Revitalisasi Perikanan dan Pemberantasan Perikanan Ilegal


Tanggal : 27 Desember 2007
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/27/revitalisasi-perikanan-dan-pemberantasan-perikanan-ilegal/


Revitaslisasi perikanan yang telah dicanangkan oleh Presiden SBY (11/06/2005) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan, khususnya nelayan. Namun demikian gerakan semacam ini bukan hal baru yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dari periode ke periode kepemerintahan gerakan semacam ini telah mengalami berbagai perubahan nama, akan tetapi kesejahteraan nelayan tetap saja belum mengalami perubahan. Misalnya pada periode pemerintahan sebelumnya gerakan ini dikenal dengan protekan 2003 dan gerbang mina bahari.


Kegagalan berbagai gerakan tersebut selama ini disebabkan oleh kurangnya keseriusan pemerintah dalam melaksanakan gerakan tersebut. Selama ini berebagai gerakan tersebut hanya dijadikan ”jargon” pemerintah dalam ”meninabobokan” masyarakat miskin, khususnya nelayan. Salah satu ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan gerakan tersebut dapat dilihat dari masih maraknya kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia. Padahal illegal fishing tersebut merupakan salah satu kunci suksesnya gerakan peningkatan kesejahteraan nelayan tersebut.


Misalnya target revitalisasi perikanan tersebut adalah peningkatan produksi perikanan perikanan sekitar 9 juta ton per tahun. Target ini sama saja dengan target gerbang mina bahari dan protekan 2003. Menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan produksi perikanan tangkap indonesia saat ini mencapai 4,4 juta ton per tahun. Sementara itu menurut laporan FAO tahun 2001 Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar 2,3-4 milyar dolar AS. Artinya apabila sumberdaya ikan yang dicuri tersebut dapat dimanfaatkan oleh kapal-kapal perikanan nasional maka produksi perikanan laut dapat meningkat sampai 5,9 juta ton per tahun atau sekitar 92,19 persen dari potensi sumberdaya ikan laut Indonesia (6,4 juta ton per tahun). Dengan demikian potensi sumberdaya ikan di perairan indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh kapal perikanan nasional.


Selain itu juga apabila sumberdaya ikan yang dicuri tersebut dimanfaatkan oleh armada penangkapan nasional maka sedikitnya dapat menghidupi bahan baku industri-industri pengolahan hasil perikanan, misalnya industri pengalengan tuna. Karena umumnya sumberdaya ikan yang dicuri dari perairan indonesia adalah ikan tuna dan ikan pelagis besar lainnya. Misalnya setiap industri pengalengan ikan tuna umumnya memerlukan bahan baku perhari minimalnya sekitar 80 ? 100 ton atau sekitar 28.000 ? 36.000 ton per tahun maka sumberdaya ikan yang dicuri tersebut sedikitnya dapat menghidupi sekitar 42 industri pengalengan ikan tuna nasional.


Dengan demikian target revitalisasi perikanan untuk membangkitkan industri pengolahan ikan akan terlaksana dengan baik. Selain itu juga kekhawatiran para pemilik industri pengalengan ikan tuna yang ada saat ini terhadap kekurangan bahan baku dapat diminimalisir.


Menurut catatan Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi karena kekurangan bahan baku. Di Sulawesi Utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna.


Selain itu juga pemberantasan illegal fishing tersebut akan sangat berdampak positif terhadap pencapaikan target revitalisasi perikanan lainnya seperti pertama, peningkatan devisa ekspor. Selama ini praktek illegal fishing tersebut telah mengurangi peran tempat pendaratan ikan nasional dan pembayaran uang pandu pelahuhan. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini juga berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, di mana jika aktivitas pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan ekspor (atau pendapatan pelabuhan).


Kedua, penyerapan tenaga kerja, illegal fishing selama ini telah mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Ketiga, peningkatan konsumsi ikan masyarakat dan peningkatan pendapatan nelayan. Maraknya illegal fishing akan mengancam pengurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal dan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional.


Hal ini akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat. Selain itu juga praktek illegal fishing selama ini telah mengancam keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan-nelayan tradisional dalam menangkap ikan di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan, nelayan asing selain melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayan-nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama.


Memberantas Illegal Fishing


Dengan melihat pentingya pemberantasan illegal fishing terhadap pencapaikan target revitalisasi perikanan maka hendaknya pemerintah saat ini untuk merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani illegal fishing tersebut. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menangani illegal fishing tersebut, yaitu pertama, mempercepat pembentukan keputusan presiden (Keppres) illegal fishing yang saat ini masih dipersiapkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Keppres tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam memberantas illegal fishing di perairan Indonesia. Namun demikian keberadaan keppres tersebut hendaknya diikuti dengan adanya penegakan hukum yang tegas dan berpihak kepada kepentingan nasional.


Kedua, peningkatan kesadaran dan kerjasama antar seluruh stakeholders perikanan dan kelautan nasional dalam pemberantasan praktek illegal fishing. Hal ini perlu dilakukan karena praktek illegal fishing selama ini banyak dilakukan oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan. Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memberantas KKN dalam penurusan ijin penangkapan ikan.


Ketiga, peningkatan peran Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Dengan meningkatkan peran ini Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sangsi bagi kapal yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Dengan menerapkan kebijakan anti illegal fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Kerjasama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya operasional MCS sehingga joint operation untuk VMS (Vessel Monitoring Systems) misalnya dapat dilakukan.


Hemat penulis pemberantasan praktek illegal fishing di perairan Indonesia saat ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Artinya pemerintah dan stakeholders perikanan dan kelautan lainnya perlu bekerjasama untuk memberantas praktek illegal tersebut. Karena apabila hal ini tidak secepatnya dilakukan maka revitalisasi perikanan hanya akan sebagai jargon saja. Sudah saatnya potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia untuk dimanfaatkan secara penuh oleh masyarakat Indonesia sendiri.


Tak Habisnya Ikan Dijarah

Tanggal : 20 Desember 2007
Sumber : http://www.gatra.com/2008-01-06/


Sebanyak 14 kapal ikan Thailand diamankan karena melakukan illegal fishing di perairan Arafura. Tiap-tiap kapal tersebut meraup berbagai jenis ikan berkualitas sebanyak lebih dari 500 ton. Para master dan nakhoda ke-14 kapal Thailand itu menggandakan dokumen "aspal" alias asli tapi palsu. Antara lain, surat izin penangkapan ikan (SIPI) yang dikeluarkan oknum pejabat setempat. Setelah digandakan, kemudian dibagikan ke seluruh kapal armadanya, seolah-olah SIPI resmi. Biasanya, satu surat digandakan untuk 10-15 kapal. Padahal, dokumen itu tidak sesuai dengan fakta fisik kapalnya. Buntut hasil laut yang dikuras nelayan asing itu, sebagian nelayan Tual yang berizin resmi jadi lebih sering menganggur. Mereka enggan melaut lantaran kerap tak membawa pulang tangkapan. Tempat pelelangan ikan pun sepi pengunjung. Meski perizinan melaut telah diperketat, praktek illegal fishing terus merajalela. Yang beraksi bukan saja kapal asing tanpa izin. Yang berizin pun kerap tidak taat asas.

