktek penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia, Dirjen P2SDKP mengatakan, pada 2008 pihaknya mendapatkan anggaran sebesar Rp327 miliar dari total anggaran untuk DKP Rp3,2 triliun.


Aji menyatakan, pada tahun 2000 DKP mengalokasikan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk membeli kapal pengawas perikanan yang mana hasilnya mampu menyelamatkan kerugian negara senilai Rp120 miliar dari illegal fishing.


Sedangkan pada 2007, tambahnya, alokasi dana yang disediakan untuk penanggulangan illegal fishing mencapai Rp300 miliar dan mampu menyelamatkan kerugian negara sektiar Rp350 miliar.

Elit Politik Jadi Beking Pencurian Ikan


Tanggal : 26 November 2007

Sumber : http://hariansib.com/2007/11/26/elit-politik-jadi-beking-pencurian-ikan/

Potensi kerugian negara karena ilegal fishing (pencurian ikan) ternyata sangat besar. “Kerugian negara mencapai Rp 40 triliun per tahun,” kata anggota Komisi IV DPR RI Azwar C.

Untuk mencegahnya kata Azwar, pemerintah harus membenahi administrasi perijinan kapal dan memperketat pengawasan laut,” ujarnya di Jakarta.

Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Yoyo Sumiskun menduga merajalelanya pencurian ikan oleh kapal asing itu dilindungi oleh elit politik, dan sudah berlangsung sebelum tahun 2004.

“Kehadiran mereka, (kapal asing, red) ini diduga keras dimanfaatkan oleh elit politik tertentu. Saya katakan ini karena saya pernah ditawari oleh oknum elit politik tersebut untuk ikutan,” ungkap Yoyo di Jakarta.

Hal senada dikemukakan anggota Komisi IV DPR-RI dari Fraksi PPP Rusnain Yahya, menurutnya dalam praktek ilegal fishing, banyak pihak yang “bermain”.

“Kalau sudah bisa menghasilkan keuntungan yang begitu besar, tentu bukan satu pihak saja yang bermain di dalamnya, ada banyak. Sebab itu juga menyangkut soal administrasi dan pengawasan,” tegasnya.

Menanggapi kerugian negara akibat pencurian ikan sampai Rp 40 triliun, Yoyo tidak percaya pernyataan anggota Komisi IV DPR RI Azwar yang menyebut kerugian negara sebesar itu.

“Dari mana dapat angka sebesar itu. Untuk mencapai angka itu dibutuhkan sekitar 10 ribu unit kapal penangkap ikan. Padahal kenyataan di lapangan sejak dikeluarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 tentang larangan kapal ikan asing beroperasi di Indonesia kasus pencurian ikan menurun drastis.

Menurut Yoyo, Kepmen Kelautan dan Perikanan melarang kapal ikan asing beroperasi secara bertahap. Tahap pertama 2005 larangan bagi kapal Filipina, 2006 kapal Thailand, dan tahun 2007 larangan bagi kapal ikan Cina beroperasi di Indonesia.

Sebagai gantinya dikeluarkan Permen Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi asing untuk menanamkan modal pada industri perikanan di Indonesia. “Bagi mereka ini masih diberi kesempatan menangkap ikan untuk kebutuhan industri sendiri,” tambahnya.

Namun, tambahnya, HNSI sudah mengingatkan pemerintah agar industri perikanan asing ini harus diawasi ketat. Jangan sampai hanya dijadikan kedok untuk mencuri ikan.

Apakah pencurian ikan masih berlangsung? Yoyo mengakui masih ada tapi jumlahnya kecil. Contohnya baru-baru ini kita lapor ke DKP masih ada kapal Thailand beroperasi mencuri ikan di Sibolga Sumut.

