SEWINDU DKP, Kemiskinan dan Illegal Fishing Masih Menghiasi Sektor Kelautan

Tanggal : 27 Oktober 2007
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=185091

JAKARTA (Suara Karya): Memasuki usia ke delapan tahun (sewindu) pada 26 Oktober 2007, kinerja Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) masih banyak dihadapkan pada berbagai persoalan seputar sektor kelautan dan perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada peringatan Sewindu Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Jumat (26/10) mengatakan, berbagai persoalan tersebut, antara lain masalah kemiskinan di kawasan pesisir dan laut serta maraknya penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia (illegal fishing).

Selain itu, permasalahan juga menyangkut pemanfaatan pulau-pulau kecil yang belum optimal, mutu hasil perikanan dan kelautan yang masih rendah serta perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan dalam menghadapi persaingan global.

"Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan upaya dan terobosan yang sistematis," kata Freddy pada kegiatan yang dilangsungkan di Gedung Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Acara ini juga dihadiri sejumlah tokoh kelautan dan perikanan, seperti pakar hukum laut Hasyim Jalal, pelaku usaha perikanan, juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja.

Menurut Freddy, Departemen Kelautan dan Perikanan dibentuk pada 26 Oktober 1999 oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan nama Departemen Eksplorasi Laut. Kemudian pada Desember 1999 berganti menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Pada awal 2001, Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan hingga saat ini.

Menurut Freddy, DKP dituntut harus meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, dan masyarakat pesisir lainnya. Salah satunya melalui pengembangan kegiatan usaha yang berkelanjutan. Namun, secara bersamaan DKP juga harus berbenah diri dengan menyediakan sumber daya manusia, teknologi, dan prasarana yang memadai.

Dikatakannya, sejumlah sarana dan prasarana fisik maupun non fisik yang telah dihasilkan untuk membangun sektor kelautan dan perikanan, antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta pembentukan Peradilan Perikanan.

Selain itu, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006, pemerintah juga melakukan deregulasi bidang kelautan dan perikanan yang lebih berpihak pada industri dalam negeri.

Dana Pengawasan Illegal Fishing Ditambah


Tanggal : 11 Oktober 2007
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/ekonomi-bisnis/dana-pengawasan-illegal-fishing-dit.html


JAKARTA(SINDO) – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mendapat dana tambahan sebesar Rp45 miliar untuk pengawasan penangkapan ikan tanpa izin (illegal fishing) tahun 2008.


DKP juga menyiapkan payung hukum yang lebih baik untuk penanganan illegal fishing. “Kami mendapat alokasi tambahan sebesar Rp45 miliar untuk pengawasan illegal fishing dan sudah disetujui DPR. Tentu ini akan mampu memenuhi target kita untuk mengoperasionalkan 30 kapal pengawas selama 180 hari dalam setahun,” jelas Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Ardius Zainuddin di Jakarta kemarin.


Sebelumnya, Ardius mengatakan bahwa total awal alokasi dana untuk pengawasan illegal fishing sebesar Rp271 miliar hanya cukup untuk operasional kapal pengawasan selama 100 hari. Dari jumlah tersebut, hanya Rp28,5 miliar yang akan digunakan untuk operasional, sedangkan sisanya untuk pengadaan kapal serta kampanye pencegahan illegal fishing.


Agar tugas pengawasan dan penanganan lebih efektif, Ardius mengharapkan dukungan dan kerja sama berbagai pihak untuk ikut mengurangi praktik yang merugikan negara sebesar Rp30 triliun per tahun tersebut. “Kami juga berharap agar UU No 31/2004 bisa segera di amendemen, agar ada payung hukum yang tegas untuk menindak pelaku, sekaligus menimbulkan efek jera,” tuturnya.


Sesuai UU No 31/2004, hukuman atau sanksi bagi pelaku illegal fishing adalah pidana 10 tahun dan denda Rp2 miliar. Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) DKP Saut P Hutagalung mengatakan, amendemen UU No 31/2004 tentang Perikanan diperkirakan belum bisa terlaksana pada 2008 mendatang.


Pasalnya, sampai saat ini DKP belum menyusun draf rancangan perubahan undang-undangnya. “Kita belum usulkan ke legislasi nasional untuk mendapatkan payung hukum yang tegas, memang ada wacana untuk merevisi UU, tetapi itu butuh proses. Sebelum revisi harus ada naskah akademik, penyusunan draf RUU, dan nanti Presiden mengusulkannya ke DPR,” ungkapnya.

Residivis Pembom Ikan Kembali Ditangkap AL Sibolga


Tanggal : 9 Oktober 2007
Sumber : http://niasbaru.wordpress.com/2007/10/09/residivis-pembom-ikan-kembali-ditangkap-al-sibolga/


Empat pria, di antaranya merupakan residivis kasus pembom ikan kembali tertangkap tanggan oleh personil Stasiun Angkatan Laut (Sional) Sibolga akibat membawa peralatan dan perlengkapan bahan peledak yang akan digunakan sebagai alat menangkap ikan-ikan yang ada laut.