Polri Kerjasama KBRI Bangkok Usut Kejahatan Perikanan

Tanggal : 17 Desember 2007
Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/12/17/polri-kerjasama-kbri-bangkok-usut-kejahatan-perikanan/

Bangkok (ANTARA News) - Tim Bareskrim Mabes Polri bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI di Bangkok untuk mengusut kejahatan perikanan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan dan pengusaha perikanan di perairan Maluku Tenggara.

Tim yang dipimpin oleh Kombes Pol Deddy Fauzi itu melakukan pertemuan dengan Duta Besar Indonesia di Bangkok, Ibrahim Yunus Senin.

Juru bicara tim Mabes Polri, Kombes Pol Bambang Kuncoko mengatakan, dalam pertemuan itu, Polri telah mendapatkan informasi penting terkait aksi pencurian ikan besar-besaran di perairan Tual dan Benjina, Maluku Utara.

"Kami mendapatkan beberapa dokumen yang sangat penting dan diyakini dapat mengungkap kasus illegal fishing yang telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini," kata Bambang Kuncoko.

Ibrahim Yunus mengatakan, kejahatan perikanan telah menjadi pembicaraan antara pemerintah RI dengan Thailand sejak awal tahun 2000-an.

"Awalnya nelayan Thailand boleh melakukan kerja sama penangkapan ikan di Indonesia namun kini sudah tidak boleh lagi dan harus berbentuk kerja sama investasi," katanya.

Mabes Polri menangkap 17 kapal di perairan Benjina dan Tual serta menahan 11 orang yang terdiri atas delapan warga negara Thailand, dua warga negara Jerman dan satu warga negara Indonesia. Kini, para tersangka dan barang bukti ditahan di Mapolres Tual.

Tidak hanya kapal yang mencari ikan yang tertangkap, karena polisi juga menangkap kapal yang berfungsi sebagai pengepul bagi kapal- kapal penangkap ikan.

Kapal pengepul ikan langsung pulang ke Thailand dan tidak mengolahnya di daratan Indonesia sebagaimana mestinya.

Polisi menangkap para tersangka karena melanggar UU No 31 tahun 2005 tentang perikanan antara lain menggunakan pukat harimau, langsung mengekspor ikan dan pemalsuan dokumen.

Tidak hanya pidana perikanan, polisi juga akan menjerat para cukong ikan dengan pidana pencucian uang sebab hasil pencurian ikan telah masuk ke bank lalu dipakai untuk membeli kapal.

Polisi juga menemukan dokumen adanya kapal Thailand yang beroperasi di Indonesia sehingga hal itu perlu diklarifikasi dengan mengirimkan tim ke negeri "Gajah Putih" ini.

"Saat ini tim Mabes Polri terus mendalami berbagai pihak yang terkait dengan kejahatan perikanan itu baik dalam maupun luar negeri yang selama ini menyangkut perizinan, pengelolaan perikanan," kata Bambang.

Polisi Tangkap Tujuh Kapal Thailand


Tanggal : 15 Desember 2007

Sumber : http://pab-indonesia.com/web/content/view/5429/57/


Ambon, PAB-Indonesia

Tujuh kapal penangkap ikan berbendara Thailand hingga Rabu masih diamankan di dermaga Polairud Tual, Maluku Tenggara. Ketujuh kapal beserta puluhan awaknya yang tidak dilengkapi dokumen resmi itu ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri 26 Nopember lalu ketika mereka beroperasi di perairan Maluku Tenggara.

Kabid Humas Polda Maluku, AKBP Djoko Susilo, di Ambon mengatakan, sudah 20 awak kapal yang dimintai keterangan sebagai saksi dan belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka pencurian ikan di Indonesia.


Kemungkinan saksi bisa bertambah karena 20 orang itu barulah sebagian dari ABK dari tujuh kapal penangkap ikan yang diduga melakukan pencurian ikan atau "illegal fishing".


Djoko belum memastikan kapan kasus ini ditangani Polda Maluku atau dilimpahkan ke Mabes Polri. "Sekiranya diserahkan ke Polda Maluku, maka pasti dikembangkan penyelidikan hingga penyidikan sesuai ketentuan hukum," tambahnya.


Djoko menepis kabar beredar yang menyebut telah terjadi kontak senjata dalam pengejaran terhadap tujuh kapal Thailand itu. "Itu isu yang tidak benar karena saat pengejaran dan berhasil ditangkap ternyata ABK dari tujuh kapal itu tidak melawan, selanjutnya digiring ke Tual," katanya


Kabupaten Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru merupakan basis kegiatan penangkapan ikan oleh ribuan dari kapal dalam dan luar negeri sehingga rawan praktik illegal fishing. Aparat penegak hukum tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan fasilitas pengawasan.


Kaltim Kehilangan Rp 20 M Akibat Pencurian Ikan di Perairan Kaltim


Tanggal : 15 Desember 2007

Sumber : http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TL0A4UG9UOF0JSNSL

SAMARINDA – Aktivitas pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah perairan Kaltim yang dilakukan nelayan asing, terus terjadi. Akibatnya, daerah ini harus menanggung kerugian yang tidak sedikit, yakni, diperkirakan Rp 20 miliar per tahun. Karena rata-rata ikan yang dicuri itu nilainya bisa mencapai Rp 200 juta per bulan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim M Khaerani Saleh menyampaikan, wilayah yang kerap dijadikan ajang pencurian ikan adalah perairan Ambalat, dekat dengan perbatasan negara tetangga Malaysia.

“Terkadang kapal itu memang berbendera Indonesia. Tapi ketika dicek, ternyata kapal itu banyak dimodali cukong dari Malaysia,” ujarnya. Meski status kapal dan peralatannya adalah milik cukong Malaysia, tak sedikit awak kapalnya adalah warga Kaltim yang tinggal di perbatasan. Hasil tangkapan ikan itu pun dijual ke Malaysia. Sementara, upaya mengantisipasi pencurian ikan belum bisa maksimal akibat kurangnya personel dan sarana pendukung lainnya.

Diakui, nelayan lokal tidak akan mampu bersaing dengan nelayan asing. Sebab kapasitas kapal yang dimiliki nelayan lokal rata-rata di bawah 10 Gross Tonase (GT), sehingga tidak melakukan penangkapan ikan di perairan laut dalam.

“Ikan Kaltim banyak dicuri nelayan Malaysia, Taiwan, Filipina, bahkan China, dengan alat tangkap trawl (pukat harimau). Mereka menggunakan kapal berkapasitas paling kecil 30 GT. Sehingga bisa mengambil ikan di perairan Kaltim yang berbatasan langsung dengan Malaysia,” ujarnya.