OPERASI GURITA 03/2007 BERHASIL SELAMATKAN Rp.10,6 MILIAR UANG NEGARA


Tanggal : 20 November 2007

Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=berita&view=1&id=BRT071120160401

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) melalui operasi Gurita 03/2007 yang berlangsung selama dua bulan, antara September - November 2007, berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp10,6 miliar di area wilayah laut Indonesia dengan Malaysia.

Kepala Pelaksanaan Harian Bakorkamla Laksamana Madya TNI Djoko Sumaryono dalam penjelasannya kepada pers di Jakarta, Selasa (20/11), mengatakan dari operasi Gurita tersebut berhasil ditangkap sejumlah kapal penangkapan Ikan illegal dengan nilai sebesar Rp8,65 miliar, Ilegal longing senilai Rp0,5 miliar dan penyelundupan BBM dan perusak lingkungan hidup senilai Rp1,5 miliar.
“Jika kerugian negara itu mencapai sebesar Rp10,6 miliar perhari maka Rp3.86 triliun pertahun uang negara tersebut bisa diselamatkan,” kata Djoko .

Operasi ini dilaksanakan sesuai dengan program kerja Bakorkamla tahun 2007 yaitu melaksanakan operasi keamanan laut bersama dengan pihak instansi terkait, seperti TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan, DKP dan Pengadilan serta pemda melakukan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum meliputi Selat Malaka, laut Natuna, Selat Bangka.

Dari hasil operasi tersebut, ditemukan berapa pelanggaran yang menonjol diantaranya penyelundupan barang antar kapal-kapal terutama di Tanjung Balai Karimun, seperti penyelundupan BBM, pencemaran lingkungan, keimigrasian, aparat lalay terhadap kewajiban jabatan, agen kapal memalsukan data bahan bakan minyak, perizinan tata niaga migas.

Untuk kapal perikanan, ditemukan sejumlah kapal tanpa dokumen izin operasi perikanan, kemudian dari kepabeannya dokumen barang dan muatannya diubah tanda tangan pengamanannya, mamanipulasi ekspor barang.

Operasi Gurita tersebut di dukung sejumlah Kapal Laut seperti KP HIU 009, Kapal pengawas Bea Cukai 7002, KRI Sanca -815, KP Jalak 635 .KN Trisula yang berhasil menangkap sebanyak 94 kapal dan saat ini telah dilakukan penahanan sebanyak 11 kapal dan 7 diantaranya disegel. Sedangkan 17 kapal lainnya telah di dektesi.

Kapal-kapal tersebut diantaranya milik TB Eboni dan TK Sun dengan muatan3.254.09 m3 kayu log, muatan kayu log sebanyak 2.393, 24 m3 milik PT. Rapido dan TK Sun Lion yang melanggar kelebihan muatan dan tidak sesuai dokumen Adhoc ke Adpen Belawan.

KM Lenon dengan muatan kargo kayu, drum solar, yang dinilai telah melanggar UU No.2 Tahun 2007 pasal 53 (b) tentang Minyak dan Gas. Para pelanggar tersebu telah diserahkan ke Dit Polairda Kepulauan Riau. Kapal tangker MT. Unity yang membawa limbah beracun, yang dinilai telah melanggar pasal43 UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup telah diserahkan ke Satpolair Pemangkat.

KLM Selalu Mulia muatan cargo katu 101 GT nihil melanggar peraturan tentang pelayanan dimana kapal tersebut tidak memiliki nahkoda dan ditemukan kapal tersebut telah menyelundupkan kayu ke Kuching Malaysia, kasus tersebut telah diserahkan ke Satpolair Pemangkat.

Ikan Kecil pun Mati

Tanggal : 15 November 2007
Sumber : http://www.tribunkaltim.com/Bontang/Ikan-Kecil-pun-Mati.html

YAYASAN Bina Kelola Lingkungan (Bikal) mendapati masih adanya pemboman ikan di Perairan Bontang, terutama di kawasan Malahing, Tanjung Laut Indah. Menurut Saparuddin, Deputi Direktur Yayasan Bikal mengatakan, aksi pemboman ikan saat ini masih marak terjadi di perairan Bontang. "Bom ikan digunakan karena bisa mendapatkan ikan lebih cepat dan lebih banyak dari penangkapan cara biasa.