“Para pelaku ditangkap di sekitar perairan Karang Madura, Pulau Pini, Kabupaten Nias Selatan, Kamis (27/9) sekira pukul 07.00 oleh personil Danpos Pulau Pini, Serma Irawan bersama 3 personilnya,”kata Dansional Sibolga Letkol Laut (P) Tri Satriya kepada sejumlah wartawan didampingi Perwira Pelaksana (Palaksa) Mayor Laut (KH) Ridwan Efendy Siregar, Komandan Polisi Militer Angkatan Laut ( Dan Pomal) Sibolga Kapten Laut (PM) Harry Subagyo, dan Pasintel Lettu Laut (E) Suaib Minggu (30/9).


Letkol Laut (P) Tri Satriya menjelaskan, penangkapan tersebut dilaksanakan pagi hari saat AL Sibolga mendapat informasi dari masyarakat tentang ada tujuh warga yang hendak melakukan pemboman ikan di sekitar Pulau Pini. Personil Pos Pulau Pini yang mendapat informasi itu langsung melakukan penyelidikan. Ternyata setelah diselidiki informasi benar para pelaku hendak berangkat melaut dan telah menyediakan bahan-bahan peledak.


Penyergapan pun dilakukan, di mana ada empat pelaku yang berhasil ditangkap yang masing-masing berinisial BR, 48, warga Gang Pena, Desa Hajoran Pandan, AI, 24, warga Gang Bagan, Sibolga, LN, 28, warga Gang Pena Hajoran Pandan dan AR, 25, warga Pasar III, Air Bangis, Natal. Sementara tiga pelaku lagi yang telah diketahui identitasnya melarikan diri dengan membawa perahu.


Dari keempat pelaku ditemukan barang bukti berupa kompresor, selang, 1 kaleng cat perak, 13 botol bahan peledak siap ledak, 2 buah dakor, kacamata selam, radar, timah pemberat, belerang, calsium clorat, 24 sumbu peledak dan bubuk mesiu. “Keempat pelaku bersama barang bukti masih dilakukan penyelidikan lebih lanjut.


UjiCoba Handak


Ujicoba peledakan bom ikan dengan menggunakan botol air mineral dilangsungkan di lokasi pantai pasir yang terdapat di kompleks AL di Kecamatan Tapian Nauli Minggu (30/9) sekira pukul 10.00. Seorang pelaku berinisial BR dibawa untuk melakukan ujicoba tersebut. Saat itu pelaku melemparkan botol aqua yang sumbunya telah disulut terlebih dahulu ke daerah pantau sejauh 30 meter. Bom terlihat tenggelam, kemudian dengan hitungan detik terjadilah letusan yang daksat mengakibatkan percikan air terangkat sekitar 10 meter ke udara. Sebahagian perwira yang mendengar dan melihat suara ledakan sempat terkejut.


Menurut Dan Sional Sibolga Letkol Laut (P) Tri Satriya, uji coba peledakan bom rakitan penangkapan ikan tersebut dilakukan untuk mengetahui persis getaran yang terjadi. Di mana setelah kita amati daya ledak bom ikan tersebut mencapai radius 300 meter keliling yang dapat menghancurkan ikan-ikan dan terumbu karang. “Kita memberikan peringatan keras, bagi siapa yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peladak, maka harus disikat habis,” ujar Dan Sional Sibolga.


Lebih lanjut Dan Sional menjelaskan, dari data yang dimiliki, BR telah dua kali tertangkap dalam kasus yang sama. “Menurut pengakuan para pelaku, pemboman kembali dilakukan karena tergiur dengan harga-harga ikan yang mahal ditawarkan para pamoge (pembeli ikan),” tegas Letkol Laut (P) Tri Satriya mengakhiri.

DKP Siapkan Dana Rp271 Miliar


Tanggal :
9 Oktober 2007
Sumber : http://www.fiskal.depkeu.go.id/ENG/klip/detailklip.asp?klipID=N346388858

JAKARTA (SINDO) – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyiapkan dana sebesar Rp271 miliar untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) pada 2008.

Kerugian negara akibat praktik ini diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun. “Kalau tingkat penangkapan ikan ilegal di dunia sebesar 6 juta ton per tahun,berarti kita menyumbang 1,5 juta ton ikan per tahun. Jika dihitung satu ikan per kilogram seharga USD2, maka dalam setahun Indonesia dirugikan sekitar Rp30 triliun,”jelas Dirjen Pangawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP Ardius Zaenudin seusai rapat kerja dengan DPR di Jakarta, kemarin.