Illegal fishing ini memang menjadi persoalan, yang hingga kini masih diupayakan untuk ditanggulangi. Kendati demikian, pengawasan di wilayah tersebut tetap dilakukan dengan berbagai keterbatasan armada yang dimiliki.

“Namun, keterbatasan yang dialami bukan menjadi alasan untuk meloloskan illegal fishing, sebab tindakan itu tak bisa ditoleransi, karena sangat merugikan negara, baik dalam soal finansial maupun pelanggaran kedaulatan wilayah negara,” ujarnya.

ILLEGAL FISHING, Polri Selamatkan Triliunan Rupiah Uang Negara

Tanggal :12 Desember 2007
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=188445

JAKARTA (Suara Karya): Triliunan rupiah uang negara dapat diselamatkan melalui operasi illegal fishing yang digelar Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri di Laut Arafura, Maluku. Pasalnya, kegiatan ilegal itu sudah berlangsung lebih dari tiga tahun.

Dalam operasi yang digelar di wilayah Tual, Dobo, dan Benjina, Maluku Tenggara (Malra), sejak akhir November hingga awal Desember 2007, polisi menangkap 18 tersangka dan mengamankan 14 kapal yang terdiri dari empat unit kapal tramper atau pengangkut dan 10 unit kapal penangkap ikan.

Selain itu, ribuan ton ikan hasil tangkapan dan alat tangkap berupa trawl atau jaring ikan berbagai ukuran kini diamankan polisi. "Berbagai jenis ikan sedang kita hitung," kata Direktur Tipiter Bareskrim Polri Brigjen Pol Hadiatmoko kepada wartawan di Mabes Polri, Selasa (11/12).

Mengenai kerugian negara, sejauh ini Hadiatmoko belum bisa memastikan. Namun ia memberi gambaran, satu kapal pencari ikan memiliki bobot hingga 400 gross ton (GT) dan sebuah kapal penampung seberat 1.750 GT. Muatan ikan sebanyak itu seluruhnya hasil laut kita yang dicuri setiap hari oleh ratusan kapal. "Jumlahnya sangat banyak, bisa mencapai triliunan," katanya.

Dia menambahkan, illegal fishing ini dilakukan tiga perusahaan besar yang bermarkas di Jakarta, yaitu PT BBM, PT MJB, dan PT PBR. Perusahaan-perusahaan itu membeli kapal penampung dari Thailand dan selanjutnya memakai bendera RI sesuai aturan yang ditetapkan. "Kita sedang menyelidiki lebih jauh ketiga perusahaan itu," katanya.


Modus kegiatan pencurian ikan ini, menurut Hadiatmoko, pelaku sengaja memalsukan dokumen kapal dengan cara mengubah data dalam surat perizinan sehingga tidak sesuai dengan fakta fisik kapal. "Pelaku juga menggandakan perizinan, yaitu satu surat izin digunakan untuk beberapa kapal sekaligus," katanya.

Penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), penangkapan ikan di luar fishing ground dalam SIPI, melakukan ekspor ikan di tengah laut tanpa dokumen ekspor, dan mengubah kapasitas muat dan beban kapal.


Kapal-kapal penampung ikan yang dibeli dari Thailand ini selanjutnya dioperasikan nelayan Thailand sebagai kapten kapal dan nakhoda, sedang anak buah kapal (ABK) seluruhnya warga negara Indonesia. Dari 18 orang yang ditahan, 17 di antaranya WN Thailand, sedangkan satu orang lainnya WN Indonesia. Para pelaku selanjutnya dijerat Pasal 85 jo Pasal 101 UU 31/2004 tentang Perikanan. (Joko Sriyono)

Pemboman Ikan Masih Marak di Papua Barat


Tanggal : 07 December 2007
Sumber : http://www.elshampapua.org/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2

Jayapura, Kamis--Hingga kini kegiatan pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia seperti potasium masih marak terjadi di perairan Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat sehingga menyebabkan berbagai biota laut dan terumbu karang di wilayah perairan tersebut terancam punah.

"Kami mengakui bahwa kegiatan pemboman ikan oleh banyak nelayan di perairan Wondama masih marak sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi kepunahan terumbu karang di wilayah ini," kata Kepala Seksi Budidaya Laut Dinas Perikanan Manokwari, Matias Baru,SH di Manokwari, Kamis.

Dia mengakui kalau kegiatan pemboman ikan tersebut banyak dilakukan para nelayan yang berdatangan dari wilayah Manokwari dan Nabire sehingga dibutuhkan kerjasama lintas sektoral untuk mengatasi permasalahan yang krusial ini.

Kerjasama tersebut antara lain antara Dinas Perikanan antarkabupaten, polisi, dinas perhubungan dan TNI Angkatan Laut yang dikenal memiliki peralatan canggih untuk mendeteksi berbagai kegiatan ilegal di wilayah perairan yang sangat luas itu.

Menurut dia, penggunaan bahan-bahan kimia potasium dan pestisida dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Wondama telah mengancam kelestarian lingkungan di perairan tersebut.

Matias mengatakan, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Manokwari terus berupaya mengurangi sampai memberantas habis kegiatan pemboman ikan tersebut khususnya wilayah perbatasan Teluk Wondama- Manokwari.

"Begitu banyak nelayan berdatangan ke wilayah perairan Teluk Wondama karena wilayah ini sejak dulu dikenal sebagai surga bagi ikan dan biota laut lainnya. Namun patut disayangkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan sering
menggunakan bahan kimia yang merusak terumbu karang," katanya.

Tentang upaya pihak dinas perikanan meningkatkan kesejahteraan para nelayan di Teluk Wondama, dia mengatakan, instansi ini telah membentuk sejumlah koperasi nelayan di tujuh distrik khususnya 56 jampung yang terdapat di Wondama.

Melalui koperasi, para nelayan dapat langsung menjual hasil tangkapan mereka dan setelah dijual mereka pun segera kemabli ke laut untuk mencari nafkah hidup di laut.

Melalui lembaga koperasi nelayan inilah, dinas perikanan memberikan penyuluhan kepada para nelayan agar mereka tidak menggunakan bahan-bahan kimia dalam melakukan penangkapan ikan di perairan Teluk Wondama dan sekitarnya.

Source: Kompas

Kapal Motor Tidak Ada, Kekayaan Laut Nisel Setiap Hari Terancam”Illegal Fishing”

Tanggal : 5 Desember 2007
Sumber : http://niasbarat.wordpress.com/2007/12/05/kapal-motor-tidak-ada-kekayaan-laut-nisel-setiap
-hari-terancam%e2%80%9dillegal-fishing%e2%80%9d/


Pantai Nias Selatan (Nisel) yang terkenal indah dan kaya dengan berbagai sumber daya alam, seperti berbagai jenis ikan, rumput laut, setiap hari terancam penjarahan yang dilakukan oleh nelayan asing yang beroperasi secara ilegal. Sementara Pemda Nisel tak dapat berbuat banyak menghadapi para pelaku “illegal fishing” itu karena tidak mempunyai sarana kapal motor patroli untuk mengawasi dan menjaga pantai yang kaya itu.