Selain bisa membuat terumbu karang hancur, dikhawatirkan juga pemboman ikan akan merusak ekosistem atau kehidupan di bawah laut," ujar Saparuddin, melalui rilisnya, Kamis (15/11). Berdasarkan data yang dikumpulkan Bikal, dalam sehari bisa terdengar dua hingga tiga kali suara bom dan setelah itu banyak ikan kecil yang mati dan menimbulkan aroma tidak sedap.
Bikal mengimbau kepada aparat terkait agar dapat lebih intensif melakukan patroli laut. Bikal juga mengingatkan kepada semua masyarakat khususnya masyarakat pesisir kota Bontang agar dapat melaporkan langsung kepada pihak kepolisian atau pihak terkait lainnya jika melihat ada kegiatan pemboman ikan. Sayangnya, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan M Dahyar belum bisa dihubungi. Saat ponselnya dihubungi, hanya terdengar nada sibuk.

Australia Diminta Lebih Manusiawi Tangani Nelayan Indonesia


Tanggal : 14 November 2007

Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/11/14/aistralia-diminta-lebih-manusiawi-tangani-nelayan-indonesia/

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia meminta Australia agar lebih manusiawi dalam menangani nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang kerap melanggar wilayah laut Negeri Kangguru tersebut.

"Kami sangat menghargai kadaulatan negara dan hukum mereka, tetapi tolong Australia juga lebih manusiawi dalam menangani nelayan kita yang ditangkap," kata Kepala Pelaksanaan Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksamana Madya Djoko Sumaryono di Jakarta, Rabu.

Usai bertemu Komandan Komando Keamanan Perbatasan Australia Laksamana Muda James Goldirk, Djoko mengatakan banyak nelayan tradisional Indonesia tidak paham mengenai aturan hukum internasional, khususnya yang menyangkut perbatasan dua negara.

"Berbahasa Inggris saja mereka tidak bisa, tingkat pendidikan rendah karena mayoritas mereka tinggal di pesisir," ujarnya.

Selain lebih manusiawi, tambah Djoko, Indonesia juga meminta agar Pemerintah Australia bisa memberikan bantuan pengetahuan mengenai proses hukum menyangkut pelanggaran batas wilayah negara.

"Banyak nelayan kita yang tidak tahu mengapa mereka ditangkap, itu karena mereka tidak tahu bahwa pelanggaran wilayah itu juga melanggar hukum. Jadi, ada baiknya jika pemerintah Australia memberikan bantuan hukum yang memadai," katanya menambahkan.

Menanggapi itu, Komandan Komando Keamanan Perbatasan Australia Laksamana Muda James Goldirk mengatakan, sudah ada mekanisme untuk membantu nelayan Indonesia di Australia. "Bahkan kami bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk memastikan para nelayan diperlakukan dengan baik," katanya.

Selain itu, pihaknya sudah memberikan bantuan hukum kepada para nelayan yang memenuhi syarat. "Jadi tidak semua bisa mendapatkan bantuan hukum. Tapi kita selalu melakukan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia mengenai bagaimana kita bisa membantu nelayan," tuturnya.

Godrik mengaku, Australia dan pemerintah Indonesia telah melakukan kampanye untuk mendidik para nelayan mengenai hukum Australia, termasuk tentang perbatasan kedua negara itu.

"Tampaknya itu berjalan dengan sangat sukses. Nyatanya, jumlah nelayan Indonesia yang tertangkap sudah jauh menurun. Dan bila nelayan itu tertangkap, kita akan berusaha mengembalikan nelayan ke Indonesia secepat mungkin. Sementara proses hukum juga masih berjalan," katanya.