Menurut Ardius, dana sebesar Rp271 miliar itu digunakan untuk menggaji pegawai yang terkait program tersebut dan untuk biaya operasional kapal. Menurut dia, jika tidak ada dana tambahan,kapal DKP maksimal hanya mampu beroperasi selama 100 hari.Karena itu, dalam rapat anggaran dengan DPR, pihaknya meminta tambahan dana Rp30 miliar untuk operasional 21 kapal selama 180 hari.

Di tempat yang sama Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengatakan, untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal, pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah. Pemerintah akan membatasi jumlah kapal asing yang masuk ke perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) serta lebih selektif dalam memberikan izin penangkapan ikan.

“Ke depan saya ingin memberikan efek jera kepada kapal asing. Misalnya dengan menenggelamkan kapal asing yang beroperasi secara ilegal. Ini memang diperlukan payung hukum yang tegas,” kata Freddy. Ketegasan aturan yang ditetapkan dalam payung hukum tersebut, kata dia, harus dapat membuat kapal-kapal asing yang beroperasi secara ilegal akan berpikir keras sebelum mencuri ikan di ZEEI.

Sementara Direktur Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP Yunus Lebang Lambe mengatakan, hingga Oktober 2007 DKP sudah mengeluarkan izin penangkapan bagi sebanyak 7.000 kapal yang terdiri atas kapal asing berbendera Indonesia serta kapal nelayan lokal. Kendala yang dihadapi saat ini, kata dia, adalah banyaknya pemalsuan dokumen izin penangkapan ikan di daerah.

Berdasarkan SK Dirjen Perikanan Tangkap DKP No 4314/2006, sebanyak 13 daerah mendapatkan kewenangan berupa perbantuan proses perizinan.Aturan tersebut memberikan kewenangan bagi daerah untuk memperpanjang izin penangkapan ikan.

“Surat izin penangkapan banyak yang dipalsukan, ini bisa memicu maraknya illegal fishing. Berkedok izin palsu, mereka dapat menangkap ikan,” tegasnya. Untuk itu, DKP akan melakukan evaluasi dengan mengganti blangko manual untuk memperpanjang surat izin dengan sistem online di tingkat daerah.

Kerugian Negara Akibat "Ilegal Fishing" Terus Naik


Tanggal : 4 Oktober 2007
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000193871.html


Kapanlagi.com
- Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan kian meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran bidang perikanan.

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DKP Ardisu Zainuddin, di Medan mengungkapkan, pada tahun 2005 jumlah pelanggaran yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik menjadi 216 kasus, sementara hingga September 2007 sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses secara hukum.


Sebagian besar pelaku kasus illegal fishing yang terungkap itu, menurut Ardius, adalah kapal ikan asing seperti dari Vietnam, Thailand, China, Myanmar dan Malaysia.


"Mereka banyak beroperasi di perairan sekitar Natuna dan Arafuru," katanya.


Dari barang bukti kasus-kasus illegal fishing yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi kerugian negara mencapai antara Rp1-Rp4 miliar per kapal.


Jika sampai September 2007 ada 160 kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugian negara akibat penangkapan ikan liar tahun 2007 saja berkisar antara Rp160 miliar sampai Rp640 miliar.


"Sementara secara akumulasi belum ada data resmi mengenai kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal itu, tetapi dari riset DKP pada 2003, totalnya bisa mencapai US$1,9 miliar (sekitar Rp18 triliun)," katanya.


Menurut dirjen, potensi kerugian negara di masa datang bisa saja terus meningkat, mengingat proses penanganan perkara kasus-kasus illegal fishing selama ini berjalan lambat.


Lambannya penanganan perkara, menurut Ardius, dikarenakan keterbatasan jumlah aparat penegak hukum perikanan di lingkungan DKP. Dari kebutuhan 6.000 orang, yang ada baru sekitar 10 persennya.


"Selain itu, tempat untuk menampung barang bukti pencurianikan juga terbatas, padahal bukti tangkapannya terus meningkat," katanya.


Oleh karena itu, sesuai amanat Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 2004 tentang perikanan, pemerintah membentuk lembaga pengadilan perikanan yang akan mulai beroperasi Oktober tahun ini.


Dengan pembentukan lembaga peradilan khusus perikanan tersebut, diharapkan penanganan perkara kasus-kasus illegal fishing bisa diproses lebih cepat.


Menurut Direktur Penanganan Pelanggaran DKP Achmad Baskara, dengan adanya pengadilan perikanan, pengenaan vonis terhadap kasus-kasus perkara perikanan bisa dipercepat dari sekitar 400 hari saat ini menjadi maksimal 140 hari.


Sejauh ini telah disiapkan sebanyak 28 orang hakim ad hoc dan 90 jaksa penuntut umum khusus untuk pengadilan perikanan yang dibentuk di lima Pengadilan Negeri (PN) yaitu PN Medan, Tual, Pontianak, Bitung dan Jakarta Utara. Pemilihan lima lokasi itu didasarkan pada banyaknya temuan kasus-kasus illegal fishing selama ini, katanya menambahkan.