“Kita hanya bisa menjaganya dengan doa,” kata Plt Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Nisel Drs Samolala Lase kepada wartawan ketika ditanyai soal penjagaan kekayaan laut Nisel itu, Sabtu (1/12) di Medan, sepulang dari acara Sosialisasi DAK Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2008 Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Hotel Redtop Jakarta bersama Kepala Bidang Program Dinas Perikanan dan Kelautan Nisel Alamin Sarumaha SPd.

Dikatakan, karena tidak adanya sarana pengawasan pihaknya mengalami kesulitan melakukan penjagaan di sepanjang pantai. Karena itu, maka dalam berbagai kesempatan dia bersama Bupati Nisel F Laia SH MH terus mengupayakan pengadaan kapal tersebut.

Menurut Alamin Sarumaha SPd, tahun anggaran 2008 pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menyediakan kapal motor patroli itu. “Kita usulkan saat acara Sosialisasi DAK Bidang Kelautan dan Perikanan tahun 2008 DKP,” kata Alamin.

Sementara Drs Samolala Lase mengatakan pada pertemuan itu, untuk tahun 2008, pemerintah pusat telah menyetujui Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Nisel dari DKP Rp 3.218.000.000. Dana itu akan digunakan antara lain, membiaya kegiatan pembangunan tangkahan, pengadaan kapal motor 5 Gt lengkap dengan alat tangkapnya, pengadaan alat budi daya rumput laut dan pengadaan listrik tenaga surya di Kecamatan Pulau-Pulau Batu dan Kecamatan Hibala.

Sedangkan untuk tahun 2009, kata Alamin Sarumaha pihaknya telah mengajukan usulan pembangunan Balai Benih Ikan Laut senilai Rp 15.600.000.000,- kepada pemerintah pusat. Tujuan yang ingin dicapai dengan kegiatan itu adalah, memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan menambah pendapatan asli daerah (PAD).

Sedangkan pada tahun anggaran 2008 DKP telah menyediakan dana dalam kegiatan program COREMAP II ( Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II) Nisel Rp 3.526.000.000,- dari dana Loan ADB dan anggaran penunjang dari APBD sebanyak Rp 705.200.000,- untuk penyelamatan terumbu karang di Nisel.

Sosialisasi “Illegal Fishing” Justru Perburuk Keadaan


Tanggal : 29 November 2007
Sumber : http://beritasore.com/2007/11/29/sosialisasi-illegal-fishing-justru-perburuk-keadaan/


Kupang ( Berita ) : Sosialisasi “illegal fishing” yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia melalui Duta Besarnya di Jakarta, Bill Farmer justru memperburuk keadaan yang terlihat dari membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan di wilayah perairan tersebut.


“Ini merupakan bentuk unjuk rasa yang dilakukan oleh nelayan tradisional Indonesia bahwa program pemberdayaan yang dilakukan Australia melalui sosialisasi ‘illegal fishing’ itu tidak berhasil dan tak ada manfaatnya,” kata pengamat hukum laut internasional, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum di Kupang, Kamis [29/11] .


Dosen hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan penahanan 201 nelayan Indonesia di pusat penahanan (detention center) Darwin, Australia Utara oleh aparat berwenang Australia.


Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Buchari Hasnil Bakar yang menghubungi ANTARA di Canberra dari Brisbane menyebutkan, penahanan terhadap 201 nelayan Indonesia itu atas tuduhan menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan utara negara itu.


“Sesuai dengan catatan KRI Darwin hingga 28 November 2007, jumlah nelayan kita yang sudah ditahan di ‘detention center’ Darwin mencapai 129 orang. Jumlah itu dipastikan meningkat menjadi 201 orang dengan datangnya 72 awak dari delapan kapal yang beberapa hari ini ditangkap kapal patroli Australia,” katanya.


Pihak keamanan Australia menahan para nelayan tersebut atas tuduhan menangkap teripang, hewan laut yang dilindungi di Australia, karena ditemukan 1,1 ton teripang, peralatan selam dan alat tangkap teripang di atas perahu-perahu mereka.


Kantor Bea dan Cukai Australia (ACS) menyebutkan, dalam empat hari terakhir ini, dua kapal patroli ACS yakni “Triton dan Arnhem Bay” telah menangkap 118 nelayan Indonesia dari 12 kapal yang memasuki wilayah perairan Australia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan utara Australia.


Penangkapan terhadap 118 nelayan Indonesia dalam empat hari terakhir itu, menurut Buchari Hasnil Bakar, memperpanjang deretan kasus “illegal fishing” di Australia setelah pada 21 November lalu, sebanyak 16 orang dari keluarga nelayan asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga memasuki perairan utara negara itu.


Kasus 16 orang, termasuk 10 anak, yang memasuki perairan utara Australia dengan perahu bermotor yang tenggelam di Laut Timor dan kemudian diselamatkan kapal patroli AL Australia itu masih ditangani pihak imigrasi di Pulau Christmas, Australia Barat.


Wetan Songa mengatakan, membanjirnya nelayan Indonesia ke Laut Timor untuk mencari ikan dan biota laut lainnya yang kemudian dituduh Australia memasuki wilayah perairan mereka secara ilegal mencerminkan bahwa sosialisasi soal “illegal fishing” di Kupang dan beberapa tempat lainnya di Indonesia Timur, tidak berhasil.


“Kenapa nelayan kita malah tambah nekad untuk mencari ikan di sana, karena di sana adalah lahan kehidupan mereka,” katanya.


Menurut dia, di sinilah Indonesia angkat bicara memperjuangkan hak-hak nelayan Indonesia, bukan sebaliknya berdiam diri dengan menerima tawaran program pemberdayaan dari Australia untuk nelayan Indonesia.


Ia menegaskan, hak-hak nelayan tradisional Indonesia harus dipertahankan sesuai kesepakatan kedua negara (Indonesia-Australia) yang menandatangani MoU BOX pada 1974.


Lempeng Kontinental 1974 atau yang lebih populer dengan sebutan “MoU BOX” itu membolehkan nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir (ashmore reef), Cartier Island, Scott Island, Seringapatam dan Browse karena memiliki potensi ikan yang sangat besar.


Hanya, Australia secara sepihak melarang nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di gugusan Pulau Pasir itu sejak 2002 dengan alasan konservasi lingkungan, meski MoU BOX 1974 secara jelas dan tegas mengatur tentang ketentuan menangkap ikan, hak dan kewajiban nelayan serta sejumlah ketentuan lainnya.


Menurut dia, Jakarta harus berbicara dan mendialogkan kembali dengan Australia untuk mempertahankan hak-hak nelayan tradisional Indonesia seperti yang digariskan dalam MoU BOX 1974.