Goldrik menambahkan, nelayan yang menjalani tuntutan hukum sangat sedikit sedangkan nelayan yang tidak terkena tuntutan hukum langsung dikembalikan secepatnya ke Indonesia.

Ia mengemukakan, saat ini jumlah nelayan tradisional Indonesia yang melintasi wilayah laut Australia telah berkurang. "Saya tidak tahu persis jumlahnya berapa, tetapi sudah sangat menurun," katanya.

Berdasar data Kedutaan Besar Australia di Indonesia, kapal nelayan berbendera Indonesia yang ditangkap oleh pihak maritim Australia karena dianggap pelanggaran wilayah laut, jumlahnya turun signifikan pada 2007.

Pada 2006, 359 kapal berbendera Indonesia telah ditangkap karena melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Australia, sementara 49 lainnya disita perangkat dan hasil tangkapannya, sedangkan pada 2005 terdapat 279 kapal Indonesia yang ditangkap dan 325 disita.

Sementara hingga 30 April 2007, 26 kapal berbendera Indonesia telah ditangkap atau menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2006, dimana 134 kapal penangkap ikan asing telah ditangkap.

Penurunan signifikan itu dicapai antara lain karena upaya keras yang dilakukan pemerintah Australia untuk mencegah penangkapan ikan ilegal. Pihak maritim Australia baru-baru ini telah menerima tambahan anggaran sebesar Rp2,7 triliun untuk mencegah penangkapan ikan ilegal oleh warga negara asing di perairan Australia, dengan anggaran keseluruhan mencapai Rp3,5 triliun

Pemboman Ikan Marak di Kurolabu

Tanggal : 12 November 2007
Sumber: http://www.buturnews.idrap.or.id/detailBerita.php?ID=122

Ereke, BN. Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom marak dilakukan terjadi di Desa Kurolabu Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Aktifitas ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan luar tetapi juga masyarakat setempat. Seperti yang terjadi pada tanggal 20 Oktober lalu sekitar jam 6 pagi terjadi 3 kali ledakan hanya sekitar 500 meter dari perkampungan. Itu dilakukan oleh masyarakat setempat yang anehnya bukan untuk tujuan komersil melainkan hanya untuk keperluan makan. “Sepanjang yang saya tahu, masyarakat di sini membom ikan hanya untuk konsumsi sendiri, kalaupun dijual tidak keluar tapi masyarakat sini juga yang beli,” kata Ajimuddin, Kordinator Proyek IDRAP di Kurolabu. Meskipun masyarakat mengkonsumsi ikan dari hasil pengeboman, sebagian masyarakat tidak setuju dengan aktifitas terlarang itu. Seorang warga Kurolabu yang mengaku bernama La Aca menegaskan perlunya sikap tegas dari aparat untuk meminimalisir aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom. “Pembina yang ditempatkan di Kurolabu harusnya kejam agar masyarakat takut menggunakan bom,” tandasnya. Seorang warga lainnya yang tidak mau dipublikasikan namanya mengkritik sikap aparat yang terkesan menutup mata terhadap kegiatan pemboman ikan. “Di sini ada personil dari kepolisian (Pospol Kulisusu Utara, red) yang ditugaskan. Tetapi hari-hari kita lihat dia itu hanya mengurus raskin (beras miskin, red) dan terlibat bisnis kayu. Masalah penangkapan ikan dengan bom ini telah diketahui oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Buton Utara. Seorang pegawai honorer DKP Butur yang ditemui ButurNews mengatakan kalau Kurolabu sudah masuk dalam salah satu titik yang akan mendapat perhatian dari DKP, meskipun masih sulit melakukan aktifitas karena belum adanya dukungan dana. “Kurolabu merupakan salah satu titik perhatian Dinas Perikanan meskipun kami belum bisa melakukan apa-apa. Kami belum punya anggaran, mudah-mudahan ketika Butur sudah memiliki Bupati definitif, ini akan cepat direalisasikan,” tutur Ajudin, seorang pegawai kontrak di DKP Butur.