“Aturan apapun yang diberlakukan Australia, nelayan kita tetap berlayar ke sana karena di sanalah ladang kehidupan mereka sejak dari dahulu kala. Ini pertanda buruk bahwa sosialiasi tentang ‘ilegal fishing’ itu justru menjadi bumerang bagi Australia sendiri,” kata Wetan Songa.


Radio Australia (ABC) melaporkan bahwa membanjirnya nelayan Indonesia dan nelayan-nelayan asing ke wilayah perairan tersebut sebagai dampak dari ketegasan pemerintah Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing”.


Menteri Perikanan Australia semasa pemerintahan PM John Howard, Eric Abetz, sebagaimana dilaporkan ABC, menolak saran agar Canberra membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis dari ketegasan hukum Australia dalam menumpas kegiatan “illegal fishing” tersebut.


Abetz mengatakan, bukan urusannya lagi jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumber daya perikanan Australia, sekalipun Canberra sudah mengalokasikan dana 603 juta dolar Australia untuk menangani pencurian ikan di perairannya.


“Upaya itu telah membantu menurunkan jumlah kasus penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan utara Australia hingga 90 persen. Tetapi, sekarang bukan urusan saya lagi jika para nelayan Indonesia tidak bisa lagi menjarah sumber daya perikanan Australia,” kata Abetz seperti dikutip ABC.


Seorang peneliti senior bidang perikanan dan pertanian Australia, Dr Meryl J Williams dalam sebuah studinya yang dipublikasikan Lembaga Kajian Kebijakan Internasional (Lowy Institute), merekomendasikan kepada Australia untuk melakukan perubahan tepat terhadap pengaturan akses jangka panjang bagi para nelayan Indonesia terhadap sebagian wilayah perairan utara negara itu sesuai dengan isi MoU BOX 1974.


Williams juga meminta Pemerintah Australia untuk terus bekerja sama dengan Indonesia dalam menciptakan pemahaman dan pendefinisian pola-pola pemakaian kapal ikan di wilayah konservasi yang disepakati dalam MoU BoX 1974 itu.

Tiga Perairan Jadi Prioritas Pemberantasan Illegal Fishing

Tanggal : 28 November 2007
Sumber : http://www.gatra.com/2007-12-09/artikel.php?id=109883


Tiga perairan kawasan penangkapan ikan di Indonesia yakni Laut Arafura, Laut Natuna dan perairan utara Sulawesi Utara, akan dijadikan prioritas pemberantasan illegal fishing atau praktek penangkan ikan secara ilegal.


Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso, di Jakarta, Selasa (27/11), menyatakan, pihaknya akan melakukan pemberantasan illegal fishing secara besar-besaran baik secara skala, intensitas maupun caranya.


"Target pemberantasan illegal fishing sebenarnya seluruh wilayah Indonesia namun ketiga kawasan itu mendapatkan prioritas," katanya.


Pembarantasan praktek illegal fishing secara besar-besaran di ketiga perairan itu, tambahnya, akan dilakukan secara kerjasama dengan instansi di luar Departemen Kelautan dan Perikanan seperti TNI Angkatan Laut.


Aji Sularso mengatakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan mampu menekan tingkat penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) di perairan Indonesia sebesar 20 persen per tahun.


"Saat ini terjadi perebutan penangkapan ikan antara kapal yang legal dengan yang tidak legal karena maraknya illegal fishing," katanya.


Jika kapal ikan ilegal yang beroperasi di perairan Indonesia diperkirakan mencapai 1.000 unit per tahun, pihaknya menargetkan mampu menekan sedikitnya 200 kapal per tahun.


Saat ini pihaknya memiliki 20 unit kapal pengawas perikanan yang dioperasikan di seluruh perairan Indonesia sehingga setiap unit diharapkan mampu menangkap kapal perikanan ilegal sekitar 10 unit per tahun.


Mengenai dampak pemberantasan illegal fishing terhadap produktivitas kapal penangkap ikan, dia menyatakan, dari penelitian selama 2001 hingga 2005 didapati pada kapal pukat udang di Laut Arafuru terjadi kenaikan hasil tangkapan mencapai 31 persen.


Menyinggung anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk menanggulangi praktek penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia, Dirjen P2SDKP mengatakan, pada 2008 pihaknya mendapatkan anggaran sebesar Rp327 miliar dari total anggaran untuk DKP Rp3,2 triliun.


Aji menyatakan, pada tahun 2000 DKP mengalokasikan anggaran sebesar Rp100 miliar untuk membeli kapal pengawas perikanan yang mana hasilnya mampu menyelamatkan kerugian negara senilai Rp120 miliar dari illegal fishing.


Sedangkan pada 2007, tambahnya, alokasi dana yang disediakan untuk penanggulangan illegal fishing mencapai Rp300 miliar dan mampu menyelamatkan kerugian negara sektiar Rp350 miliar.

Elit Politik Jadi Beking Pencurian Ikan


Tanggal : 26 November 2007

Sumber : http://hariansib.com/2007/11/26/elit-politik-jadi-beking-pencurian-ikan/

Potensi kerugian negara karena ilegal fishing (pencurian ikan) ternyata sangat besar. “Kerugian negara mencapai Rp 40 triliun per tahun,” kata anggota Komisi IV DPR RI Azwar C.

Untuk mencegahnya kata Azwar, pemerintah harus membenahi administrasi perijinan kapal dan memperketat pengawasan laut,” ujarnya di Jakarta.

Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Yoyo Sumiskun menduga merajalelanya pencurian ikan oleh kapal asing itu dilindungi oleh elit politik, dan sudah berlangsung sebelum tahun 2004.

“Kehadiran mereka, (kapal asing, red) ini diduga keras dimanfaatkan oleh elit politik tertentu. Saya katakan ini karena saya pernah ditawari oleh oknum elit politik tersebut untuk ikutan,” ungkap Yoyo di Jakarta.

Hal senada dikemukakan anggota Komisi IV DPR-RI dari Fraksi PPP Rusnain Yahya, menurutnya dalam praktek ilegal fishing, banyak pihak yang “bermain”.

“Kalau sudah bisa menghasilkan keuntungan yang begitu besar, tentu bukan satu pihak saja yang bermain di dalamnya, ada banyak. Sebab itu juga menyangkut soal administrasi dan pengawasan,” tegasnya.

Menanggapi kerugian negara akibat pencurian ikan sampai Rp 40 triliun, Yoyo tidak percaya pernyataan anggota Komisi IV DPR RI Azwar yang menyebut kerugian negara sebesar itu.

“Dari mana dapat angka sebesar itu. Untuk mencapai angka itu dibutuhkan sekitar 10 ribu unit kapal penangkap ikan. Padahal kenyataan di lapangan sejak dikeluarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Tahun 2005 tentang larangan kapal ikan asing beroperasi di Indonesia kasus pencurian ikan menurun drastis.

Menurut Yoyo, Kepmen Kelautan dan Perikanan melarang kapal ikan asing beroperasi secara bertahap. Tahap pertama 2005 larangan bagi kapal Filipina, 2006 kapal Thailand, dan tahun 2007 larangan bagi kapal ikan Cina beroperasi di Indonesia.

Sebagai gantinya dikeluarkan Permen Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi asing untuk menanamkan modal pada industri perikanan di Indonesia. “Bagi mereka ini masih diberi kesempatan menangkap ikan untuk kebutuhan industri sendiri,” tambahnya.

Namun, tambahnya, HNSI sudah mengingatkan pemerintah agar industri perikanan asing ini harus diawasi ketat. Jangan sampai hanya dijadikan kedok untuk mencuri ikan.

Apakah pencurian ikan masih berlangsung? Yoyo mengakui masih ada tapi jumlahnya kecil. Contohnya baru-baru ini kita lapor ke DKP masih ada kapal Thailand beroperasi mencuri ikan di Sibolga Sumut.

OPERASI GURITA 03/2007 BERHASIL SELAMATKAN Rp.10,6 MILIAR UANG NEGARA


Tanggal : 20 November 2007

Sumber : http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=berita&view=1&id=BRT071120160401

Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) melalui operasi Gurita 03/2007 yang berlangsung selama dua bulan, antara September - November 2007, berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp10,6 miliar di area wilayah laut Indonesia dengan Malaysia.

Kepala Pelaksanaan Harian Bakorkamla Laksamana Madya TNI Djoko Sumaryono dalam penjelasannya kepada pers di Jakarta, Selasa (20/11), mengatakan dari operasi Gurita tersebut berhasil ditangkap sejumlah kapal penangkapan Ikan illegal dengan nilai sebesar Rp8,65 miliar, Ilegal longing senilai Rp0,5 miliar dan penyelundupan BBM dan perusak lingkungan hidup senilai Rp1,5 miliar.
“Jika kerugian negara itu mencapai sebesar Rp10,6 miliar perhari maka Rp3.86 triliun pertahun uang negara tersebut bisa diselamatkan,” kata Djoko .

Operasi ini dilaksanakan sesuai dengan program kerja Bakorkamla tahun 2007 yaitu melaksanakan operasi keamanan laut bersama dengan pihak instansi terkait, seperti TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan, DKP dan Pengadilan serta pemda melakukan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum meliputi Selat Malaka, laut Natuna, Selat Bangka.

Dari hasil operasi tersebut, ditemukan berapa pelanggaran yang menonjol diantaranya penyelundupan barang antar kapal-kapal terutama di Tanjung Balai Karimun, seperti penyelundupan BBM, pencemaran lingkungan, keimigrasian, aparat lalay terhadap kewajiban jabatan, agen kapal memalsukan data bahan bakan minyak, perizinan tata niaga migas.

Untuk kapal perikanan, ditemukan sejumlah kapal tanpa dokumen izin operasi perikanan, kemudian dari kepabeannya dokumen barang dan muatannya diubah tanda tangan pengamanannya, mamanipulasi ekspor barang.

Operasi Gurita tersebut di dukung sejumlah Kapal Laut seperti KP HIU 009, Kapal pengawas Bea Cukai 7002, KRI Sanca -815, KP Jalak 635 .KN Trisula yang berhasil menangkap sebanyak 94 kapal dan saat ini telah dilakukan penahanan sebanyak 11 kapal dan 7 diantaranya disegel. Sedangkan 17 kapal lainnya telah di dektesi.

Kapal-kapal tersebut diantaranya milik TB Eboni dan TK Sun dengan muatan3.254.09 m3 kayu log, muatan kayu log sebanyak 2.393, 24 m3 milik PT. Rapido dan TK Sun Lion yang melanggar kelebihan muatan dan tidak sesuai dokumen Adhoc ke Adpen Belawan.

KM Lenon dengan muatan kargo kayu, drum solar, yang dinilai telah melanggar UU No.2 Tahun 2007 pasal 53 (b) tentang Minyak dan Gas. Para pelanggar tersebu telah diserahkan ke Dit Polairda Kepulauan Riau. Kapal tangker MT. Unity yang membawa limbah beracun, yang dinilai telah melanggar pasal43 UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup telah diserahkan ke Satpolair Pemangkat.

KLM Selalu Mulia muatan cargo katu 101 GT nihil melanggar peraturan tentang pelayanan dimana kapal tersebut tidak memiliki nahkoda dan ditemukan kapal tersebut telah menyelundupkan kayu ke Kuching Malaysia, kasus tersebut telah diserahkan ke Satpolair Pemangkat.

Ikan Kecil pun Mati

Tanggal : 15 November 2007
Sumber : http://www.tribunkaltim.com/Bontang/Ikan-Kecil-pun-Mati.html

YAYASAN Bina Kelola Lingkungan (Bikal) mendapati masih adanya pemboman ikan di Perairan Bontang, terutama di kawasan Malahing, Tanjung Laut Indah. Menurut Saparuddin, Deputi Direktur Yayasan Bikal mengatakan, aksi pemboman ikan saat ini masih marak terjadi di perairan Bontang. "Bom ikan digunakan karena bisa mendapatkan ikan lebih cepat dan lebih banyak dari penangkapan cara biasa.

Selain bisa membuat terumbu karang hancur, dikhawatirkan juga pemboman ikan akan merusak ekosistem atau kehidupan di bawah laut," ujar Saparuddin, melalui rilisnya, Kamis (15/11). Berdasarkan data yang dikumpulkan Bikal, dalam sehari bisa terdengar dua hingga tiga kali suara bom dan setelah itu banyak ikan kecil yang mati dan menimbulkan aroma tidak sedap.
Bikal mengimbau kepada aparat terkait agar dapat lebih intensif melakukan patroli laut. Bikal juga mengingatkan kepada semua masyarakat khususnya masyarakat pesisir kota Bontang agar dapat melaporkan langsung kepada pihak kepolisian atau pihak terkait lainnya jika melihat ada kegiatan pemboman ikan. Sayangnya, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan M Dahyar belum bisa dihubungi. Saat ponselnya dihubungi, hanya terdengar nada sibuk.

Australia Diminta Lebih Manusiawi Tangani Nelayan Indonesia


Tanggal : 14 November 2007

Sumber : http://www.antara.co.id/arc/2007/11/14/aistralia-diminta-lebih-manusiawi-tangani-nelayan-indonesia/

Jakarta (ANTARA News) - Indonesia meminta Australia agar lebih manusiawi dalam menangani nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang kerap melanggar wilayah laut Negeri Kangguru tersebut.

"Kami sangat menghargai kadaulatan negara dan hukum mereka, tetapi tolong Australia juga lebih manusiawi dalam menangani nelayan kita yang ditangkap," kata Kepala Pelaksanaan Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) Laksamana Madya Djoko Sumaryono di Jakarta, Rabu.