DPR RI Kuatirkan 'Illegal Fishing' di Sulut Meningkat


Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000197498.html


Kapanlagi.com
- DPR RI kuatirkan aksi illegal fishing di perairan Sulawesi Utara (Sulut) terus meningkat dilakukan sejumlah kapal-kapal berbendera asing dengan memalsukan seluruh dokumennya.

"Pemerintah harus mengantisipasi kejadian-kejadian seperti itu, mengingat illegal fishing dilakukan bangsa lain sangat merugikan Indonesia," kata anggota Komisi IV DPR RI, H Idham, Kamis di Manado.


Menurut personil Fraksi PDIP di DPR RI itu, pihaknya pernah melakukan sidak di Pelabuhan Laut Bitung awal tahun 2007, ada tujuh kapal asing ditangkap pihak keamanan Indonesia, karena ditemukan dokumen palsu serta memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan di daerah itu.


"Setiap tahun perairan Sulut selalu alami kerugian hingga triliun rupiah, karena kurangnya armada pengamanan di laut lepas itu, "ujar Idham, saat melakukan kunjungan kerja di Sulut sejak 31 Oktober 2007 hingga 1 November 2007.


DPR RI mengharapkan Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sulut memberikan data secara empirik tentang potensi kelautan di daerah itu, serta hilangnya seluruh sumber daya laut akibat tindakan illegal fishing.


Pemerintah pusat dan DPR RI sedang membahas kajian undang-undang tentang kelautan dan pencegahan terhadap aksi kriminal seperti itu, guna meminimalisir tindakan illegal fishing dan sebagainya.


Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut, FL Kaunang mengatakan, kerugian akibat illegal fishing di perairan Sulut setiap tahun alami kerugian hingga Rp2 triliun rupiah, karena kurang memadainya pengawasan dan pengamanan diwilayah itu.


Kaunang mengakui, kondisi keamanan di perairan Sulut masih lemah dengan minimnya armada pengawasan, terutama datang dari TNI Angkatan Laut maupun kepolisian.


"Perairan laut di Sulut terbentang luas, terutama jika dihitung 12 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah kepulauan Miangas dan Marore," ujarnya.


Illegal fishing yang dilakukan sejumlah kapal-kapal asing umumnya menggunakan peralatan bahan-bahan peledak, sehingga ikut merusak biota dan ekosistem laut.


Sebagian besar kapal asing masuk ke perairan Sulut berasal dari Filipina, padahal sesuai perjanjian bilateral antara Indonesia-Filipina, masa kontrak pencarian ikan di Indonesia telah berakhir tahun 2005, kemudian ada dari Cina, Taiwan dan sejumlah negara lainnya.

Pengeboman Ikan, Rusak Terumbu Karang dan Rumput Laut Lembongan

Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://www.balipost.com/Balipostcetak/2007/11/1/pa2.htm


Nusa Lembongan, Nusa Penida, terkenal dengan wisata bahari. Hamparan laut ditumbuhi terumbu karang dengan spesies bawah laut yang beraneka ragam, berpeluang untuk pengembangan wisata di kawasan itu. Ditambah hamparan pasir putih, tentunya menambah minat wisatawan untuk mengunjungi salah satu bagian kepulauan di Kecamatan Nusa Penida itu. Tak salah, kalau saat ini sudah banyak terdapat ponton-ponton milik pengusaha kapal pesiar yang nangkring di sana.


Sayangnya, dalam perkembangannya, wisata bawah laut Lembongan mulai terancam. Salah satunya ancaman dari aksi pemboman menggunakan potassium untuk menangkap ikan, terutama ikan hias yang dilakukan sekelompok orang secara sembunyi-sembunyi. Akibat pemboman, terumbu karang yang sebelumnya tak sempat terjamah menjadi rusak. Spesies bawah laut yang beragam jumlahnya pun mulai menjauh. Jelas, hal itu berpengaruh kenikmatan turis yang sedang berlibur di Lembongan.