Usai bertemu Komandan Komando Keamanan Perbatasan Australia Laksamana Muda James Goldirk, Djoko mengatakan banyak nelayan tradisional Indonesia tidak paham mengenai aturan hukum internasional, khususnya yang menyangkut perbatasan dua negara.

"Berbahasa Inggris saja mereka tidak bisa, tingkat pendidikan rendah karena mayoritas mereka tinggal di pesisir," ujarnya.

Selain lebih manusiawi, tambah Djoko, Indonesia juga meminta agar Pemerintah Australia bisa memberikan bantuan pengetahuan mengenai proses hukum menyangkut pelanggaran batas wilayah negara.

"Banyak nelayan kita yang tidak tahu mengapa mereka ditangkap, itu karena mereka tidak tahu bahwa pelanggaran wilayah itu juga melanggar hukum. Jadi, ada baiknya jika pemerintah Australia memberikan bantuan hukum yang memadai," katanya menambahkan.

Menanggapi itu, Komandan Komando Keamanan Perbatasan Australia Laksamana Muda James Goldirk mengatakan, sudah ada mekanisme untuk membantu nelayan Indonesia di Australia. "Bahkan kami bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk memastikan para nelayan diperlakukan dengan baik," katanya.

Selain itu, pihaknya sudah memberikan bantuan hukum kepada para nelayan yang memenuhi syarat. "Jadi tidak semua bisa mendapatkan bantuan hukum. Tapi kita selalu melakukan pembicaraan dengan pemerintah Indonesia mengenai bagaimana kita bisa membantu nelayan," tuturnya.

Godrik mengaku, Australia dan pemerintah Indonesia telah melakukan kampanye untuk mendidik para nelayan mengenai hukum Australia, termasuk tentang perbatasan kedua negara itu.

"Tampaknya itu berjalan dengan sangat sukses. Nyatanya, jumlah nelayan Indonesia yang tertangkap sudah jauh menurun. Dan bila nelayan itu tertangkap, kita akan berusaha mengembalikan nelayan ke Indonesia secepat mungkin. Sementara proses hukum juga masih berjalan," katanya.

Goldrik menambahkan, nelayan yang menjalani tuntutan hukum sangat sedikit sedangkan nelayan yang tidak terkena tuntutan hukum langsung dikembalikan secepatnya ke Indonesia.

Ia mengemukakan, saat ini jumlah nelayan tradisional Indonesia yang melintasi wilayah laut Australia telah berkurang. "Saya tidak tahu persis jumlahnya berapa, tetapi sudah sangat menurun," katanya.

Berdasar data Kedutaan Besar Australia di Indonesia, kapal nelayan berbendera Indonesia yang ditangkap oleh pihak maritim Australia karena dianggap pelanggaran wilayah laut, jumlahnya turun signifikan pada 2007.

Pada 2006, 359 kapal berbendera Indonesia telah ditangkap karena melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Australia, sementara 49 lainnya disita perangkat dan hasil tangkapannya, sedangkan pada 2005 terdapat 279 kapal Indonesia yang ditangkap dan 325 disita.

Sementara hingga 30 April 2007, 26 kapal berbendera Indonesia telah ditangkap atau menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2006, dimana 134 kapal penangkap ikan asing telah ditangkap.

Penurunan signifikan itu dicapai antara lain karena upaya keras yang dilakukan pemerintah Australia untuk mencegah penangkapan ikan ilegal. Pihak maritim Australia baru-baru ini telah menerima tambahan anggaran sebesar Rp2,7 triliun untuk mencegah penangkapan ikan ilegal oleh warga negara asing di perairan Australia, dengan anggaran keseluruhan mencapai Rp3,5 triliun

Pemboman Ikan Marak di Kurolabu

Tanggal : 12 November 2007
Sumber: http://www.buturnews.idrap.or.id/detailBerita.php?ID=122

Ereke, BN. Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom marak dilakukan terjadi di Desa Kurolabu Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton Utara. Aktifitas ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan luar tetapi juga masyarakat setempat. Seperti yang terjadi pada tanggal 20 Oktober lalu sekitar jam 6 pagi terjadi 3 kali ledakan hanya sekitar 500 meter dari perkampungan. Itu dilakukan oleh masyarakat setempat yang anehnya bukan untuk tujuan komersil melainkan hanya untuk keperluan makan. “Sepanjang yang saya tahu, masyarakat di sini membom ikan hanya untuk konsumsi sendiri, kalaupun dijual tidak keluar tapi masyarakat sini juga yang beli,” kata Ajimuddin, Kordinator Proyek IDRAP di Kurolabu. Meskipun masyarakat mengkonsumsi ikan dari hasil pengeboman, sebagian masyarakat tidak setuju dengan aktifitas terlarang itu. Seorang warga Kurolabu yang mengaku bernama La Aca menegaskan perlunya sikap tegas dari aparat untuk meminimalisir aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom. “Pembina yang ditempatkan di Kurolabu harusnya kejam agar masyarakat takut menggunakan bom,” tandasnya. Seorang warga lainnya yang tidak mau dipublikasikan namanya mengkritik sikap aparat yang terkesan menutup mata terhadap kegiatan pemboman ikan. “Di sini ada personil dari kepolisian (Pospol Kulisusu Utara, red) yang ditugaskan. Tetapi hari-hari kita lihat dia itu hanya mengurus raskin (beras miskin, red) dan terlibat bisnis kayu. Masalah penangkapan ikan dengan bom ini telah diketahui oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Buton Utara. Seorang pegawai honorer DKP Butur yang ditemui ButurNews mengatakan kalau Kurolabu sudah masuk dalam salah satu titik yang akan mendapat perhatian dari DKP, meskipun masih sulit melakukan aktifitas karena belum adanya dukungan dana. “Kurolabu merupakan salah satu titik perhatian Dinas Perikanan meskipun kami belum bisa melakukan apa-apa. Kami belum punya anggaran, mudah-mudahan ketika Butur sudah memiliki Bupati definitif, ini akan cepat direalisasikan,” tutur Ajudin, seorang pegawai kontrak di DKP Butur.

DPR RI Kuatirkan 'Illegal Fishing' di Sulut Meningkat


Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://www.kapanlagi.com/h/0000197498.html


Kapanlagi.com
- DPR RI kuatirkan aksi illegal fishing di perairan Sulawesi Utara (Sulut) terus meningkat dilakukan sejumlah kapal-kapal berbendera asing dengan memalsukan seluruh dokumennya.

"Pemerintah harus mengantisipasi kejadian-kejadian seperti itu, mengingat illegal fishing dilakukan bangsa lain sangat merugikan Indonesia," kata anggota Komisi IV DPR RI, H Idham, Kamis di Manado.


Menurut personil Fraksi PDIP di DPR RI itu, pihaknya pernah melakukan sidak di Pelabuhan Laut Bitung awal tahun 2007, ada tujuh kapal asing ditangkap pihak keamanan Indonesia, karena ditemukan dokumen palsu serta memanfaatkan potensi perikanan dan kelautan di daerah itu.


"Setiap tahun perairan Sulut selalu alami kerugian hingga triliun rupiah, karena kurangnya armada pengamanan di laut lepas itu, "ujar Idham, saat melakukan kunjungan kerja di Sulut sejak 31 Oktober 2007 hingga 1 November 2007.


DPR RI mengharapkan Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sulut memberikan data secara empirik tentang potensi kelautan di daerah itu, serta hilangnya seluruh sumber daya laut akibat tindakan illegal fishing.


Pemerintah pusat dan DPR RI sedang membahas kajian undang-undang tentang kelautan dan pencegahan terhadap aksi kriminal seperti itu, guna meminimalisir tindakan illegal fishing dan sebagainya.


Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut, FL Kaunang mengatakan, kerugian akibat illegal fishing di perairan Sulut setiap tahun alami kerugian hingga Rp2 triliun rupiah, karena kurang memadainya pengawasan dan pengamanan diwilayah itu.


Kaunang mengakui, kondisi keamanan di perairan Sulut masih lemah dengan minimnya armada pengawasan, terutama datang dari TNI Angkatan Laut maupun kepolisian.


"Perairan laut di Sulut terbentang luas, terutama jika dihitung 12 mil dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) wilayah kepulauan Miangas dan Marore," ujarnya.


Illegal fishing yang dilakukan sejumlah kapal-kapal asing umumnya menggunakan peralatan bahan-bahan peledak, sehingga ikut merusak biota dan ekosistem laut.


Sebagian besar kapal asing masuk ke perairan Sulut berasal dari Filipina, padahal sesuai perjanjian bilateral antara Indonesia-Filipina, masa kontrak pencarian ikan di Indonesia telah berakhir tahun 2005, kemudian ada dari Cina, Taiwan dan sejumlah negara lainnya.

Pengeboman Ikan, Rusak Terumbu Karang dan Rumput Laut Lembongan

Tanggal : 1 November 2007
Sumber : http://www.balipost.com/Balipostcetak/2007/11/1/pa2.htm


Nusa Lembongan, Nusa Penida, terkenal dengan wisata bahari. Hamparan laut ditumbuhi terumbu karang dengan spesies bawah laut yang beraneka ragam, berpeluang untuk pengembangan wisata di kawasan itu. Ditambah hamparan pasir putih, tentunya menambah minat wisatawan untuk mengunjungi salah satu bagian kepulauan di Kecamatan Nusa Penida itu. Tak salah, kalau saat ini sudah banyak terdapat ponton-ponton milik pengusaha kapal pesiar yang nangkring di sana.


Sayangnya, dalam perkembangannya, wisata bawah laut Lembongan mulai terancam. Salah satunya ancaman dari aksi pemboman menggunakan potassium untuk menangkap ikan, terutama ikan hias yang dilakukan sekelompok orang secara sembunyi-sembunyi. Akibat pemboman, terumbu karang yang sebelumnya tak sempat terjamah menjadi rusak. Spesies bawah laut yang beragam jumlahnya pun mulai menjauh. Jelas, hal itu berpengaruh kenikmatan turis yang sedang berlibur di Lembongan.


Maraknya penggunaan bahan peledak akan merusak ekosistem laut yang tentunya juga berdampak buruk terhadap perekonomian masyarakat yang bergantung pada pariwisata bahari. ''Jumlah kunjungan sekarang sudah menurun. Terumbu karang dan spesies bawah laut yang dulunya menjadi andalan, sekarang mulai rusak, ujar pelaku usaha wisata di Lembongan,'' Nyoman Ginada. Selain kerusakan terumbu karang dan menghilangnya spesies bawah laut akibat pemboman, penurunan jumlah turis juga terjadi akibat menurunnya tingkat kekuatan arus gelombang. Mereka yang gemar surfing, mulai meninggalkan Lembongan, tambahnya.

Padahal, kata dia, Nusa Lembongan benar-benar mengandalkan wisata alami berupa laut tersebut. Kalau wisata lain, seperti wisata budaya atau religius, kurang gregetnya di kawasan itu. Beda dengan pengembangan wisata di Nusa Besar (Nusa Penida), tambahnya. Hal sama dikatakan Kades Lembongan Nyoman Murda. Dia mengakui, selama ini masyarakatnya kerap mengeluhkan maraknya penggunaan potasium dan aksi pengeboman ikan di wilayah pantai Lembongan dan Jungutbatu.


Penggunaan peledak untuk menangkap ikan-ikan hias itu, telah merusak ekosistem terumbu karang. Bukan itu saja, tanaman rumput laut masyarakat juga terganggu. Padahal, itu merupakan wisata andalan Lembongan, tandasnya. Menurut warga, aksi penggunaan potasium dan pengeboman ikan, terjadi lantaran tidak adanya pengawasan dari instansi terkait. Oleh karenanya, Murda meminta pemerintah melakukan upaya mengatasi persoalan yang merugikan masyarakat setempat. Kalau tidak, imbasnya sangat besar terhadap hasil produksi rumput laut warga kami.


Hal itu juga berimbas pada kunjungan wisatawan. Karena keberadaan petani rumput laut juga menjadi salah satu daya tarik wisata ungkapnya seraya menyebutkan, saat ramai jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Nusa Lembongan mencapai 700 orang (menginap sekitar 50 orang). Desa Lembongan mendapat pemasukan Rp 1.000/orang. Untuk sementara, keberadaan wisatawan cukup mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Karena mereka juga bisa menjajakan beraneka souvenir, akunya.


Terkait ancaman kerusakan terumbu karang yang berpengaruh terhadap jumlah kunjungan ke Lembongan, Tim Pengawas dan Pengendalian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Klungkung sebenarnya telah melakukan pemantauan (patroli) laut. Bekerjasama dengan tim gabungan Propinsi Bali, Pol Air dan TNI AL. Sayangnya, patroli yang dilakukan tak pernah berhasil menangkap pelaku. Padahal, menurut masyarakat, aksi penggunaan bahan peledak dan potasium sering terdengar pada malam hari.


Kasubdin Pengawasan dan Perlindungan Dinas PPK Klungkung Ida Kade Arga, M.M menyebutkan, ketika patroli, tim pengawas dan pengendali pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan memang menemukan kapal kapal yang dicurigai malakukan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potasium di wilayah Batu Melawang, Nusa Ceningan. Namun kapal-kapal tersebut ternyata memiliki izin menangkap ikan.


Lebih-lebih, saat ini tim pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan masih menghadapi berbagai kendala dalam menindaklanjuti aksi penggunaan potasium dan bahan peledak. Karena, sampai saat ini tim belum memiliki armada pengawas (kapal pengawas) yang memadai. Padahal, perairan Nusa Penida sangat menantang dengan arus yang keras dan gelombang yang tinggi.(bal)