Maraknya penggunaan bahan peledak akan merusak ekosistem laut yang tentunya juga berdampak buruk terhadap perekonomian masyarakat yang bergantung pada pariwisata bahari. ''Jumlah kunjungan sekarang sudah menurun. Terumbu karang dan spesies bawah laut yang dulunya menjadi andalan, sekarang mulai rusak, ujar pelaku usaha wisata di Lembongan,'' Nyoman Ginada. Selain kerusakan terumbu karang dan menghilangnya spesies bawah laut akibat pemboman, penurunan jumlah turis juga terjadi akibat menurunnya tingkat kekuatan arus gelombang. Mereka yang gemar surfing, mulai meninggalkan Lembongan, tambahnya.

Padahal, kata dia, Nusa Lembongan benar-benar mengandalkan wisata alami berupa laut tersebut. Kalau wisata lain, seperti wisata budaya atau religius, kurang gregetnya di kawasan itu. Beda dengan pengembangan wisata di Nusa Besar (Nusa Penida), tambahnya. Hal sama dikatakan Kades Lembongan Nyoman Murda. Dia mengakui, selama ini masyarakatnya kerap mengeluhkan maraknya penggunaan potasium dan aksi pengeboman ikan di wilayah pantai Lembongan dan Jungutbatu.


Penggunaan peledak untuk menangkap ikan-ikan hias itu, telah merusak ekosistem terumbu karang. Bukan itu saja, tanaman rumput laut masyarakat juga terganggu. Padahal, itu merupakan wisata andalan Lembongan, tandasnya. Menurut warga, aksi penggunaan potasium dan pengeboman ikan, terjadi lantaran tidak adanya pengawasan dari instansi terkait. Oleh karenanya, Murda meminta pemerintah melakukan upaya mengatasi persoalan yang merugikan masyarakat setempat. Kalau tidak, imbasnya sangat besar terhadap hasil produksi rumput laut warga kami.


Hal itu juga berimbas pada kunjungan wisatawan. Karena keberadaan petani rumput laut juga menjadi salah satu daya tarik wisata ungkapnya seraya menyebutkan, saat ramai jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Nusa Lembongan mencapai 700 orang (menginap sekitar 50 orang). Desa Lembongan mendapat pemasukan Rp 1.000/orang. Untuk sementara, keberadaan wisatawan cukup mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Karena mereka juga bisa menjajakan beraneka souvenir, akunya.


Terkait ancaman kerusakan terumbu karang yang berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke Lembongan, Tim Pengawas dan Pengendalian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung sebenarnya telah melakukan pemantauan (patroli) laut. Bekerjasama dengan tim gabungan Propinsi Bali, Pol Air dan TNI AL. Sayangnya, patroli yang dilakukan tak pernah berhasil menangkap pelaku. Padahal, menurut masyarakat, aksi penggunaan bahan peledak dan potasium sering terdengar pada malam hari.


Kasubdin Pengawasan dan Perlindungan Dinas PPK Klungkung Ida Kade Arga, M.M menyebutkan, ketika patroli, tim pengawas dan pengendali pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan memang menemukan kapal kapal yang dicurigai malakukan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potasium di wilayah Batu Melawang, Nusa Ceningan. Namun kapal-kapal tersebut ternyata memiliki izin menangkap ikan.


Lebih-lebih, saat ini tim pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan masih menghadapi berbagai kendala dalam menindaklanjuti aksi penggunaan potasium dan bahan peledak. Karena, sampai saat ini tim belum memiliki armada pengawas (kapal pengawas) yang memadai. Padahal, perairan Nusa Penida sangat menantang dengan arus yang keras dan gelombang yang tinggi.(bal)